Saya sudah bosan kalau tidak mau dibilang jengah ketika mendengar bahwa budaya literasi di Indonesia rendah dibanding negara A, B, C sampai Z. Tingkat literasi negara kita terbawah ke berapa dari berapa. Okelah kalau itu dipaparkan sebagai data pendamping dan mengetengahkan solusi. Namun lebih sering hanya mengejek dan jadi wacana abadi. Rasanya sudah saatnya kita beranjak fokus ke akar masalah kemudian mencari solusi kemudian menjalankannya.
Kegiatan kelas menulis di rumah |
Sebetulnya literasi itu apa sih? Mari kita samakan definisinya agar ketika berdiskusi tidak ngawur dan kabur. Menurut KBBI, literasi adalah:
1. Kemampuan menulis dan membaca;
2. Pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu:
3. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup;
4. Penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata.
Dari definisi di atas saya menyimpulkan bahwa literasi bukan sekadar membaca dan menulis lebih dari itu bagaimana manusia mengolah informasi dan pengetahuannya di berbagai bidang untuk hidup.
Bila berkaca pada sejarah, Nusantara terdidik dengan sastra lisan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena alam dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Misalnya legenda Tangkuban Perahu, Malin Kundang, dan sebagainya. Sebab leluhur kita terbiasa dengan sastra lisan butuh gradasi untuk menyerap budaya baca tulis, pun ketika era digital menghadang. Gradasi budaya itu masih berjalan saat budaya internet hadir melahirkan nuansa baru.
Kini saatnya kita berpartisipasi untuk percepatan serapan literasi. Lalu bagaimana agar kita bisa jadi agen literasi? Ada berbagai cara. Saya yakin teman-teman punya jalan sendiri untuk membentuk budaya literasi sesuai minat dan profesi. Yang penting bukan berkeluh kesah tetapi menjadi bagian dari solusi.
Saya bersama suami dan sahabat-sahabat tengah menyiapkan Pustaka Hijau, sebuah perpustakaan umum untuk anak-anak, remaja, dan ibu-ibu. Ruang ini sebetulnya hanya basis untuk berbagai kegiatan seperti kelas menulis, merajut, dan sebagainya. Kami mengharapkan Pustaka Hijau bisa menjadi kanal berbagi gagasan dan kreativitas. Untuk itu saya membutuhkan asupan ilmu untuk dapat merangkul generasi muda yang akrab dengan dunia digital.
Pustaka Hijau, ruang literasi dan hobi
Webinar KPPPA Mengenai Literasi Digital
Dengan niat mendapatkan ilmu, saya mengikuti webinar yang diinisiasi oleh KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mengenai literasi digital. Ada tiga narasumber yang dihadirkan yaitu Teh Amy Kamila (content creator), Teh Ani Berta (blogger), dan Kang Maman Suherman (penulis dan jurnalis).
Materi Teh Amy Kamila tentang konten positif
Amy Kamila mengetengahkan materi bagaimana membuat konten positif di berbagai media daring. Teh Ani Berta memaparkan bagaimana berjuang di era media sosial. Sedangkan Kang Maman menjabarkan kunci meningkatkan literasi di era digital.
Materi Teh Ani Berta tentang berjuang di era sosial media
Patrap Triloka Ki Hajar Dewantara
Selain gradasi budaya lisan menuju tulisan, saya pikir masalah literasi di Indonesia disebabkan tidak meratanya ketersediaan bacaan. Anak-anak tidak dipersilakan untuk membaca buku-buku yang sesuai dengan keinginan hatinya tetapi langsung bertemu buku pelajaran. Buku kemudian identik dengan pelajaran. Bukan sebuah kesenangan.
Saya senang membaca sebab saya beruntung berjumpa Majalah Bobo, komik, dan novel yang menggugah hati. Saya tidak serta-merta bersentuhan dengan buku pelajaran sehingga saya tidak antipati pada buku. Namun tidak semua orang semujur saya, kan?
