Cinta Sebaiknya Buta

Cinta Sebaiknya Buta
: Elsiana Inda Putri Maharani
Dear Puput,
Apa kabar Put? Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia.

Put, kapan pulang ke Bandung? Mari kita bersua sambil minum kopi. Ajak juga Lenny dan kawan-kawan. Kita bernostalgia tentang masa remaja, atau apa saja yang bisa kita bagi. Aku akan datang sendiri, jadi kita bisa bebas berekspresi.

Put, ada yang mengganjal dalam benakku, ini tentang percakapan kita tempo hari. Waktu itu kau bercerita tentang beberapa sosok lelaki yang mendekat. Seperti proses pendekatan pada umumnya, kalian saling memperkenalkan diri, saling mengirim pesan lewat chat, dan bertemu beberapa kali. Saling menggali, saling mencari kecocokan, dan saling menilai. Tak heran, masa pendekatan seperti masa liburan, menyenangkan.

Sayangnya, kita bukan lagi anak kemarin sore yang tak banyak pertimbangan atau sekadar mengisi kekosongan. Bagi perempuan seusia kita, sudah tak penting lagi siapa yang nembak duluan, apel bawa bunga atau coklat. Lalu apa yang penting sekarang? Lelaki itu datang meminang, meminta izin pada orang tua untuk mengajakmu ke pelaminan?

Ah, mungkin juga tidak sesederhana itu. Banyak faktor lelaki dan perempuan memutuskan pernikahan. Ada beberapa alasan, salah satunya harta. Ya, siapa perempuan yang tak ingin dimanja dengan fasilitas-fasilitas mewah semisal rumah minimalis yang harganya selangit, mobil bermerk, dan jaminan kesehatan. Siapa yang tak bangga suaminya punya kedudukan juga wibawa? Sejak zaman dulu, perihal cinta hanya bisa dirasa. Lain soal dengan perkawinan, yang mesti dijalani seumur hidup. Katanya cinta punya usia, cinta bisa menguap karena pelbagai urusan biaya.

Ada lagi hal biasa namun tabu dibicarakan dalam kasusmu, Put. Perihal pendidikan. Perempuan cerdas lulusan S2 sepertimu membuat lelaki jadi takut. Mereka hilang kepercayaan diri, takluk sebelum berjuang. Mereka bukan pejuang, Put. Lupakan saja mereka yang lupa bahwa kau hanya perempuan biasa.

Lalu apa lagi, Put? Persoalan ras? Walaupun kita hidup jauh setelah zaman Sitti Nurbaya, masih saja ada yang berpegang teguh pada hal semacam itu.

Kita tak lagi mengenal cinta, Put. Kita hanya sibuk berhitung. Cinta tak lagi jadi hal yang menyatukan. Meleburkan perbedaan.

Terkadang aku merindukan cinta yang buta. Cinta yang setia. Dengan berbagai soal perihal pernikahan itu, perempuan dan lelaki tak lagi peduli terhadap cinta. Kupikir, cinta sebaiknya buta, Put. Agar dia tetap membutuhkan mata, yaitu hati kita. Agar kita tak lagi sibuk menghitung untung. Ketika hati bertemu hati, kita akan menemukan semesta. Darinya sumber kekuatan tak pernah habis. Takkan kalah sekalipun zaman berpindah.

Dari sahabatmu,
Evi
Evi Sri Rezeki
Evi Sri Rezeki

Selamat datang di dunia Evi Sri Rezeki, kembarannya Eva Sri Rahayu *\^^/* Dunia saya enggak jauh-jauh dari berimajinasi. Impian saya mewujudkan imajinasi itu menjadi sebuah karya. Kalau bisa menginspirasi seseorang dan lebih jauhnya mengubah peradaban ^_^

8 comments:

  1. aaah...ada begitu banyak pesan penting di sini...dan cinta yang buta memang (bisa) lebih membahagiakan :)...cheers..

    ReplyDelete
  2. Kadang menurutku cinta buta memang cinta yang tak memandang siapa :)

    ReplyDelete
  3. Memang suratnya tidak untukku, tapi setelah membaca, banyak pesan yang bisa kupetik, mbak^^ Terimakasih :D

    ReplyDelete
  4. Sayang saat ini terlalu banyak yg diperhitungkan, padahal cinta tidaklah terhitung.

    ReplyDelete
  5. Sepertinya cinta yang buta hanya milik anak remaja. Saya pun yang perlahan menjauh dari usia remaja, lebih merasa bahwa cinta kini butuh banyak iming-iming dan strategi. Semua serasa dibuat-buat demi kepastian masa depan.

    ReplyDelete