Kebutuhan Pokok Vs Kebutuhan Rokok Di Masa Pandemi Dari Kacamata Seorang Perokok |
Mudah
bagi seorang nonperokok untuk bilang #putusinaja hubungan dengan rokok. Semudah
bilang minum kopi tidak usah pakai gula. Padahal setiap orang punya kebutuhan
yang berbeda-beda. Edukasi juga mesti punya titik toleransi.
Meski
ayah saya seorang perokok, anak-anaknya tidak lantas jadi perokok. Ayah saya
juga paman atau bibi adalah perokok yang tertib. Mereka tidak merokok di
sembarang tempat atau dekat dengan anak-anak.
Ketika
dewasa, saya merokok. Bukan karena tertular Ayah saya atau lingkungan keluarga.
Namun karena saya memilih dengan sadar untuk merokok. Mama saya selalu bilang,
jangan bakar uang kecuali kamu punya penghasilan sendiri. Nasihat itu melekat.
Saya tidak pernah menggunakan uang jajan untuk beli rokok melainkan membeli
buku.
Sejak
kuliah saya sudah membiaya hidup sendiri: kebutuhan makan, pakaian, dan
lain-lain kecuali untuk kost. Uang saku saya pakai untuk mengontrak kamar.
Begitu pula dengan rokok tentunya dari hasil jerih payah sendiri.
Gerakan Perokok Santun
Sebagai
seorang perokok dan berjenis kelamin perempuan, tantangan saya lebih besar. Ada
stigma di masyarakat bahwa perempuan perokok itu ‘nakal’ diiringi cap-cap negatif
lainnya. Sebab itu saya ingin membuktikan bahwa perilaku merokok dengan gender
dan karakter itu tidak berhubungan. Perempuan perokok dan nonperokok itu sama
saja. Kami bisa berbuat benar dan salah. Kami sama-sama dapat berprestasi di
berbagai bidang.
Gerakan Perokok Santun |
Menyikapi
stigma tersebut, saya kemudian ikut mengampanyekan perokok santun. Memperlihatkannya
oleh perilaku bukan omongan. Saya selalu membawa asbak portable ke
mana-mana agar tidak membuang abu sembarangan. Merokok di tempat yang
disediakan saja. Ketika merokok tidak di dekat anak kecil atau lansia. Juga
tidak menyuruh anak-anak untuk membeli rokok ke warung.
Di
rumah pun meski saya dan suami sama-sama merokok, kami punya aturan. Kami
menyediakan tempat-tempat khusus seperti balkon yang ditanami tumbuhan penyerap
asap. Kami juga selalu meminta izin pada orang lain untuk merokok. Bahkan saya
hampir tidak pernah merokok pada saat acara atau sedang liputan. Selesai
bekerja saya akan mencari tempat atau langsung pulang saja. Meminimalisir
sentuhan terhadap perokok pasif.
Dengan
begitu, kami berharap cap negatif terhadap perokok akan berkurang. Sebab kami
merokok dengan santun.
Saat
pandemi melanda, serangan terhadap perokok makin santer. Memang sebelumnya juga
sudah banyak anjuran berhenti merokok bahkan larangan. Rokok dijadikan biang
keladi hampir semua penyakit. Padahal apa pun yang dikonsumsi berlebihan akan
menimbulkan penyakit seperti gula atau minyak goreng misalnya. Penyakit
sebetulnya lebih banyak timbul akibat pikiran negatif.
Selain
aspek kesehatan yang digarisbawahi dari perilaku merokok adalah aspek ekonomi.
Bahwa membeli rokok sama dengan pemborosan terutama di masa pandemi saat ini.
Oleh karena itu saya tertarik dengan program Ruang Publik KBR yang
mengetengahkan tema Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok yang ditayangkan
pada rabu, 28 Agustus 2020, jam 09.00-10.00 WIB.
Pandemi:
Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok
Mas
Don Brady membuka talkshow dengan data yang dirilis Badan Pusat
Statistik (BPS) tentang pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk
Indonesia sepanjang tahun 2019. Pengeluaran per kapita untuk kebutuhan makanan
sebesar 49,14 persen dan untuk kebutuhan nonmakanan sebesar 50,86 persen.
Talkshow Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok |
Secara
garis besar skema BPS seperti ini: pengeluaran untuk rokok per bulan mencapai
6,05% sedangkan pengeluaran untuk membeli beras 5,57%. Terkait hal tersebut
Komnas Pengendalian Tembakau merinci jumlah perokok naik sekitar 13% di masa
pandemi.