Menurut Kang Maman Suherman pendidikan memberikan sumbangsih yang besar pada budaya literasi. Sekolah mesti menjadi tempat yang ramah. Perpustakaan harus menjelma ruang yang menyenangkan. Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah dengan nama Taman Siswa karena murid bebas berekspresi saat belajar.
Ki Hajar Dewantara sedang mengajar di Taman Siswa - Sumber KITLV
Ki Hajar Dewantara mewariskan konsep Patrap Triloka yang masih relevan hingga hari ini. Kamu pasti pernah mendengar ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang artinya “di depan memberi teladan, di tengah membangun motivasi, di belakang memberikan dukungan.” Kang Maman juga menjelaskan bahwa konsep tersebut bagaimana kita mengerti, merasakan, dan melakoni. Bagaimana kita mengembangkan sisi afeksi, kognitif, dan psikomotorik.
6 Kunci Meningkatkan Literasi di Era Digital
Apa yang berbahaya ketika gradasi literasi belum terserap sempurna sementara era digital telah menyingsing? Hoaks. Siapa pun bisa jadi agen hoaks bila tidak terbiasa membaca dan mengolah data. Menurut Teh Ani Berta perjuangan di era media sosial adalah memerangi hoaks, mengawal informasi yang benar, kemudian mempersenjatai diri dengan edukasi.
Sejalan dengan pemikiran Teh Ani, Kang Maman memperingatkan kita untuk selalu menyaring sebelum memberikan segala informasi di internet. Caranya bagaimana? Merujuk pada kaidah jurnalistik cermati 5W dan 1H. What, where, who, when, why, how.
Misalnya, ada informasi tentang sepak terjang bakal calon gubernur. Teliti siapa yang memberi informasi. Apakah dari media yang terpercaya atau media abal-abal.
Untuk meningkatkan literasi di era digital ada 6 kunci, ujar Kang Maman. 6 kunci itu adalah literasi baca tulis, numerik, digital, finansial, sains, dan kebudayaan. 6 kunci berkaitan erat dengan 5R yaitu Read, Research, Reliable, Reflecting dan (w)Rite.
Literasi baca tulis dimulai dari kegiatan membaca. Mendekatkan anak terhadap bacaan yang sesuai. Caranya bagaimana? Read load. Mengeraskan suara saat membaca, bisa menjelang tidur dengan buku dongeng atau kegiatan membaca bersama. Kegemaran membaca dapat melahirkan kesenangan atau gairah menulis. Penulis yang baik akan membaca berulang-ulang sesuatu berulang-ulang termasuk karyanya sebelum dipublikasikan.
Sebelum menulis sebaiknya melakukan riset. Berbicara tentang data, baru fakta. Reliable, ketika menulis tingkat kesalahan harus mendekati nol sebab salah nulis akan salah penyampaian. Reflecting, memperkaya sudut pandang dan melihat sesuatu secara keseluruhan. wRite, dengan terbiasa menulis akan membuat pikiran kita terstruktur. Berkaca pada 5R ini fungsi literasi juga membuat pikiran kita terstruktur dan holistik.
Numerik, seperti data statistik. Saya pikir sekarang semua informasi dijadikan data statistik. Dari sana kita akan belajar membaca tren, kebutuhan masyarakat, dan terutama kecenderungan sosial budaya. Merujuk pada dunia digital, data statistik ini menjadi penting sebab berkaitan dengan algoritma media sosial maupun website.
Digital, segala sesuatu di era internet ini menyangkut digital. Kita harus menguasai digital agar literasi dapat ditujukan pada sasaran yang tepat.
Finansial. Literasi membutuhkan dukungan finansial. Apakah itu untuk penyediaan buku, perangkat komputer, dan sebagainya.
Sains. Literasi sebetulnya cara kita mendapatkan ilmu pengetahuan yang nantinya harus diteruskan. Diikat ke dalam sebuah tulisan atau media lain sehingga menjadi informasi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Kebudayaan. Literasi harus bisa melebur dengan kebudayaan. Seperti yang saya tulis di atas bahwa Indonesia terbiasa dengan sastra lisan. Percepatan gradasi sastra lisan ke tulisan kemudian ke era digital hanya akan terjadi jika pendekatan literasi disesuaikan dengan budaya dan kondisi sosial suatu daerah.
