Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey |
Susur
Jejak Spoorwegen - Menyusuri jalanan lurus berbatu yang
diapit pematang sawah merupakan ritual pagi saya selama tiga tahun di bangku SDN
7 Banjaran. Jalan kecil itu dibelah rel kereta api yang tak jauh dari sekolah.
Berujung pada jalan raya kemudian tergelarlah alun-alun Banjaran. Sesekali jalanan
sekitar rel tersebut bergetar sewaktu kereta lewat. Tak lebih dari dua gerbong
dengan lokomotif, seingat saya. Gerbongnya coklat lusuh, berkarat, tua disepuh
zaman. Sesekali bayangan kepala-kepala manusia nampak dari balik jendela. Sambil
menyaksikannya lewat, benak saya mengira-ngira, bagaimana rasanya naik kereta?
Harapan saya naik kereta api terkabul dua
tahun kemudian, waktu itu saya berumur sepuluh tahun. Bersama seorang uwa sahabat kecil saya Hilma, Wa Ing, begitu kami memanggilnya. Kepada
Wa Ing saya bercerita keinginan untuk
naik kereta api. Wa Ing yang sudah
menganggap saya dan Eva keponakannya sendiri mengabulkan permintaan kami. Kami
menaiki kereta dari Kiaracondong ke Cimindi atau ke Rancaekek, saya tidak
begitu ingat. Sepanjang perjalanan kami menikmati penganan sambil bernyanyi
riang. Pengalaman seru sekaligus mendebarkan yang akan saya ingat seumur hidup.
Sesudah itu, saya baru naik kereta api
sewaktu SMA ke Jakarta, lalu masa kuliah dari Bandung menuju Yogyakarta. Saya
selalu suka suasana kereta api ekonomi yang ramai. Orang berdesak-desakan
membawa kardus-kardus dan hewan ternak. Para penjualan berseliweran menawarkan
berbagai barang, makanan, dan minuman. Nada mereka begitu khas, dengan cengkok
lokal. Di kala malam tiba, orang-orang tidur beralaskan koran di tengah-tengah
bangku panjang. Tukang sapu bayaran membersihkan lantai, seseorang menyeprotkan
parfum yang baunya ajaib benar. Kepulan asap rokok menghiasi gerbong-gerbong. Anak-anak
kecil berlarian sesekali merengek minta jajan. Dan pemandangan seperti itu tak
akan saya temui lagi karena PT. KAI telah meningkatkan kualitas layanan
sehingga kereta api kembali menjadi transportasi idola masa kini.
Bagi saya dan barangkali kebanyakan orang,
kereta api adalah transportasi masal yang puitis, tempat orang mendapat banyak
ilham. Di balik segala kenangan itu, saya hampir tak tahu apa-apa mengenai sejarah
kereta api. Yang anehnya tak pernah saya cari tahu hingga sekitar tahun lalu. Ketertarikan
saya bermula dari kebutuhan riset, ya lagi-lagi riset mengenai sejarah
perkebunan kopi di Priangan. Pembangunan kereta api erat kaitannya dengan
pertumbuhan perkebunan baik kopi, teh, maupun kina di Priangan. Transportasi
ini membuat distribusi hasil perkebunan lebih cepat dan murah.
Susur
Jejak Spoorwegen Bersama Mooi Bandoeng
Pada 20 Januari 2018 lalu, saya mengikuti
kegiatan wisata sejarah Susur Jejak
Spoorwegen, rel kereta api yang membelah Bandung hingga Ciwidey yang dibuat oleh Mooi Bandoeng, plezier
compagnie. Jejak spoorwegen atau kereta api dalam Bahasa Belanda yang kami susuri adalah jalur perkebunan
Gambung sampai Rancabali. Titik kumpul di Kedai Preanger, Jl. Selontongan No.
20 D, Buahbatu, Bandung. Bertolak ke Banjaran, Kopo, terakhir ke Ciwidey. Sebetulnya
kami harus berkumpul jam 07.00 WIB, namun saya (lagi-lagi) terlambat 30 menit
sehingga baru berangkat jam 07.30. Penyusur berjumlah 15 orang menaiki minibus termasuk
tour guide dan panitia. Sebagian
panitia menaiki kendaraan bermotor roda dua.
Perjalanan dimulai dari arah Buahbatu menuju
Banjaran. Jangan tanya rutenya, karena saya suka tidak mudeng dengan jalan he
he he. Satu per satu kami memperkenalkan diri. Ternyata beberapa penyusur
berasal dari Jakarta seperti Pak Asep, Juan, dan Neno. Selebihnya dari Bandung
seperti Fazar, Bu Rini, dan Kang Arfin. Dari Mooi Bandoeng ada Kang Ridwan
Hutagalung, Putri, Rizka, Kang Hevi, dan Kang Alex.
Dari satu titik ke titik lain seolah tak
pernah habis suguhan cerita Kang Ridwan Hutagalung yang merupakan pengasuh
Komunitas Aleut dan Mooi Bandoeng ini. Beliau bercerita tentang Gunung Satu,
tempat bersemayamnya Dipati Ukur, Otto Iskandar Dinata, dan sejarah-sejarah
jalan sehingga perjalanan tak pernah bosan atau mengantuk. Beliau memang
merupakan penulis sejarah di Bandung. Saya mengenal karyanya, buku Jalan Braga,
sebelum mengenal sosoknya.
