![]() |
Besti Rahulasmoro bersama lukisannya - diambil dari Facebook Besti R. |
Menuju
Puncak
:
Teh Besti Rahulasmoro
Selamat sore Teteh,
Mari kita menyeruput kopi dan menikmati
langit dari balik tirai kamar kerjamu. Perbincangan kita subuh itu belum usai.
Berbincang mengenai perjalanan menuju puncak impian.
Kau dengan pulpen dan kanvas di tanganmu, aku
dengan pensil, kertas, dan laptop di tanganku. Telah banyak waktu yang kita
habiskan bersama, kau melukis, aku menulis. Dalam jeda kontemplasi, kita sering
berandai-andai, kemanakah karya akan membawa kita?
Kita sadar betul setiap manusia punya cita,
hanya pilihannya saja beda-beda. Dan setiap kita ingin mencapai puncaknya
masing-masing. Ada yang terbang, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang
merangkak, atau hanya berangan. Ke dalam golongan manakah kita, Teh? Sadarkah
bahwa kita telah menjalani semuanya? Ya, kita mulai dengan berangan, memilih
dan memilah jalan. Lalu kita mulai berjalan, terkadang berlari kemudian
terbang. Tanpa sadar, kita kerap kali kehilangan harapan, kelelahan, jatuh
berdebam. Kembali kita berangan, memilih dan memilah, benarkah cita kita akan
sampai ke tujuan? Pasrah dan menyerah hampir tak ada dalam pilihan. Kita
melanjutkan impian dengan merangkak, meski tubuh telah penuh dengan luka-luka
dan mata menjadi buta.
Mungkin kita diciptakan untuk saling
mengingatkan, untuk saling bergenggam tangan. Ketika kau jatuh, ada aku di
sampingmu yang memapah dan meminjamkan penglihatan. Begitupun ketika aku putus
asa, kau menjadi cahaya.
Subuh itu, kita telah bersepakat, bahwa
setiap puncak mengandung bahaya. Maka kita siapkan perbekalan di punggung,
jangan sampai kita mati kelaparan sebelum sampai puncak. Semakin kita berjalan,
semakin berat beban kita, hukum gravitasi. Terkadang kita berpikiran konyol,
rasanya ingin sekali membuang segala amunisi, ingin maju sendiri. Namun kita
sadar, ketika sampai di puncak, kita ingin berbagi. Tak ingin jadi pemenang
dengan rasa sepi.
Subuh itu, kita telah bersepakat, bahwa kita
pernah sampai di puncak. Mungkin tidak terlalu tinggi, namun cukup membuat
percaya diri. Sebuah fakta yang lucu, kerap kali kita tertawai. Puncak ternyata
berbentuk dataran. Dari dataran, kita menginginkan puncak yang ternyata sama
saja. Oh, ada yang berbeda, yaitu sudut pandang kita. Dari dataran puncak, kita
bisa melihat perkampungan. Sayangnya kita belum bisa melihat awan. Kita harus
mendaki ke puncak yang lebih tinggi.
Subuh itu, kita telah bersepakat, kita ingin
menebas peribahasa Sunda “Sanggeus tanjakan, aya pudunan.”* Bagi kita, setelah
menanjak, ada dataran, setelah dataran ada puncak yang baru.
Teh, yang belum kita sepakati adalah setelah
mencapai puncak berawan, semoga kita tidak merasa menjadi manusia setengah
dewa. Manusia yang merasa punya kuasa atas manusia lainnya.
*setelah menanjak, ada turunan
Nyimak obrolan Teteh sambil minum teh enak nih.
ReplyDelete*sodorin teh hangat*
Deleteperbincangan yang asik^^
ReplyDeleteAyo gabung, Mbak Hana :)
DeleteDi puncak yang satu masih ada puncak yang lebih tinggi lagi. Semoga bisa mencapai puncak berawan dan tetap menjadi manusia dengan kebaikan.
ReplyDeleteAamiin, makasih doanya, Mbak Lianny. Doa yang sama buat, Mbak :)
DeleteSetelah sampai di puncak berawan, selama masih hidup, lanjutkan perjalanan dan jalani dengan kesungguhan. ;) love you both
ReplyDeleteDiperkuat dengan doa dan cinta ya Teh. *peluk Teh Ima*
Delete