Setelah mendapat asupan gizi dari ketiga pembicara dalam webinar KPPA, saya merasa lebih siap untuk menjalankan Pustaka Hijau. Meski sekarang secara finansial dan ketersediaan perangkat digital belum ada, saya optimis ada jalan untuk menjadi agen literasi di masa kini. Semoga.
Referensi:
https://historia.id/politik/articles/ki-hajar-dan-sekolah-liar-v5zoP
https://min.wikipedia.org/wiki/Taman_Siswa
wah keren bgt materi yang dipaparkan diatas. jadi tertarik ikut webinar dari KPPPA kalo ada lagi nanti
ReplyDeleteLiterasi digital sangat penting di saat ini karena semua prasarana dan sarana serba digital. Etika dan cara komunikasi membuat kita tidak gagap.
ReplyDeleteSetuju pisan, gimana literasi ngga rendah kalo fasilitas ngga tersedia. Mereka juga ngga punya teladan, ortu mereka jarang baca
ReplyDeleteLiterasi digital perlu ditingkatkan buat tingkatan masyarakat manapun Teh Evi, banyak yang suka gagal paham soalnya sama cerita-cerita atau berita di online. Suka pada reaktif tanpa mencerna :)
ReplyDeleteSalam literasi Teh Evi hehe. 3 Pemateri di atas tuh favorite semua nya, sangat pantas digandeng menjadi narsum bersama KPPPA. Mengenai literasi digital, hal ini perlu sekali terus dibagi informasi nya agar mereka paham tidak salah arah dalam ber literasi ;)
ReplyDeleteSalut sama cita-vita teh evi membuat ruang baca untuk semua orang. Dengan langkah kini semoga bisa mendekatkan kegiatan baca tulis pada anak-anak supaya mereka gemar membaca.
ReplyDeleteSusah kalau orang tuanya nggak suka baca, jadi kurang memotivasi anak untuk baca. PR banget nih literasi untuk negara kita. Orang suka baca berita digital macam WAG tapi nggak melakukan penyaringan dan kros cek
ReplyDeletemenarik banget untuk tetap berliterasi walaupun zaman sekarang ini tuh digitalisasi ya teh Evi..menjadi PR banget buat diri aku sendiri melihat materi ini untuk semakin bisa berkualitas
ReplyDeleteWah seru banget ini teh. Iyaah yah, karena sekarang eranya digital jadi literasi pun bisa di dekatkan dengan digital. Yaa tapi emang kita harus menyaringnya dengan baik, karena nggak jaran banyak berita hoax yang di dapatkan :)
ReplyDeleteSetuju banget, masyarakat kita perlu meningkatkan literasi digital. Dari pengalaman yg ada melihat postingan grup2 WA, facebook, dll, banyak teman2 saya yg asal share sebuah berita tanpa kroscek kebenarannya. Mau gak mau kita yg sedikit lebih 'melek' digital harus memberikan penjelasan dan menunjukkan apa yg sebetulnya terjadi.
ReplyDeleteSekarang zamannya digital yah Kak, jadi literasi juga bisa melalui digital yah
ReplyDelete"Anak-anak tidak dipersilakan untuk membaca buku-buku yang sesuai dengan keinginan hatinya tetapi langsung bertemu buku pelajaran. Buku kemudian identik dengan pelajaran. Bukan sebuah kesenangan."
ReplyDeleteUnfortunately, yes. Ada yang menganggap anak jangan dikasih buku, nanti disobek. Kasih HP aja biar diem. Ortunya juga males bacakan padahal read aloud itu efeknya luar biasa lho.
Setuju sama kata mbak Evi, sudah saatnya stop mengungkapkan fakta bahwa tingkat literasi di Indonesia rendah jika tanpa solusi. Saatnya cari solusi apa yang bisa kita lakukan untuk negeri ini. Salut buat mbak Evi dengan Pustaka Hijau nya. Semoga berkah dan bermanfaat.
ReplyDelete