Sepanjang hari itu, hujan turun hampir tak
bersesudahan. Cuaca dingin mengigit. Namun tak membuat kami urung juga
menjelajah. Panitia dari Mooi Bandoeng sigap sekali, mereka menyiapkan jas
hujan untuk para peserta.
Stasiun
Kereta Api Banjaran
Menyusuri jalan menuju Banjaran tak terasa
asing. Banjaran, tempat saya bertumbuh dan setiap tahun minimal saya ke sana
saat lebaran. Namun cara pandang saya kini tak pernah sama. Berkat cerita dari
Kang Ridwan, kini saya tahu di sana ada stasiun kereta api. Saya jadi tahu
Arjasari merupakan perkebunan teh berkualitas tinggi. Arjasari, tempat saya
dibesarkan selama lima tahun oleh orang tua angkat saya hingga akhirnya saya
pindah ke Banjaran bersama Mama dan Ayah.
Jalur kereta api dari Bandung ke Ciwidey
dibuat pada akhir abad 19 oleh Staatsspoorwegen
(SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Belanda. Panjangnya kurang lebih
40 kilometer yang dilengkapi beberapa stasiun dan halte.
Gudang kereta api di Banjaran |
Pemberhentian pertama di Stasiun Kereta Api
Banjaran, tepatnya di balai RW 10, stasion barat, Desa Banjaran. Ada sebuah
lapangan kecil tempat minibus diparkirkan. Gudang tua yang barangkali dulu
tempat penyimpanan barang atau gerbong kereta masih berdiri namun agak duyung. Entah
sekarang difungsikan sebagai apa. Kang Hevi menuntun kami menyusuri permukiman
desa sambil bercerita. Jejak-jejak rel dan menara kereta api masih nampak
berserak di antara gang-gang dan rumah-rumah.
Para penyusur sedang mendengarkan Kang Hevi bercerita |
Banjaran merupakan akses pintu masuk menuju
perkebunan-perkebunan di sekitar Pangalengan, Arjasari, Puntang, Ciwidey, dan
lain-lain. Mengenai sejarah perkebunan Arjasari didirikan oleh Rudolph Albert
Kerkhoven pada tahun 1869. Luasnya mencapai 3000 hektar. Sebelum R.A Kerkhoven
menjadikannya perkebunan teh, wilayah tersebut adalah tempat berburu Bupati Bandung
dan kerabatnya. Penduduk sekitar menyebutnya Tegal Mantri. Oleh Kerkhoven
namanya diubah menjadi Arjasari yang diambil dalam Bahasa Sunda yang berarti ‘inti
kemakmuran’.
Jejak rel kereta api |
Sejujurnya ketika kecil saya tidak pernah
melihat perkebunan teh disekitar situ. Atau saya mainnya kurang jauh, ya? Dan
kini, di sekitar Arjasari sudah didirikan perkebunan kopi. Sayangnya, saya
belum sempat mengunjunginya jadi tidak bisa bercerita banyak.
Menara pengangkat barang |
Menara pengangkat barang |
Jembatan
Sadu
Titik kedua yang kami datangi adalah Jembatan
Sadu, terletak di antara Desa Sadu, Kecamatan Soreang dan Desa Cilame,
Kecamatan Kutawaringin. Jembatan ini menghubungkan kedua desa tersebut. Panjang
jembatan ini sekitar 70 meter di petak antara halte Sadu dan halte Cukanghaur.
Letaknya pun berdekatan dengan jalan raya Soreang – Ciwidey.
Jembatan Sadu |
Pemandangan di sekitar Jembatan Sadu masih
sangat asri karena diapit Gunung Singa dan Gunung Sadu di sebelah timur
jembatan. Karena itulah jembatan ini diberi nama Sadu. Perihal asal muasal nama
Sadu ada dua versi. Pertama, Sadu dari Bahasa Sunda ‘sasadu’ yang berarti
meminta maaf. Yang kedua, dari kata ‘sadhu’ yang berarti agung.
Kode Jembatan Sadu |
Gunung Sadu sendiri merupakan cagar budaya
karena di puncaknya terdapat kumpulan batu-batu keramat dan ada makam Eyang
Paduraksa. Batu-batu itu dikeramatkan karena konon mengeluarkan gelombang
magnet.
Jembatan Sadu |
Jembatan Sadu dibangun menggunakan teknologi
paling mutakhir di zamannya. Bayangkan, jembatan ini cukup tinggi, di dasarnya
merupakan Sungai Ciwidey yang hingga saat ini cukup jernih airnya. Belum lagi
diapit gunung. Bangunannya harus kokoh sehingga rangkanya terbuat dari baja
yang diambil dari bekas rangka jembatan kereta yang melintasi Sungai Citarum di
Karawang. Jadi tak heran jembatan ini masih berdiri tegap hingga kini.
