Milad STUBA ke-21 tahun |
Menjelang tanggal 18 Februari, saya mendapat sebuah SMS yang mengabarkan akan diadakan Milad STUBA ke-21. Dalam SMS itu juga, saya diminta untuk memberikan sebuah perform. Saya senang sekaligus terkejut. Sudah lama tidak berada di panggung membuat hati saya kecut. Demi kerinduan berada di panggung, saya memikirkan perform apa yang akan disuguhkan. Saya termasuk orang yang tidak bisa improvisasi, kalau mau mentas ya harus latihan dulu. Berhari-hari saya berpikir, sampai pada hari H. Saya mulai panik, untunglah saat-saat terakhir akhirnya menemukan sebuah ide. Membuat cerpen menjadi monolog.
Sekitar pukul enam sore, saya sudah berada
di STUBA. Di Dapur – sekretariat STUBA, sudah ada Kang Dodi, Teh Nuni, Kang
Indra, Kang Dadan, Kang Riyadi dan Kang Iep. Kami bercakap-cakap ringan. Kang
Dodi dan Teh Nuni bercerita pada kami, berpikir keras untuk menampilkan perform.
Ternyata bukan saya saja yang begitu bersemangat.
Malam mulai merambat naik, acara belum
juga dimulai. Pukul setengah delapan saya beranjak meninggalkan STUBA karena
harus menghadiri acara lain. Sayang sekali saya melewatkan beberapa moment
perform dari kawan-kawan STUBA.
Pukul setengah sepuluh, saya kembali
menghadiri acara MILAD. Tempat acara telah berpindah ke area lapangan basket. Dalam
hati: “Kenapa disini ya? Suara saya tidak akan terdengar jelas”.
Ada coretan berupa lingkaran di lantai
lapangan. Di dekat papan panjat milik MAPENTA, menyala api unggun. Dari samping
kanan, sebuah lampu panggung menyorot ke tengah. Sebuah panggung sederhana. Kawan-kawan
melingkari panggung tersebut, ada suguhan teh dan kopi juga cemilan
keripik-keripikan. Suasana yang benar-benar saya rindukan. Tapi ini adalah
nuansa MILAD yang berbeda dari biasanya, agak tertutup. MILAD
sebelum-sebelumnya biasa mengundang rekan teater dari kampus lain, mengundang
UKM-UKM UNISBA yang lain, dan perform yang ditampilkan tidak saja berasal dari
anggota STUBA. Suasana MILAD kali ini lebih mirip DIKLAT alam.
Perform pertama yang saya saksikan
adalah Kang Indra, membawakan sebuah monolog berjudul “Tamu untuk Ratna”,
monolog yang lucu. Kang Indra begitu menikmati penampilannya di panggung. Berikutnya
saya tampil membawakan monolog “Di bawah Rumpun Mawar”. Penampilan saya tidak
begitu baik, kurang prima, sekali lagi saya katakana – saya bukan orang yang
bisa improvisasi. Vocal dan stamina yang tidak pernah dilatih lagi, membuat
monolog itu tidak maksimal, tapi saya mencintai panggung dan menikmati betul
moment itu. Selanjutnya Abu tampil dengan gaya stand up comedy, sangat
menghibur. Selepas itu saya tidak begitu memperhatikan karena sedang
bersilaturahmi dengan kawan-kawan seperti Hari, Attir, Cita, Abu dan istrinya.
Monolog di Bawah Rumpun Mawar |
Perhatian saya kembali terpanggil
menyaksikan perform dari angkatan Kaktus membawakan “14 dalam 21”, entah kenapa
setiap saya menyaksikan angkatan baru selalu memiliki kesamaan yaitu penampilan
yang kurang terkonsep dan memakai vocal yang agak dipaksakan, pengkarakteran
yang kurang jelas dengan cerita yang juga kurang membangun. Sesederhana apapun
sebuah perform tetapi unsur-unsur yang saya sebut di atas tetaplah harus
dikuatkan. Walaupun begitu saya tetap mengacungi jempol angkatan Kaktus dengan
kekompakan dan keberaniannya menyuguhkan sebuah perform.
Puncak acara adalah potong tumpeng, ada
dua tumpeng, yang satu untuk MILAD STUBA, yang satu lagi untuk kaul Dwi dan Ucup sebagai tanda syukur
lulus menjadi sarjana. Selanjutnya semua kawan yang hadir saat itu menikmati
suguhan tumpeng. Pada saat makan tersebut, muncullah sosok hitam kecil yang
kita kenal dengan sebutan Kang Oleh. Kami saling bertegur sapa dan bertukar
kabar. Sebuah adegan lucu sekaligus mengenaskan dihadirkan oleh sosok Kang Oleh
ini.
