Si Kembar Goes to Bali! “Di keluarga ini, aku satu-satunya yang belum pernah ke Bali!” keluh Eva, kembaran saya, dengan nada sedih ...
By:
Evi Sri Rezeki
Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey Bagian 2
Tuesday, March 13, 2018Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey |
Petualangan Susur Jejak Spoorwegen bagi saya pengalaman menembus zaman. Seolah
sedang menaiki mesin waktu Doraemon. Mengaduk-aduk perasaan, menyita kekuatan.
Istirahat
di Pasirjambu
Tak terasa hari sudah siang. Perut kami mulai
keroncongan. Seperti dapat membaca hasrat perut kami, panitia mengajak kami
istirahat di Pasirjambu. Sebuah tempat makan dengan konsep alam. Makan di
saung-saung diiringi gemericik kolam ikan dan angin yang berhembus mengantarkan
wewangian dedaunan bebungaan.
Rumah makan di Pasirjambu |
Bagi peserta muslim dipersilakan untuk salat
terlebih dahulu. Sehabis itu makan nasi kotak dengan menu masakan tradisional
khas Sunda. Sambil makan, kami didongengi oleh kisah keluarga Kerkhoven yang
membuka lahan-lahan perkebunan di selatan Priangan.
Para penyusur makan bersama |
Stasiun
dan Turntable Ciwidey
Perut sudah kenyang, jangan sampai kantuk
menyerang. Segerelah kami melanjutkan perjalanan Susur Jejak Spoorwegen menuju Stasiun Ciwidey. Di sana minibus
diparkirkan di lapangan kecil dekat gudang kereta api. Sebetulnya ada dua
bangunan selayaknya gudang. Satu lagi posisinya harus memutar jalan.
Gudang kereta api di Ciwidey |
Gudang kereta api di Ciwidey |
Kami berjalan menyusuri rumah-rumah penduduk untuk sampai ke turntable kereta api. Di antara gang-gang sempit masih terlihat bekas rel kereta api. Melihatnya harus secara jeli karena sangat menyaru dengan jalan.
Bekas rel kereta api |
Sejujurnya saya kurang paham apa itu turntable? Sederhananya barangkali
tempat memutar arah kereta api. Ini saya kutip dari Wikipedia Indonesia: Pemutar rel (bahasa Inggris: turntable)
adalah sebuah alat untuk memutar jalur gerbong kereta. Ketika lokomotif uap
masih banyak digunakan, beberapa perusahaan kereta api memerlukan cara untuk
memutar lokomotif untuk perjalanan pulang karena operasi kereta tidak diatur
untuk mundur dalam jarak jauh dan di beberapa lokomotif kecepatan tertingginya
lebih rendah dibandingkan kecepatan mundur. Pemutar rel juga digunakan untuk
memutar gerbong observasi sehingga ujung ruang jendelanya menghadap bagian
belakang kereta.
Turntable kereta api di Ciwidey |
Oh, jadi kalau kereta api zaman dulu tidak
bisa bergerak mundur. Makanya dibutuhkan pemutar rel atau turntable ini. Turntable
di Ciwidey kondisinya agak mengenaskan. Dikepung rumah penduduk dan dijadikan
tempat pembuangan sampah juga tempat mengeringkan pakaian.
Kang Alex bercerita tentang anak kecil yang terbawa kereta api |
Stasiun Ciwidey juga kondisinya cukup
menyedihkan. Bangunannya nampak tidak terurus. Menurut Kang Alex, zaman dulu,
keberangkatan kereta api bisa dipakai sebagai penanda waktu. Misalnya
keberangkatan kereta api pertama jam 04.00 dipakai sebagai patokan imsak. Dan
banyak cerita lucu. Ada anak kecil yang terbawa kereta api kemudian dipulangkan
keesokan harinya. Ya ampun ini anak kok jarambah
banget, ya? He he he.
Stasiun Ciwidey |
Di sini kami masih bisa menemukan rumah
kepala stasiun kereta api berkat petunjuk penduduk setempat. Kondisi rumahnya
seperti tidak dipugar. Entah siapa yang menempatinya sekarang.
Rumah kepala stasiun kereta api Ciwidey |
Kebun
Teh Ciwidey
Entah mengapa setiap kali datang ke sebuah
perkebunan, baik itu teh dan kopi membuat saya merasa bahagia. Jajaran pohon serupa
pola-pola, para petani yang memetik buah, harum dedaunan, dan bau tanah basah
membuat saya rindu. Makanya begitu Kang Ridwan mengumumkan bahwa kami diberi
bonus buat mengunjungi kebun teh Ciwidey saya girang sekali.
