#Seri Petualangan Kiki di Dunia Cermin
Kiki sedang bermain di halaman rumah,
menikmati angin dan sinar matahari. Setiap hari Kiki akan bermain berkeliling
untuk menemukan harta karun. Tentu saja harta karun ini bukan berbentuk piala
atau emas-emas batangan. Hartu karun Kiki bisa berupa coklat berbentuk koin,
biskuit susu, sebotol kecil madu sampai mobil-mobilan. Kiki menikmati setiap
petualangan kecilnya. Kiki berpikir pasti ada Ibu Peri yang meletakkan harta
karun tersebut.
Kiki
belum pernah melihat Ibu Peri namun dia percaya suatu hari nanti mereka akan
bertemu. Kiki selalu percaya bahwa Ibu Peri adalah perempuan bersayap paling
ajaib karena bisa menyediakan apa saja yang diinginkannya, cukup dengan
mengayunkan tongkat bintang berwarna perak berkilauan. Seperti harta karun yang
ditemukan dalam setiap petualangannya.
Pagi ini, Kiki berjalan
ke arah pepohonan, disana dia menemukan sekantung kelereng berwarna-warni. Kiki
sangat senang melihat itu, diambilnya segera dan memasukkannya kedalam saku
celana. Tiba-tiba dari arah rerumputan keluar seekor cacing. Cacing itu
mengeliat kepanasan. Kiki kegirangan, diambilnya sebatang ranting kemudian
memainkan cacing itu. Kiki menusuk-nusuk cacing itu menggunakan ranting sambil
tertawa-tawa.
“Kikiiiii… Kiki, ayo
makan dulu” panggil Mama tiba-tiba dari kejauhan. Kiki tidak mendengarkan
panggilan Mama dan terus memainkan cacing sambil tertawa-tawa. Suara tawa
memberikan isyarat pada Mama dimana keberadaan Kiki.
“Ayo
Kiki makan dulu” kata Mama yang sudah berada di samping Kiki sambil membawa
sepiring nasi dan lauk pauknya. Kiki melihat sekilas apa yang dibawa Mamanya,
sepotong ayam goreng dan sayur-sayuran tumis. Kiki tidak suka sayur-sayuran.
“Nggak
mau ah Ma, Kiki masih kenyang. Haha.. haha..” ucap Kiki kembali mengalihkan perhatiannya
pada cacing kecil itu. Mama melihat cacing malang itu dengan kasihan.
“Kiki,
udah jangan mainin cacing, kasihan. Cacingnya juga mungkin lapar sedang mencari
makan. Makanya Kiki juga makan ya..” dengan sabar Mama mengusap kepala Kiki dan
mengambil ranting dari tangan anaknya yang berumur lima tahun itu.
“Mama..
sini kasih ke Kiki.. Kiki masih mau maen.” Tangan Kiki menggapai-gapai tangan
Mama berusaha merebut ranting tersebut.
“Nanti
Kiki boleh main lagi, tapi makan dulu ya..”
“Kiki mau makan coklat,
nggak mau makan nasi..” Kiki merengek.
“Nggak boleh Ki, nanti
gigi kamu berlubang kalau makan coklat terus. Ayo sekarang makan nasi dulu..
nih ada ayam goreng kesukaan Kiki..” rayu Mama. Kiki cemberut dan marah
kemudian berlari-lari diantara pepohonan mencari ranting yang lain sehingga
Mama kewalahan mengejar-ngejar Kiki sambil berusaha menyuapi makanan.
“Kiki jangan lari-lari,
nanti kamu jatuh!” Kiki berlari-lari kesana kemari, pada saat seperti itu dia
merasa terbang dan punya sayap. Kiki terus berlari sampai pada akhirnya jatuh
tersandung akar pohon yang besar. Kiki menangis sesegukan. Mama menghampiri
Kiki dengan khawatir.
“Mama
udah bilang jangan lari-lari, nanti jatuh. Ayo kita masuk ke rumah, nanti Mama
obati lukanya.”
Sebelum
Mama sampai ke tempat Kiki berada, Kiki berdiri kemudian berlari dan menabrak
Mama, makanan yang ada di tangan Mama terjatuh. Kiki tidak peduli dan terus
berlari menuju kamarnya. Kiki membanting pintu kamarnya dan menguncinya
rapat-rapat. Kiki menangis lagi di kasur.
“Kenapa
sih Mama selalu aja nggak pernah ngerti maunya Kiki? Kenapa Mama sangat suka ngelarang
Kiki? Kiki nggak boleh ini, nggak boleh itu! Kenapa Mama suka maksain apa yang
Kiki nggak mau? Mama jahat! Kiki mau ketemu Ibu Peri aja!” ucap Kiki dalam
hati.
“Kiki,
buka pintunya. Sini Mama obatin dulu lukanya.” Mama mengetuk-ngetuk pintu kamar
Kiki. Kiki terus menangis tanpa menghiraukan Mama. Mama akhirnya menyerah,
menunggu sampai Kiki tertidur dan mengobati luka Kiki diam-diam.