Awalnya, saya dan Teh Besti hanya ingin
mengobrol dengan leluasa, kemudian kami pindah dari Aquarium ke koridor. Suasana
gelap namun hangat. Sandi biola bergabung bersama kami. Entah siapa yang
berbaik hati menyalakan lampu sehingga koridor menjadi terang benderang. Saat itulah
sosok Oleh menghadirkan drama dihadapan kami. Oleh mendekat ketelinga Sandi,
membisikkan sesuatu. Sandi memberikan respon dengan tersenyum puas sambil
berkata : “Bentar Kang, sekarang saya punya bawahan. Zahiddd… sini, Kang Oleh
mau dibikinin kopi”.
Zahid mendekat kemudian melakukan hal
yang sama pada Sangu, angkatan Kaktus. Lalu Sandi menjelaskan dengan bersemangat
bahwa STUBA selalu memiliki generasi penerus dalam bidang artistik. Teh Besti
dan Sandi kemudian mengurutkan generasi itu, berasal dari Teh Besti – Bangkit –
Oleh – Sandi – Zahid – Sangu (mungkin ada beberapa nama yang tidak tersebut
oleh saya).
Ada pertanyaan menggelitik setelah
adegan itu:
Evi: Kalau saya mau minta dibikinin
kopi, minta ke siapa?
Sandi: Nggak ada teh
Evi: loh kenapa? Emang nggak ada yang mau jadi
aktor?
Sandi: Setelah Kang Iep, yah Teh Evi. Ga
ada lagi.
Evi: Kan banyak abis itu yang jadi
aktor. Misalnya Dira?
Sandi: Dira ga ada disini teh, lagian ga
ada orang yang setelah Teh Evi yang berkarir di aktor.
-percakapan telah mengalami editing-
Kami semua tertawa, main cela-celaan
setelah itu. setiap kali ada anggota Kaktus yang lewat, kami tanyai: Mau jadi
Artistik atau Aktor?
Takut-takut mereka menjawab, jadi artistik
atau aktor atau musik dan lainnya.
Sudah lama saya tidak tertawa selapas
itu. Yang tidak diketahui oleh kawan lain adalah betapa tawa itu adalah tawa
yang miris. Ini bukan masalah kedepannya siapa yang membuatkan kopi untuk saya,
masih ada seksi konsumsi kok. Masalahnya kemanakah kawan-kawan yang mau menjadi
aktor?
Menjadi aktor adalah sebuah kebanggan
bagi saya yang masih muda. Pertama kali saya menginjakkan kaki ke STUBA yang
saya pikirkan adalah menjadi aktor, berada di panggung. Proses resital adalah
proses yang panjang dan melelahkan, ada pemilihan peran disitu. Betapa senangnya
ketika saya terpilih memainkan sebuah peran. Tidak ada lagikah yang memiliki
perasaan yang sama seperti saya? Saya paham, teater bukan sekedar menjadi
aktor. Teater adalah kerja ensamble. Semua
unsur sama penting. Tapi apa jadinya panggung tanpa aktor?
Sepulang dari MILAD saya banyak berpikir
tentang masalah keaktoran ini. Apa yang terjadi? Sungguh saya tidak bangga
menyandang gelar sebagai “Aktor terakhir di STUBA”. Mari kita samakan persepsi
aktor disini, dari pembicaraan malam itu, aktor adalah orang yang serius
menekuni dunia peran, yang tidak hanya main di resital tetapi berkali-kali,
bahkan bisa jadi bermain teater di luar STUBA. Lebih sempit lagi, tak perlulah
menjadi aktor sebagai karier cukuplah menjadi aktor selama masa perkuliahan
aktif. Bagi saya pribadi, sepakat dengan pengertian itu, tapi intinya adalah
konsisten dan kontinyu. Kembali ke gelar tadi, saya tidak bangga sama sekali,
itu artinya saya tidak membuat regenerasi. Saya selalu merasa, setelah saya ada
sosok Dira. Tapi kalau diingat-ingat lagi, setelah Dira siapa lagi?
Jika kita memandang angkatan atas
sebelum saya, begitu banyak yang menjadi aktor, misalnya Kang Oban, Kang Dadan,
Kang Dodi, Teh Ima, Teh Yanti, Teh Selly, Kang Bangkit, Kang Iep, Kang Dodo,
dan masih banyak lagi. Betapa keaktoran memiliki regenerasi. Ada fenomena apa
sebenernya hingga keaktoran harus mengalami kemunduran? Apakah kesempatan yang
diberikan STUBA hanya pada moment resital saja sehingga aktor tidak dapat
tumbuh subur? Apakah STUBA tidak lagi dapat menjadi wadah bagi para aktor?