Kebun teh Ciwidey |
Begitu sampai, saya dan beberapa teman
langsung menyebrang jalan, naik ke puncak-puncak. Brrr... udaranya sumpah
dingin banget! Kabut tebal menyelimuti kami. Telinga saya sampai sakit saking
kedinginannya. Namun perasaan bahagia tetap membuncah.
Evi di kebun teh Ciwidey |
Kebiasaan saya ketika berada di perkebunan
atau alam bebas adalah berteriak! Menumpahkan segala rasa dan menyapa seluruh
penghuni alam. Setelah itu, perasaan jadi lega. Saya ingin menari. Berlari menyusuri
lorong-lorong tanaman teh. Lorong-lorong ini tentu punya sejarah, saya ingin
mereka berbisik dan bercerita di telinga saya.
Evi di kebun teh Ciwidey |
Sekitar setengah jam kami menjelajah
perkebunan teh akhirnya menyerah juga oleh cuaca dingin. Di warung, segelas
kopi menghangatkan kami. Dan tentu saja obrolan ringan yang membuahkan gelak
tawa.
Jembatan
Andir Atau Jembatan Cikabuyutan
Tempat terakhir yang kami datangi adalah Jembatan
Andir atau Cikabuyutan yang terletak di petak antara Pasirjambu dan Cukanghaur.
Jembatan yang menghubungkan Desa Cikoneng dan Desa Cukanggenteng ini berada di
wilayah Andir. Saya agak bingung sih, bukannya Andir itu di Bandung dekat pasar
Ciroyom, ya? Ternyata wilayah yang bernama Andir ini setidaknya ada tiga!
Jembatan Andir atau Jembatan Cikabuyutan |
Menarik bila mengetahui asal kata Andir ini.
Menurut Kamus Bahasa Sunda yang disusun oleh R.A. Danadibrata, Andir berarti
tukang yang mengurus jalan di desa atau di kota. Keberadaan Andir biasanya di
tepi jalan utama. Saya memang pernah baca di buku Jan Breman bahwa Cultuur
Stelsel itu tidak hanya mengenai tanam paksa, melainkan melibatkan kerja
pengabdian bagi petinggi pribumi dan pengurusan jalan. Apakah Andir ini juga
terlahir dari masa itu? Entahlah.
Jembatan Andir atau Jembatan Cikabuyutan |
Jembatan Andir atau Kabuyutan ini posisinya
agak lebih dalam dari jembatan-jembatan sebelumnya. Terhalang ruko dan pom
bensin. Kami pun berjalan kaki dari pom bensin menyusuri pematang sawah dan
rumah-rumah penduduk. Dari sebuah rumah yang posisinya agak tinggi, saya bisa
menyaksikan jembatan ini secara keseluruhan. Konsutruksi rangkanya terbuat dari
besi dan masih berdiri kokoh.
Jembatan Andir atau Jembatan Cikabuyutan |
Bila melihatnya dari dekat, barulah terlihat
bahwa tengah jembatan ini berlubang-lubang. Kondisinya paling ‘antik’, di tengah-tengahnya
digelar jalinan bambu dan kayu. Sulit untuk menyusuri jembatan itu karena
kiri-kanannya cukup dalam. Karena kondisinya riskan untuk dilalui, di antara
kami tak ada yang berani menyebranginya. Menikmatinya dari tepi, menganguminya
sebatas pandang. Entah bila penduduk sekitar apakah mereka menggunakannya dalam
keseharian? Kalau tidak, bisa dibilang jalur ini mati sama sekali.
Evi di tepi Jembatan Andir atau Jembatan Cikabuyutan |
Evi di tepi Jembatan Andir atau Jembatan Cikabuyutan |
Jembatan Andir disebut juga Jembatan
Kabuyutan karena letaknya bersebrangan dengan Kabuyutan yaitu makam keramat.
Kang Hevi pun bercerita bahwa di Kabuyutan tersebut disemayamkan Adipati
Kertamanah dan empat muridnya yaitu Eyang Geleng Pangacingan, Eyang Jaga Satru,
Eyang Kumis Bereum, dan Eyang Mangku Bumi. Hikayat menyebutkan bahwa Adipati
Kertamanah merupakahn turunan ke-4 dari Prabu Siliwangi yang menyebarkan agama
Islam pada abad 15.
Kabuyutan |
Hari menginjak senja. Para penyusur kembali
ke mobil dengan hati gembira. Lelah membuat kantuk di pelupuk mata tak bisa
ditawar-tawar. Tahu-tahu kami sudah berada di Kedai Preanger lagi. Rasanya
petualangan Susur Jejak Spoorwegen,
rel kereta api yang membelah Bandung hingga Ciwidey ini sebuah mimpi panjang
yang menawan.