Narasumber
pertama yaitu Mbak Nurul Nadia Luntungan, Peneliti CISDI mengatakan, “7 dari 10
laki-laki merokok di Indonesia sehingga laki-laki yang tidak merokok jadi orang
minoritas. Ini menjadi perhatian bersama karena artinya fungsi dari
pengendalian belum optimal karena masyarakat masih menganggap kebutuhan rokok
sama dengan kebutuhan sehari-hari seperti makan dan kesehatan.”
Perlu
dipahami bahwa alasan orang merokok itu berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan
sebagai ‘gaya-gayaan’ atau modal sosial agar tidak menjadi minoritas. Berdasarkan
pengalaman saya bergaul, sekarang tidak ada lagi stigma bahwa lelaki yang
nonperokok itu banci dan sebagainya. Seperti sudah saya tulis di atas, merokok
tidak ada kaitannya dengan gender dan karakter.
Bagi
saya sendiri merokok adalah media meditasi, relaksasi, dan utamanya untuk teman
menulis juga sebagai bentuk dukungan pada petani tembakau dan cengkih. Nanti
akan saya bahas di bawah. Apakah saya berharap semua orang paham tentang
perilaku merokok saya? Tidak. Saya juga punya rasa empati dan toleransi pada
nonperokok makanya saya menerapkan sikap perokok santun.
Narasumber
kedua, Pak M Nur Kasim sebagai Ketua RT 1/RW 3 dari Kampung Bebas Asap Rokok
dan Covid-19 di Cililitan Jakarta menceritakan asal-muasal Kampung Warna-warni
yang kini jadi Kawasan bebas rokok. Saya sempat bertanya saat talkshow
apakah tetap disediakan tempat untuk perokok? Pak Nur menjawab masih ada.
Bagi
saya selama masyarakatnya menerima kebijakan ini tidak jadi masalah. Namun alangkah
lebih bijak jika disediakan ruang hijau bagi para perokok. Ruang yang
manusiawi.
Perokok
Realistis dan Rasional
Lebih
baik tidak makan daripada tidak merokok. Itu merupakan ungkapan basi yang pada
praktiknya tidak begitu. Sebagai perokok, saya cukup realistis dan rasional.
Artinya saya mengutamakan kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Terkait
data pembelian rokok vs pembelian beras ini di masa pandemi ada hubungannya
dengan bantuan pemerintah. Bantuan biasanya berupa beras, gula, minyak, telor,
dan kecap. Sehingga tidak ada dana yang dibelikan pada bahan-bahan tadi. Apakah
dananya dialihkan pada rokok? Tidak juga.
Hasil
survey kecil-kecilan saya di kalangan teman-teman, banyak yang beralih pada
rokok tradisional, berganti merk ke yang lebih terjangkau harganya, atau
mengurangi konsumsi rokok. Intinya cukup tahu prioritas.
Menyangkut
edukasi keseimbangan kebutuhan pokok vs kebutuhan rokok sebaiknya dilakukan secara
pelan-pelan. Tidak adanya penghakiman sehingga lebih bisa masuk ke masyarakat. Sehingga
kebijakan dan kebajikan dalam memutuskan belanja kebutuhan pokok dan rokok
tumbuh dengan kesadaran utuh.
Kontribusi
Petani Tembakau dan Cengkih Pada Ketahanan Ekonomi Negara
Hampir
dua tahun lalu saya pernah mengunjungi perkebunan cengkih di Munduk, Bali.
Wilayah Bali yang dinginnya seperti di Punclut itu membuat saya betah. Gugusan
bukit berhias pohon cengkih tua menerbitkan keinginan untuk masuk lebih dekat
pada kehidupan petani cengkih. Kalau dapat, saya ingin sekali membuat sebuah
novel berlatar perkebunan cengkih.
Petani cengkih di Munduk, Bali |
Yang
saya tahu, cengkih merupakan tanaman asli Indonesia. Cengkih inilah salah satu
alasan bangsa-bangsa di dunia berbondong ke Nusantara. Cengkih banyak digunakan
untuk mengawetkan makanan terutama daging menciptakan eksotisme rasa. Sejak
adanya teknologi pendingin, kebutuhan cengkih merosot drastis.
Berkat
Mbok Nasilah membuat racikan rokok kretek yang merupakan paduan tembakau dan
cengkih, cengkih punya posisi kembali. Dia diserap oleh Industri Tembakau Indonesia
hampir 95%. Hanya di Indonesia kita dapat menemukan rokok kretek.