Saya tidak hendak menyalahkan pengurus. Saya
hanya sedang berkaca pada diri sendiri. Apa yang tidak saya pikirkan ketika
menjadi ketua STUBA? Saya sudah berusaha membuat pagelaran lain selain resital,
saya sudah berusaha menumbuhkan kecintaan pada panggung dengan melakukan
apresiasi bersama.
Jawabannya adalah
saya lupa membuat mesin abadi. Apa itu mesin abadi? Ini hanya sebuah analogi,
mesin kincir air. Sejatinya air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.
Dengan mesin kincir air, air menggerakan turbin, turbin dapat hidup karena
tenaga air, dan energi yang dihasilkan dari perputaran turbin digunakan untuk
menaikan air kembali, begitu seterusnya. Maksud dari analogi tersebut adalah
mesin abadi yang bergerak sendiri. Sistem yang dibangun dan tetap hidup
sekalipun saya sudah pergi. Sayangnya, dulu saya tidak berpikir sampai sejauh
itu.
Sebenarnya ini tidak hanya berlaku bagi
bidang keaktoran tetapi bidang apapun yang ada di STUBA. Satu-satunya yang saya
anggap berhasil adalah menurunkan kelas penulisan naskah yang tiap tahun selalu
dipelajari di diklat kampus sekalipun tidak menghasilkan penulis naskah.
Kembali pada masalah keaktoran. Saya berdiskusi dengan beberapa kawan, baik itu berasal dari lingkungan STUBA maupun luar. keaktoran adalah masalah minat dan kemauan, tidak dapat dipaksakan. Bagi saya, semua persoalan akan selesai jika dikembalikan pada individu masing-masing. itu bukan solusi! Kawan-kawan, mari kita renungkan. Mau jadi apa STUBA ke depan tanpa lahirnya aktor-aktor baru? Barangkali kita bentuk saja group band.
Sepertinya ada yang kurang maksimal dalam mengajarkan pemeranan. Sehingga di tengah jalan para anggota stuba berubah haluan mengambil jalan yang lain. Ima yakin, pada awalnya teater selalu dijadikan pilihan agar masing-masing bisa main teater (aktor) namun tidak mendapatkan kepuasan dalam pencarian dan ilmu yang ditularkan. Karena jika sudah mendapatkan kenikmatan dalam bermain peran, siapapun akan merasakan yang namanya ketagihan untuk terus bermain.
ReplyDeleteMenjadi sangat kebiasaan mempersiapkan sesuatu dengan mendadak -saya rasa. Ditambah bila tidak ada pementasan, kami kurang mengisinya dengan latihan. Latihan yang ada hanya seperti biasa (olah tubuh, vokal, sedangkan olah sukma jarang dilakukan) dan semua dilakukan dengan biasa pula.
ReplyDeleteIngin rasanya ada yang menggebrak kami untuk 'bermain' lagi dengan tidak hanya wacana dan semangat di awal. Ingin pula para kakak kami ikut latihan rutin bersama. Kami hanya melihat selain kami hanya menjadi 'pemandu' latihan dan itu pun pemandu tetap. Bisa dibayangkan berapa selain kaktus yang ada saat latihan (setiap latihan kami hanya melihat kaktus dan kaktus. Kaktus pun ingin melihat Asap, Tempo, Akar, Bambu, Exist, Rebung, Gangsing, Kurawa, Gipsi, Daun, Edelwais, Tali Tambang, Air, Belati, Lentera).
Kami tahu kakak-kakak kami kini telah sibuk dengan kisah lainnya dan sulit untuk datang ke dapur sekalipun hanya berkunjung. Tapi kami harap, sesekali kakak-kakak kami bisa ikut bergabung saat kami latihan karena dengan begitu kita bisa saling tukar pendapat dan saling memahami. Kakak kami yang ada hanya sebagai penonton saat kami latihan kalaupun ada yang bergabung, itu sebagai 'pemandu' atau dalam hal ini sebagai pelatih.
Kami telah melakukan latihan gabungan bersama Teater Ungu dan Teater Tjerobong Pabrik dengan suasana yang terbentuk sangat menyenangkan, akan tetapi sepertinya akan terbentuk suasana yang berbeda bila latihan bersama kakak-kakak kami. Suasana yang hangat dan akan kami rindukan. Latihan bersama pasti menyenangkan. Kami merindukan berproses kembali.....
Terimakasih telah memberikan perhatian kepada kami ;)