Kang Hevi dan Kang Ridwan |
Berwisata Sejarah Bersama Mooi Bandoeng
Berwisata sejarah bersama Mooi Bandoeng
membuat saya ketagihan. Ada hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan ketika
berwisata sejarah sendirian—yang merupakan kebiasaan saya. Pertama, setiap penyusur dibekali goodiebag berisi pin, buku panduan, penganan kecil, dan jas hujan. Kedua, ada tour guide yang menjelaskan sejarah setiap tempat sehingga saya
tidak perlu mereka-reka informasi. Ketiga,
tour guide bisa saya tanyai sepuas
hati. He he he. Keempat, bertemu
kawan-kawan dengan minat yang sama.
Ingin mengikuti kegiatan seperti Susur Jejak Spoorwegen atau wisata
sejarah menarik lainnya bersama Mooi Bandoeng? Ikuti Instagram mereka
@MooiBandoeng dan @komunitasaleut. Tonton penyusuran kami di sini:
Selepas Susur
Jejak Spoorwegen, benak saya bertanya-tanya, kapan PT. KAI akan
mengaktifkan kembali jalur-jalur tersebut? Yang bisa jadi solusi pemerataan infrakstuktur
pembangunan dan ekonomi. Wilayah tersebut memang belum terkesan macet, namun
siapa tahu sepuluh tahun ke depan? Lagipula perkebunan-perkebunan di Priangan
kembali hidup dengan ditanamnya kembali kopi.
Lalu bila jalur kereta api wilayah Bandung –
Ciwidey ini dibangun kembali, bagaimana nasib masyarakat yang kadung menempati?
Pasti akan menimbulkan kerusuhan dan isu pengusuran walaupun secara
administrasi wilayah tersebut milik pemerintah. Apakah sky train bisa menjadi solusi?
Dan terakhir, risiko pengaktifan jalur kereta
api Bandung – Ciwidey apakah berdampak pengrusakan alam? Sungguh ini bukan saja
pekerjaan pemerintah, ini adalah pekerjaan kita bersama. Dan sungguh, ketika
masanya tiba, semoga saya bisa memberikan sumbangsih secara nyata.
Sekolah Dasar tempat saya sekolah di Banjaran boleh jadi sudah tak ada, namun kenangan menyisir pematang sawah dan memandangi kereta api lewat tak ikut luluh lantah. Susur Jejak Spoorwegen melintasi Banjaran menghidupkan memori masa kecil saya. Saya percaya, suatu hari kelak, kereta api akan kembali hidup di tengah-tengah masyarakat Priangan Selatan.
Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey Petualangan Susur Jejak Spoorwegen bagi saya pengalaman...
By:
Evi Sri Rezeki
Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey Bagian 1
Monday, March 12, 2018Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey |
Susur
Jejak Spoorwegen - Menyusuri jalanan lurus berbatu yang
diapit pematang sawah merupakan ritual pagi saya selama tiga tahun di bangku SDN
7 Banjaran. Jalan kecil itu dibelah rel kereta api yang tak jauh dari sekolah.
Berujung pada jalan raya kemudian tergelarlah alun-alun Banjaran. Sesekali jalanan
sekitar rel tersebut bergetar sewaktu kereta lewat. Tak lebih dari dua gerbong
dengan lokomotif, seingat saya. Gerbongnya coklat lusuh, berkarat, tua disepuh
zaman. Sesekali bayangan kepala-kepala manusia nampak dari balik jendela. Sambil
menyaksikannya lewat, benak saya mengira-ngira, bagaimana rasanya naik kereta?
Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey Susur Jejak Spoorwegen - Menyusuri jalanan lurus berba...
By:
Evi Sri Rezeki
Subscribe to:
Posts (Atom)
My Tale
[socialcounter]
[facebook][https://web.facebook.com/evi.s.rezeki][4,100+]
[facebook][https://web.facebook.com/PenulisKembar/][900+ likes]
[twitter][https://twitter.com/EviSriRezeki][4,400+]
[instagram][https://www.instagram.com/evisrirezeki/][4,900+]
[youtube][https://www.youtube.com/channel/UC95oviYbvTLMeQp3w6uAUeg][150+]
[google-plus][https://plus.google.com/u/0/+EviSriRezeki][1,500+]
Popular Posts
recent posts
recentposts
Contact Form
Royalty
Wanderer
Library
Live to Tell the Tale
Warung Blogger
Emak-emak Blogger
Mama Daring
Quests
- Books Review 24
- Event 94
- Event Review 90
- Fashions 20
- Flash Fiction 11
- Movie Review 24
- My Rainbow World 22
- My Work 29
- Network Review 12
- Product Review 45
- Review 73
- Techno 69
- Wedding Diaries 2
- Writing Tips 20