Kretek mengembalikan kejayaan cengkih |
Berdasarkan
data yang dikeluarkan direktorat jendral perkebunan, pada 2019, luas lahan
pertanian cengkih mencapai 561.290 hektare. Luasan tersebut menghasilkan
cengkih kering sebanyak 123.766 ton. Jumlah petani yang terlibat dalam
pertanian cengkih di tahun lalu mencapai 1.059.222 jiwa dengan pekerja musiman
berjumlah 17.241 jiwa. Dari sini, estimasi kasar jumlah orang yang mendapatkan
manfaat langsung dari pertanian cengkih mencapai lebih dari 6 juta jiwa.
Undang-undang
nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan menyebutkan bahwa tembakau menjadi salah
satu komoditas strategis nasional. Penyematan sebagai komoditas strategis
nasional ini tak lain karena peran signifikan sektor pertanian pertembakauan
terhadap perekonomian nasional.
7 Komoditas Perkebunan Andalan Indonesia |
Data
terakhir, pada tahun 2019, luasan lahan pertanian tembakau nasional mencapai
204.562 hektare dengan total produksi tembakau mencapai 183.146 ton. Dari sana,
pemerintah berhasil mengumpulkan cukai hasil industri tembakau mencapai 157
trilyun, naik sekitar 4 trilyun dari tahun sebelumnya.
Jumlah
petani yang terlibat langsung pada sektor pertanian tembakau di tahun lalu
mencapai 527.688 orang. Ini artinya ada 527 ribu lebih keluarga di negeri ini
yang hidup dari pertanian tembakau. Itu belum termasuk pekerjaan-pekerjaan
turunan yang ada di saat musim tanam tembakau dan musim panen tembakau
berlangsung di wilayah-wilayah penghasil tembakau, misalnya pengrajin keranjang
tembakau, para-para untuk menjemur tembakau, dan kelengkapan pengemasan
tembakau lainnya. Secara kasar, estimasi manusia yang terlibat dan mendapat
keuntungan langsung, serta menggantungkan diri dari sektor pertanian tembakau
mencapai lebih dari lima juta orang.
Sebaran Petani Tembakau di Indonesia |
Mungkin
sebagian dari kita tidak akan pernah lupa bahwa Indonesia pernah mengalami
krisis ekonomi pada tahun 1990an puncaknya pada 98. Banyak industri dan usaha
bergelimpangan. Namun mungkin sebagian dari kita lupa atau tidak pernah tahu
bahwa ada satu industri yang bertahan bahkan dapat menolong tegaknya
perkenomian bangsa: industri hasil tembakau.
Mengapa
bisa demikian? Racikan cengkih dan tembakau inilah yang menjadi kekhasan rokok
Indonesia. Rokok kretek. Bila ditelaah lebih jauh, industri kretek ini
merupakan produk yang sejatinya lokal sekali. Mulai dari penyediaan bahan,
pengolahan, hingga pengemasan. Indonesia mampu menjadi produsen seutuhnya bukan
hanya bagian menanam tembakau.
Jika
menarik garis sejarah, sejak zaman kolonial, Nusantara diciptakan hanya sebagai
petani. Tugasnya menanam saja. Tidak dibekali dengan bagaimana mengolah menjadi
sebuah produk jadi. Contohnya, kita punya sumber minyak tapi tidak bisa
mengolah minyak. Jadilah kita ketergantungan pada pihak lain. Nah, lain soal
dengan industri tembakau ini. Maka tidak heran pada krisis ekonomi 90an itu
justru Indonesia tertolong oleh industri yang berdikari.
Di
masa pandemi ini industri hasil tembakau ini tetap berjalan, tidak gulung
tikar. Sehingga perekonomian Indonesia tetap berputar. Keterbatasan jalur
distribusi tidak terlalu jadi penghalang. Industri tembakau ini memang kompleks
adanya sehingga harus melihatnya secara holistik.
Saya
yakin sebagian besar dari kita sadar bahwa industri hasil tembakau ini mesti
berjalan beriringan dengan edukasi: merokok santun dan rasional. Kebutuhan
pokok tetap diutamakan. Bahwa merokok bukan perilaku yang bisa diterima di
semua kalangan. Jangan pula didiskriminasi. Penyediaan ruang merokok yang
manusiawi salah satu solusinya. Saya optimis banyak orang yang menyadari bahwa
tolerasi adalah bagian dari kesehatan yang sejati.
"Anda bisa mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini."