Laki-laki
yang tak pernah jatuh cinta
Laki-laki
yang tak tahu rasanya luka
Pada
mawar yang berwarna darah, cerita ini mengalir seperti misteri. Bahwa setiap
pagi dan sore, seorang perempuan setengah baya yang berperawakan tinggi itu
selalu datang untuk menyirami bunga mawar, menaburkan pupuk, menggemburkan
tanah, lalu mengajak bunga-bunga itu bicara sambil kadang menciuminya.
Perempuan itu memperlakukan mawar itu seperti kekasihnya sendiri. Hal lain yang
dilakukan perempuan itu; bila ada orang yang menyapanya maka ia akan membalas
dengan keramahan senyumnya lalu menghadiahi orang itu dengan beberapa tangkai bunga
mawarnya. “Berikan pada orang-orang yang kau sayangi!” begitu diujung pesannya.
'Perempuan
mawar’ itu hidup sendiri; tanpa keluarga; tanpa kekasih. Namun dari kabar
orang-orang, sesungguhnya perempuan itu pernah memiliki seorang teman—kekasih. Beberapa
versi tentang kekasihnya lantas merebak dari setiap mulut orang, berhamburan
ibarat wangi mawar yang tak tertawar:
“Kasihan perempuan itu. Ia ditingalkan
pacarnya.”
“Kenapa?”
“Pacarnya telah menjadi artis terkenal.”
“Terus?”
“Karena telah menjadi artis, maka perempuan itu
dilupakannya.”
“Dan ia tetap saja menunggu?”
Begitulah gunjingan para tetangga tentang
kehidupan cinta perempuan itu. Gunjingan yang sesungguhnya menandaskan
keragu-raguan mereka pada kebenarannya.
Sebab hanya perempuan itu sendiri yang mengetahui benar-benar kisahnya.
***
Tatapannya menghujam mata Anwar. Tatapan yang
begitu ia kenal—tatapan yang tak pernah terbantahkan. Tatapan yang menyayat
serupa menancapnya belati di ulu hati,
tatapan luka, ibarat kepedihan petir ketika meninggalkan langit; tatapan sepi,
serupa hujan dini hari.
Lagi-lagi Anwar tak bisa menolak kehendak Sarita.
Kata-kata Sarita adalah sabda dan tatapan matanya bakal selalu menciutkan
hatinya.
Anwar telah terbiasa hidup bersama Sarita. Setahun,
sudah menjadi waktu yang cukup untuk mengenal Sarita. Anwar tinggal bersama di
rumah Sarita di kawasan Setiabudi. Rumah yang tak pernah terasa luas namun tak
pernah terasa sempit. Rumah yang tak pernah mengundang masalah namun melulu mengerdilkan
nyali Anwar.
“Aku mohon, tinggallah. Jangan pergi, jangan
tinggalkan aku.” Pinta Sarita.
“Aku harus pergi Rita, aku harus mencari uang
untuk kita.” Jelas Anwar.
“Tapi kamu akan meninggalkan aku selama
sebulan, War!”
“Hanya sebulan Rita. Tidak lama, lagi pula ini
untuk kita. Tawaran pergi ke Jakarta itu sungguh bagus. Akhirnya ada yang
mengakui bakat aktingku.”
“Sebulan itu lama! Dan aku tidak mau
ditinggalkan selama itu olehmu. Aku mencintaimu, War!”
“Aku juga mencintaimu Rita. Karena itu, aku
harus menyusun masa depan untuk kita.”
“Kalau begitu, bawa aku pergi! Bawa aku ke
Jakarta!”
“Rita, aku tidak bisa melakukan itu. Ini adalah
awal karirku. Aku tidak bisa membuat tawaran yang macam-macam. Lagi pula kita
harus berhemat. Rumah ini harus di bayar sewanya minggu depan. Dan kita belum
mendapatkan uang. Mengertilah..”
Lagi-lagi tatapan itu menghujam mata Anwar. Tatapan
yang menyayat, tatapan luka dan tatapan sepi yang kini jadi miliknya.
Lelaki itu teramat mencintai Sarita. Tak pernah
ia ingin melukai hatinya. Maka lelaki itu tidak akan membiarkan ada luka di
mata kekasihnya. Biarlah luka menjadi bagiannya dan suka menjadi milik kekasihnya,
begitu dalam batinnya.
