Credit |
Apa kabar Tuan Penyair?
Mungkin saat ini kau sedang mengelus perut
istrimu yang tengah hamil tua, mengajak jabang bayi berbicara, atau membacakan
puisi-puisi cinta?
Oh, aku hampir lupa, selamat atas
pernikahanmu. Walaupun aku tak kau undang, tak jadi masalah, aku pun pasti akan
melewatkannya. Bukan, bukan karena cemburu. Kau jangan salah paham. Sungguh aku
tak merasa bahagia maupun terluka. Rasamu dan rasaku telah terkulum gemuruh ombak suatu malam.
Tuan Penyair, lewat surat ini aku ingin
bicara mengenai sosok-sosok yang acap kali kutemui. Sosok-sosok sepertimu.
Bukan dalam bentuk rupa melainkan dalam bentuk karakter. Sebaiknya kuralat,
surat ini ingin bicara mengenai karakter sebagian penyair.
Sebenarnya sudah lama aku ingin bertanya,
padamu juga pada sosok-sosok lainnya. Kau mencintai puisi bukan? Aku tahu
jawabanmu pasti, ya. Puisi bagimu dan lainnya merupakan sesuatu yang sakral. Kalau
memang sakral, kenapa kau membutuhkan sari putik puisi dari kaum perempuan?
Apakah tak bisa kau menulis saja tanpa ada embel-embel rasa yang jumawa?
Barangkali apa yang kutulis kurang terang
bagimu. Begini Tuan Penyair, kenyataan yang kulihat, kau butuh jatuh cinta,
butuh letupan untuk menulis puisi. Lalu mulailah kau menjadi petualang serupa
Don Juan. Perempuan hanya kau jadikan media. Saat jatuh cinta ataupun patah
hati, bait-bait puisi mengalir deras dari penamu.
Ayolah Tuan Penyair, kita sama-sama penulis.
Apa jadinya kalau aku menunggu jatuh cinta untuk menulis? Maaf kalau kukatakan
puisimu dangkal. Barangkali untaian katanya indah dan rupawan, namun sayang
sekali, harus ada sari putik puisi yang kauhisap lalu kaumuntahkan.
Kaucampakkan. Aih, sungguh puisimu begitu dangkal. Katanya cinta dekat dengan
luka. Lalu kenapa tak kau cintai saja puisi sebagaimana adanya? Tak perlu
menuai duka apalagi sengsara. Biarlah kau melukai dirimu sendiri, tanpa
mengaitkan manusia lain. Tanpa sadar kau telah membuat lingkaran api. Biarkan
api itu menjilat tubuhmu hingga menjadi abu.
Katamu kesunyian adalah milik masing-masing. Lalu
kaujadikan apa perempuan-perempuan itu? Orkestra yang mengiringi ritualmu? Hati mereka kauserut menjadi pena. Aih, Tuan, sungguh kejam. Bicara soal
kemanusiaan namun mengubah manusia menjadi binatang.
Maaf, maaf, Tuan, sepertinya kata-kataku
mulai kasar. Sebaiknya surat ini aku akhiri saja. Aku berharap surat ini kelak
menjadi belati yang menancap di jantungmu, agar tak ada lagi perempuan yang
kausedot darahnya. Dan semoga apa yang kutulis ini salah, menyandingkan
kebesaran seorang Tuan Penyair dengan Drakula.
Salamku buat istrimu dan jabang bayimu (yang
mudah-mudahan perempuan). Semoga mereka tidak termasuk kaum yang merana karena
cinta, karena puisi ternyata bisa membawa bencana.
Ini Asiiiik.
ReplyDeleteMakasih Minke :)
DeleteHallo, tuan penyair!
ReplyDeleteJangan membuat perempuan merana lagi, ya :))
kereeen teh, aku sukaaaa diksinya.
Makasih Mita :)
DeleteAh, tulisan yang sangat fokus. Aku suka!
ReplyDeleteMakasih Ika :)
Deletelove it! such a sharp flow of words :)
ReplyDeleteMakasih Mbak Indah :)
Delete*merinding* moga surat ini dibaca Tuan Penyair. O:)
ReplyDeleteBerdoa *sepenuh hati*
Deletehm.. pernah punya pengalaman sama qq
ReplyDeletePasti rasanya, errr ...
Delete