Saya menyusuri Jembatan Sadu |
Sayangnya, karena tak ada lagi kereta yang
beroperasi, Jembatan Sadu menjadi jalur mati. Masyarakat sekitar
memanfaatkannya sebagai jalan biasa. Saya dan beberapa kawan menyusuri jembatan
sempit. Melangkahinya harus berhati-hati. Bila kamu termasuk yang takut
ketinggian sebaiknya melihat saja dari ujung jembatan.
Jembatan
Rancagoong
Jembatan Rancagoong terletak di antara petak
Stasiun Sadu dan Cukanghaur. Terbentang di atas sungai Ciwidey yang masih
bersih dan pematang sawah berundak-undak. Jembatan yang selesai dibangun tahun
1923 ini menggunakan kombinasi beton dan rangka baja. Menurut Kang Hevi,
jembatan kereta api dari beton biasanya terdapat di tengah kota seperti
Jembatan Viaduct di Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Jadi jembatan ini sangatlah
istimewa.
Jembatan Rancagoong |
Rancagoong berasal dari kombinasi dua kata Bahasa
Sunda yaitu ‘ranca’ yang berarti rawa-rawa, dan goong yang berarti gong, salah
satu jenis alat musik tradisional.
Pemandangan pematang sawah dari Jembatan Rancagoong |
Mengapa Jembatan Rancagoong tidak lagi
berfungsi? Konon di daerah Cukanghaur pernah terjadi kecelakaan kereta pi saat
mengangkut kayu yang akan dikirim ke Jakarta. Kecelakaan itu merenggut nyawa 3
orang pegawai termasuk kepala Stasiun Ciwidey. Berkat kejadian itu, sedikit
demi sedikit pengguna kereta api Ciwidey makin berkurang sampai akhirnya ditutup
tahun 1980an.
Tahun selesainya pembuatan Jembatan Rancagoong |
Saya kembali menyusuri jembatan. Jembatan
Rancagoong ini lebih lebar namun lebih tinggi. Saya merasa lebih aman
menyusurinya. Sesekali penduduk melewati jembatan dengan berjalan kaki atau
menggunakan motor. Di salah satu ujungnya terdapat rangka dengan bekas peluru.
Barangkali itu jejak pertempuran saat perang kemerdekaan. Membayangkan ada
pertempuran saja sudah bikin bulu kuduk saya merinding.
Bekas peluru di Jembatan Rancagoong |
Semua peserta diajak untuk menyaksikan
jembatan dari bawah. Kami pun turun menyusuri petak jalan kecil dan licin.
Terbentanglah sawah yang baru saja ditanam padi. Saya bertumbukan dengan dua
orang ibu petani. Salah satu ibu petani memperingatkan saya untuk berhati-hati.
Pasalnya jembatan tersebut disinyalir angker karena sudah ada beberapa orang
yang bunuh diri. Semuanya perempuan. Hiii... ibu nakut-nakutin. Untung saya
sudah sempat menyusur, kalau belum, bisa jadi saya urung.
Ibu petani sedang menanam padi |
Pemandangan dari bawah Jembatan Rancagoong
sangat cantik. Arsitektur jembatan terlihat jelas sekali. Awan yang menaungi putih
berarak. Sebuah lukisan semesta terpampang di hadapan kami. Bunyi rincik air dari
pancuran kecil, penyaluran irigasi sawah, menambah rasa damai dan ketenangan
merambati hati perlahan-lahan.
Saya menyusuri Jembatan Rancagoong |
Ikuti petualangan kami selanjutnya di Susur Jejak Spoorwegen, Rel Kereta Api yang Membelah Bandung Hingga Ciwidey Bagian 2.
Jembatan Rancagoong |
Saya kok ngeri - ngeri sedep ya liat jembatannya, haha sieun an abi mah
ReplyDeleteAku belum pernah sampai ke sana Teh. pengen sekali-kali ngebolang sampai sana
ReplyDeleteAku juga belon pernah pake kereta ke sana Vi, tapi mau juga kalo poto di Jembatan Rancagoong.
ReplyDeleteHuh, perjalnan yang seru banget yaaa..
saya penasaran ingin nyoba lewatin jembatan sadu Teh, keren fotonyaa hehe
ReplyDeleteAh kayaknya menyenangkan berfoto di situ, suasana alamnya masih hejo pisan ya..:D
ReplyDeleteSeru banget pengalamannya. Al tuh yg suka naik kereta. Setiap hari Minggu naik kereta dari St. Cimahi ke St. Cicalengka XD
ReplyDeleteSeru banget wisatanya Teh, tapi kalo disuruh foto dijembatan itu kayaknya aku gempeur takut ketinggian.
ReplyDeleteKl ada lagi wisata kayak pengen ikut seru deh
ReplyDeleteNumpang ya min ^^
ReplyDeleteAyo buruan bergabung di www,kenaripoker
Bonus 50% hanya deposit Rp 10.000 sudah bisa mainkan banyak game disini, TO rendah tidak menyekik player, server baru dengan keamanan dan kenyamanan yang lebih!
hanya di kenaripoker
WHATSAPP : +855966139323
LIVE CHAT : KENARIPOKER COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER COM