Namun malam itu, lelaki itu akhirnya geram juga.
Ia ingin mengakhiri penjara yang dinamakan cinta. Bagaimana mungkin cinta
menjadi sebuah penjara? Anwar tidak pernah mengerti:
Mereka hidup bersama namun tanpa sebuah ikatan,
maka sekarang ia ingin menghadiahi kekasihnya sebuah pernikahan. Sebuah
pernikahan yang agung, dan sempurna. Sebuah pernikahan yang akan menyatukan
mereka selamanya. Apalagi yang menjadikan manusia menjadi sempurna selain
pernikahan? Maka sungguh lega rasanya ketika mengetahui bahwa akan ada
seseorang disamping kita ketika bagun pada pagi hari dan menghabiskan masa tua
bersama.
Perempuan itu tak pernah membiarkan ia jauh
darinya. Mereka telah menjadikan satu sama lain sebuah semesta. Semesta kecil
itu tetap membutuhkan kehidupan. Dan tentu saja kehidupan selalu meminta
imbalan.
Usia Anwar hampir tiga puluhan. Kulitnya hitam,
rambut keriting, perawakan cukup lumayan dengan tinggi seratus tujuh puluhan. Wajahnya
manis dengan lesung di kedua pipinya. Anwar cukup simpatik dan menawan dengan
selera humor yang bagus. Namun untuk kecerdasan, sebenarnya ia biasa-biasa saja—di
setiap jenjang pendidikan, Anwar malah pernah mengalami tak naik kelas. Sampai
akhirnya Anwar memutuskan untuk tidak peduli dengan pendidikan. Maka masa SMU
adalah masa terakhir dimana Anwar menyentuh buku pelajaran. Sejak keluar dari
SMU inilah, Anwar jatuh cinta pada dunia seni peran.
Awalnya Anwar, belajar seni peran dari sebuah
perkumpulan teater. Karena bakatnya yang kuat, Anwar kerap mendapat peran
utama. Siapapun memuja kemampuan aktingnya.
Berkat kemampuan aktingnya maka Anwar jadi
sering tampil dari panggung ke panggung. Namun meskipun begitu, Anwar tetap menyadari
bahwa teater tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Akhirnya dengan berbekal
tekad yang bulat, Anwar kemudian merambah ke dunia film. Mengikuti beberapa
Audisi dan sebagainya. Tapi siapapun tidak bisa langsung sukses bukan? Pada
mulanya Anwar hanya mendapat beberapa peran kecil di beberapa film. Namun
setelah menekuninya selama tiga tahun, akhirnya Anwar mendapat kesempatan emas
dari sebuah production house yang
tertarik dengan bakatnya. Bisa dibilang inilah debutnya kesuksesannya.
Sarita, seumur dengan Anwar. Berperawakan
tinggi, putih dengan rambut panjang, sepinggang. Wajahnya tidak bisa dibilang
menarik, tapi Sarita pintar berdandan sehingga dia bisa tampil sempurna. Sarita
bekerja sebagai seorang SPG rokok. Sarita cerdas dan luwes. Semasa hidupnya selalu
banyak lelaki yang mampir, menyukainya; sayangnya dari sekian lelaki itu tidak
ada satupun yang benar-benar mencintai
sesungguh hati.
Pada saat berumur tujuh belas tahun, Sarita
memulai petualangan hidupnya di Bandung. Sebelumnya, Sarita tinggal di rumah
Kakek dan Neneknya di kampung. Orang tuanya jelas-jelas sudah membuangnya sejak
bayi. Bukan tidak sayang, tapi dengan adanya sepuluh orang kakaknya yang mesti
diurus, Sarita hanyalah beban yang tidak tertahankan lagi. Orang tuanya tidak
henti-hentinya membuat anak setiap tahun, kemudian menitip-nitipkannya pada saudara-saudara
mereka. Orang tua Sarita miskin tidak ketulungan. Jadilah Sarita dititipkan
pada Kakek dan Nenek bersama kedua adiknya.
Di Bandung, Sarita berusaha mencari kerja
dengan sepantasnya, tapi karena jenjang pendidikannya yang tidak memadai,
Sarita hanya bisa jadi seorang SPG. Bagi Sarita, pekerjaan SPG memberinya dunia
yang lain, dunia yang glamor, dunia yang hingar-bingar, dunia yang dikiranya
tidak pernah ingin ditinggalkan. Penghasilannya lebih dari cukup untuk hidup di
Bandung, namun gaya hidupnya luar biasa tinggi. Tidak masalah untuknya, selalu
saja ada lelaki iseng yang bisa menjadi santapan dan menyantapnya.
Dalam sebuah event launching sebuah film yang disponsori oleh rokok tempatnya
bekerja, bertemulah Sarita dengan Anwar. Pertemuan bermula ketika Sarita sedang
membagi-bagikan rokok pada setiap pengunjung yang datang. Anwar sebagai salah
satu pemeran pembantu, hadir dalam event
itu. Anwar sedang duduk-duduk santai sambil menghisap rokok dan minuman dingin,
ketika Sarita menghampirinya dan memberikan sebungkus rokok. Mata mereka
bertemu. Pandangan pertama yang membuat dunianya seakan mendadak hening, Anwar
dan Sarita tahu, mereka telah menemukan belahan jiwa masing-masing.
Anwar masih menunduk ketika Sarita kembali
menghujamkan pandangannya. Dinyalakannya sebatang rokok dengan gemas,
menghisapnya dalam-dalam kemudian membuang asapnya dalam satu tarikan nafas
panjang.
“Aku tahu, fansmu makin banyak sekarang. Pasti
salah satunya ada di Jakarta. Kau ingin menemuinya kan?” serang Sarita. Anwar
tidak bergeming.
“Siapa itu namanya Desi, Seli, Sindi?”
“Demi Tuhan, Rita! Aku Cuma ingin sukses dan
menghasilkan uang yang banyak untuk kita!” bantah Anwar.
“Bohong! Kau hanya ingin bisa dekat dengannya!
Aku suka menonton infotainment,
artis-artis itu selalu berganti-ganti pacar dengan cepat, seakan mereka tidak
punya hati!”
“Kau tidak tahu dunia entertainment, jangan
bicara begitu tentang mereka! Itu hanya untuk popularitas saja, sesungguhnya
mereka tidak seburuk itu.”
“Oh kau, berbicara seakan-akan sudah menjadi
aktor besar!”
“Bagaimana aku bisa menjadi besar, kalau
satu-satunya kesempatan besar yang datang padaku kau halangi.”
“Sekarang kau bicara seakan-akan aku ini
penghalang, seakan-akan aku ini beban untukmu!”
Anwar tidak tahu harus berkata apa, ia begitu
mencintai Sarita. Anehnya, dalam hati ia mengamini kata-kata perempuan itu.
“Kalau kau ingin benar, ikutlah bersamaku ke
Jakarta.”
Anwar menghisap kembali rokoknya yang tinggal
setengah, menanti jawaban Sarita. Hening. Keheningan yang mencekam, keheningan
yang terasa panjang. Anwar dapat mendengar dengan jelas bunyi detik jam dinding
atau itu bunyi jantungnya sendiri? Anwar tidak tahu pasti. Satu-satunya yang
pasti, ia tidak ingin kehilangan kesempatan emasnya di Jakarta. Belum pernah ia
menginginkan sesuatu sebesar itu, keinginan yang sama besarnya dengan
keinginannya memiliki Sarita. Anwar tidak bisa memilih, ia menginginkan
keduanya.
“Aku tidak mau! Aku tidak rela kau menjadi
seperti artis-artis di TV itu! Kau akan dipuja banyak orang, kemudian kau akan
meninggalkanku karena artis lain!” Ucap Sarita mulai keras setelah keheningan
panjang itu. Emosinya tidak terbendung. Nafasnya naik turun dan mukanya merah. Anwar
mendekati Sarita, memegang tangan perempuan itu dengan lembut.
“Sarita, aku mencintaimu. Aku ingin menikah
denganmu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu demi perempuan lain. Ikutlah
denganku, maka kau akan percaya bahwa aku tidak akan pernah pergi darimu. Kita
tinggalkan Bandung, kita mulai hidup baru di Jakarta.”
“Sekarang kau bisa bilang begini, nanti?
Sudahlah, kau tidak perlu pergi. Aku tidak ingin kau menjadi bintang besar,
cukup dengan kau yang begini!”
“Ya ampun Rita, sudah kukatakan tadi, kita
butuh uang. Karirku bisa menghasilkan banyak uang. Aku ingin membahagiakanmu.”
“Maksudmu? Oya, karirku memang tidak akan bisa
membuat kita berdua kaya! Tidak, aku tidak butuh kaya, aku hanya ingin kamu!”
“Percuma saja, aku bicara padamu sekarang.
Dinginkan kepalamu.”
Anwar bergegas menuju kamar, menarik sebuah
koper dari lemari kemudian berkemas-kemas. Sarita menyusulnya dengan amarah
yang memuncak. Diraihnya sebuah gunting yang tergeletak di meja.
“Kalau kau berani pergi, kubunuh kau!”
“Apa-apaan kau?”
“Aku sungguh-sungguh, selangkah saja kau keluar
dari pintu kubunuh kau!”
“Kau gila Rita! Kau pikir ini jam berapa? Ini
jam satu malam, aku lelah dan tidak mau bertengkar lagi. Pergilah tidur.”
Sarita diam tidak menjawab, matanya awas mengikuti
setiap gerak Anwar. Setelah Anwar selesai berkemas, kopernya diletakkan diatas
kasur. Didekatinya Sarita yang masih memegang gunting. Perlahan Anwar meraih
tangan Sarita, membelainya lembut. Sarita terkejut kemudian mengencangkan
pegangan tangannya pada gunting. Anwar memegang kedua tangan Sarita,
didorongnya Sarita dengan lembut ke tembok dan mulai mengecupi wajah Sarita.
Perlahan gunting terlepas dari tangan Sarita, Anwar melemparkannya ke sudut
kamar. Mereka mulai berciuman. Sebentar kemudian Anwar menghentikan ciumannya
dan berbisik,
“Aku mencintaimu..”
“Aku juga mencintaimu”
Anwar melepaskan pegangan tangannya pada
Sarita, sedetik kemudian berbalik dan melirik sekilas jam tangannya. Jam di
tangannya sudah menunjukan pukul setengah dua pagi, itu artinya ia harus lekas
bergegas. Begitulah waktu, tidak pernah mau menunggu, tidak pernah mau kompromi
dan tidak pernah mau mengerti.
“Rita, aku harus pergi sekarang, aku tidak mau
terlambat menghadiri pertemuan besok pagi.”
“Apa? Kau akan tetap pergi?”
Anwar melengos, diraihnya koper di atas kasur.
Didekatinya Sarita kemudian mengecup keningnya sekilas. Takut-takut ia berubah
pikiran, Anwar tidak menatap mata Sarita. Perasaannya mengatakan, ini adalah
keputusan yang benar. Meninggalkan Sarita. Toh keadaan ini tidak akan lama. Ia
pasti kembali untuk kekasihnya.
“Aku akan segera kembali dan menjadi kaya
untukmu.”
Anwar berjalan keluar kamar. Sarita tertegun,
badannya kaku. Kegelisahan dan kemarahan campur-aduk di dadanya. Entah apa yang
kemudian membawa tangan Sarita mengambil gunting di lantai kemudian mengikuti
langkah Anwar yang kini sudah sampai di pintu keluar. Dilihatnya punggung Anwar
yang kini tengah memakai sepatu. Hatinya mengatakan, ini tidak bisa dibiarkan,
ia tidak mau kehilangan kekasihnya. Anwar adalah semestanya. Bagaimana mungkin
ia bisa hidup tanpa semesta.
Sarita tidak mau merasakan kesepian lagi. Tidak
mau bangun di pagi hari sendirian, tidak mau lagi ditinggalkan. Mereka adalah
satu, harus selalu bersama. Semesta tidak boleh terpecah, tidak boleh terpisah.
Belahan jiwa menyatu selamanya begitu.
Beberapa detik lagi Anwar akan pergi,
meninggalkan dirinya, selamanya, begitulah tiba-tiba angin berbisik pada batin
Sarita. Bisikan larut malam yang membuat mata jantungnya nanar dan gelap. Nanar
dan kegelapan yang bahkan membuat ia sendiri tak benar-benar yakin melihat
gunting di tangannya melayang menghujami tengkuk, leher dan dada Anwar. Ia juga
tak mampu dengan jelas bagaimana delikan mata Anwar untuk terakhir kali
menyampaikan keterkejutannya. Darah segar yang meleleh juga tak bisa ia tebak
berwarnanya: Apakah warna cinta, cemburu, luka atau kecewa? Hatinya pun tak
bisa menjelaskannya.
Hanya setelah kejadian yang singkat itu,
kemudian ia mendapati nafasnya tersenggal-senggal, lalu ia harus bekerja keras
menghapus darah yang berceceran termasuk membakar tubuh Anwar hingga menjadi
abu tanpa diketahui orang-orang.
Abu-abu itu dimasukkannya kedalam Guci.
Satu-satunya Guci yang mereka miliki, mirip guci buatan Cina, dengan ornament
daun-daun kecil dan bunga-bunga sakura. Guci itu dibuat oleh salah satu teman
Anwar yang perupa. Meraka begitu bahagia kala itu, ada hiasan yang indah di
rumah mereka. Siapa nyana, Guci itu akan menjadi tempat bersemayamnya tubuh
Anwar.
“Nah sekarang, kau tidak akan pernah
meninggalkan aku lagi sayang.”
Sarita memeluk Gucinya erat-erat, seakan tidak
ingin melepaskannya lagi. Tangannya membelai Guci seakan membelai tubuh Anwar.
Sarita bahagia, ia dan kekasihnya tidak akan pernah berpisah.
Pagi
hari, seperti biasa, Sarita menyirami pohon mawar di depan rumahnya. Mawar yang
jarang berbunga dan sekali berbunga, bunganya jelek dan tidak harum. Entah
kenapa kemarin Sarita lupa membeli pupuk untuk mawarnya. Tiba-tiba saja ia teringat
Gucinya. Maka berlarilah ia ke dalam kamarnya. Lantas diambilnya seraup abu
dari Guci itu.
Abu itulah yang kini ditaburkan pada mawar-mawarnya.
“Pagi
Sarita,” sebuah suara dari seorang ibu, menyapanya.
“Pagi
Bu Nia.”
“Kemana
Anwar? Biasanya dia membantumu mengurus tanaman.”
“Oh
Anwar, dia pergi ke Jakarta ikut audisi.”
“Begitu
ya. Dia memang bisa jadi artis terkenal. Ya sudah, saya permisi dulu mau ke
pasar.”
“Silahkan
Bu Nia.” Sarita tersenyum senang.
Begitu juga ketika sore hari, diraupnya abu
dari Guci. Ditaburkannya pada mawar-mawar di halaman. Dalam hati Sarita
berkata,
“Hiduplah Sayang, hiduplah dalam mawar ini.”
Pagi berikutnya mawar-mawar itu berubah menjadi
rumpun bunga yang indah. Rumpun mawar yang tumbuh dengan lebat hingga
menghamburkan wanginya semerbak. Daunnya hijau mengkilat, bunganya besar-besar
dan elok. Warnanya merah seperti darah, durinya tumbuh padat dan gemuk,
mengelilingi seperti formasi prajurit saolin melindungi kuil.
Selalu saja ada tetangga yang meminta bibit
mawar itu, tapi meraka tidak pernah bisa menumbuhkan mawar seindah milik
Sarita. Mawar itu jarang berbunga, kalaupun berbunga, bunganya jelek dan tidak
harum. Pernah ada seorang tetangga meminta resep menanam bunga mawar agar
tumbuh seindah milik Sarita, Sarita memberitahu cara mereka menanam sama dengan
caranya. Tentu saja mereka tidak pernah mengerti.*****
Pernah dimuat di Koran Suara Karya - Jakarta - 2009.
Asiiiik punya bacaan baruu.. Jd ga bosen di rumah sama si ujang ini mah.. Hihihi
ReplyDeleteasikkkk... makasih kikiwku.. :) cium peluk buat ujang dr tante evi :)
ReplyDeletedi dalam cinta selalu ada kisah roman dan tragis .. pfffff another good story
ReplyDeletecerita ini betul-betul masih sy ingat pdhl udah lama bacanya. sukses bikin kesan di hati dan otak.
ReplyDeleteTrims Reva :)
Delete