Deni Kurniadi |
Sahabatku Seorang Petani
: Deni Kurniadi
Dear Deni,
Apa kabar Den? Kalimat pembuka ini bukan
basa-basi, ini sungguh dari hati. Sudah setahun kita tak saling bertamu. Jadi
wajar kan, kalau aku penasaran dengan kabarmu, Den? Den, apa saja kesibukanmu
sekarang? Masih bercocok tanam?
Hari ini hujan lagi, Den, seperti hari-hari
lain di bulan Februari. Paragraf kedua ini juga bukan basa-basi, seperti dua
orang yang baru saja bertemu. Hujan bulan Februari selalu mengingatkanku
padamu, pada hari ulang tahunmu. Tepat saat orang-orang merayakannya sebagai
hari kasih sayang. Berapa umurmu tahun ini? Hahaha … aku hanya bercanda, tentu
saja aku tahu, hanya segan menuliskannya di surat ini. Selamat ulang tahun,
Den, kuucapkan itu lebih awal, biar tak ada seorang pun yang mendahuluiku.
Semoga perut buncitmu kian buncit, karena kata orang, perut buncit lambang
kemakmuran.
Oh ya, kudengar Bapakmu masuk rumah sakit
lagi? Awal bulan Januari kalau tidak salah. Jangan heran, aku bukan cenayang,
aku dengar itu dari teman kuliahmu. Kudoakan semoga Bapakmu lekas sembuh dan
selalu dalam lindungan Tuhan.
Den, semalam kulihat sisa hujan. Aku
bertanya-tanya sampai kapan bulan berhujan? Apakah akan seperti tahun-tahun
sebelumnya, hujan habis ketika tahun baru Tionghoa? Yah, lagi-lagi aku
mengingatmu ketika hujan. Hujan yang akan membesarkan tanaman-tanaman yang
kaurawat setiap hari. Aku sedikit khawatir, Den, seandainya hujan berhenti
berderai dan kita mengalami masa kemarau panjang. Bagaimana nasib para petani? Kumohon
jangan menyerah Den, sungguh negeri ini butuh pemuda yang memilih meneruskan
cita-cita nenek moyang sebagai Negara agraris. Dadaku bergemuruh karena bangga,
bahkan dengan lantang aku bisa mengatakan, sahabatku adalah seorang petani.
Pemudi sepertiku (aih, kau dilarang protes,
aku masih pantas dipanggil pemudi!) sudah kepalang banyak, Den. Katanya
sekarang itu era digital, era informasi, dan era teknologi. Industri kreatif
sedang laris. Aku ini anak bangsa yang mudah tergerus zaman. Makanya, Den, agar
bangsa kita masih bisa berdikari, lanjutkanlah menuai padi.
Harga beras cukup mahal, sepuluh ribu sekilo.
Walaupun aku tak pernah menghitung, berapa untung yang bisa kau kantongi.
Semoga cukup untuk makan, untuk membangun rumah, dan membiayai pendidikan
anak-anakmu kelak. Tolong ajari mereka ilmu padi. Padi bukan sekadar pengenyang
perut, padi adalah perut itu sendiri.
Sering aku berkhayal, melihatmu memakai caping
dan sepatu kerat, tanganmu sibuk mencangkul tanah. Pada siang hari, istrimu
mengintari sawah membawakanmu bakul berisi lauk-pauk. Kalian sekeluarga makan lalap
dan sambal di saung. Anak bungsumu menggelayut manja, lalu kau gendong dia di
pucuk bahu. Bapak dan anak melihat senja kemerahan di lereng gunung. Anak-anakmu
yang sudah cukup besar, kau ajari membuat boneka sawah, momok mengerikan bagi
burung Emprit. Dari matamu, Den, dunia terlihat sedemikian bersahaja.
Barangkali khayalanku berlebihan. Yang aku
tak tahu, mungkin kau sedang bergelut dengan makelar tanah. Mereka hendak
membeli tanahmu untuk dibangun BTS atau vila, atau mall, atau apartemen. Yang aku tak tahu, mungkin kau sedang
berdebat hebat dengan makelar beras. Mereka ingin membeli padimu dengan harga
paling murah, lalu mereka timbun di gudang-gudang.
Den, aku tak mau berpikiran terlalu jauh.
Namun aku selalu percaya, lelaki yang mengajariku menghimpun taktik tak akan
mudah ditumbangkan oleh kaum-kaum picik. Doaku bersama para pejuang sepertimu,
Den. Bersama para petani yang tak takut kulitnya melegam ataupun takut tubuhnya
tersiram hujan.
Deni, Hebat!
ReplyDeleteIya Deni hebat ^^b
DeleteKamipun masih punya mimpi menjadi petani sayuran dan pembuat madu. Doakan, yah...
ReplyDeleteAamiin Teh, saling mendoakan selalu kita :)
DeleteSalut sama deni, saya malah nanti kalau dah pensiun baru balik ke kampung dan bertani
ReplyDeleteIya Mas Edi, kapan saja bisa :)
Delete