Siang
harinya Kiki terbangun karena suara-suara ribut. Suara tawa anak-anak. Kiki
bangun dari kasurnya, mencari-cari sumber suara ribut tadi. Tapi tidak ada
siapapun di kamar itu kecuali dirinya sendiri.
“Sttt..
lihat dia jadi bangun” ucap seorang anak laki-laki.
“Iya
dia bangun. Tapi dia tidak tahu kita dimana? Lihat dia kebingungan, lucu sekali
ya” timpal seorang anak perempuan. Lalu suara-suara tawa itu terdengar lagi.
Kiki semakin bingung, karena suara itu jelas terdengar dan sangat dekat tetapi
tidak ada satu sosokpun yang muncul. Kiki juga merasa diperhatikan.
“Hei..
kami disini..” suara anak perempuan itu lagi. Kali ini Kiki melirik ke arah
cermin besar dan panjang setinggi badan yang ada di kamarnya. Alangkah
terkejutnya Kiki ketika melihat ada sekitar lima sosok anak kecil berdiri di
dalam cermin itu. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, mereka memakai
baju berwarna-warni dan mahkota terbuat dari dedaunan dan bunga. Kiki
ketakutan, berjalan mundur namun tersandung kasurnya sendiri. Kiki merasakan
lututnya yang terluka kembali sakit namun dilihatnya lutut itu sudah diobati.
Anak-anak dalam cermin itu terkikik. Perhatian Kiki kembali ke dalam cermin.
“Hei
jangan takut, kami bukan hantu. Hei kemarilah mendekatlah ke dalam cermin” ujar
anak laki-laki lain. Masih dengan takut namun penuh rasa ingin tahu, Kiki
mendekatkan dirinya pada cermin.
“Kalian
ini siapa? Kenapa bisa ada di dalam cermin kamarku?” Tanya Kiki.
“Kami
sama seperti kamu, kami manusia yang ingin bebas melakukan apa saja, bebas
makan apa saja, tanpa aturan orang dewasa. Kami mendengar keluhanmu, maka kami
datang ke sini untuk menjemputmu” Ucap anak laki-laki yang badannya paling
tinggi diantara mereka.
“Lalu
bagaimana aku bisa bersama kalian? Aku tidak bisa masuk ke dalam cermin.”
“Kami
bisa masuk ke dunia dalam cermin, kamu juga bisa. Nah sekarang yang perlu kamu
lakukan adalah menyentuh bayangan tanganku dalam cermin.” Anak laki-laki paling
tinggi itu menyentuhkan tangannya ke cermin, sehingga Kiki bisa melihat
bayangan telapak tangan anak itu. Agak ragu-ragu Kiki menyentuhkan tangannya ke
dalam bayangan telapak tangan anak tadi. Dengan ajaib tangan mereka bersentuhan
dan tubuh Kiki bisa masuk ke dalam cermin.
Tiba-tiba
Kiki berada di dunia dalam cermin. Dunia yang Kiki lihat dalam cerita-cerita dongeng.
Sinar matahari yang hangat seperti pagi hari, pepohonan rindang dengan buah
yang ranum, anehnya pohon-pohon itu memiliki buah yang unik seperti
coklat-coklat koin, biskuit susu, permen bahkan buah pohon-pohon itu berbentuk berbagai
jenis mainan seperti mobil-mobilan, boneka, robot, buku gambar dan crayon. Di
atas pohon burung-burung berwarna emas membuat sarang, mereka berkicau merdu dengan
riang. Padang rumput yang terhampar luas, sungai kecil yang mengalir dengan
jernih, kupu-kupu terbang diantara bunga-bunga. Belum habis ketakjuban Kiki,
dia baru menyadari pakaiannya berubah menjadi anyaman daun dan bunga, ringan
dan nyaman, di atas kepala tersemat mahkota mungil.
“Selamat
datang di negeri cermin, namaku Tom.” Kata anak laki-laki yang badannya paling
tinggi tersebut sambil mengulurkan tangan. Disusul dengan anak-anak lain yang
bernama Mika, Bido, Tara, dan Roki. Tom berumur Sembilan tahun, Mika dan Bido
berumur tujuh tahun, dan Roki seumur dengannya, lima tahun. Kiki diajak
berkeliling untuk melihat-lihat dunia cermin. Betapa menyenangkannya hidup
disini, semua hal yang diinginkan Kiki tersedia melimpah ruah. Buah coklat koin
yang setiap kali dipetik akan tumbuh kembali, jus buah-buahan aneka rasa dari
sumber mata air, dan berbagai jenis mainan baru hadir terus menerus. Kiki dan
teman-teman barunya bermain roller couster berbentuk bunga tulip mekar, mereka
berkeliling negeri cermin. Kiki juga menaiki perahu berbentuk daun menyusuri
sungai. Danau itu dinaungi pepohonan yang rapat, batang pohonnya menjuntai ke
bawah sehingga dengan mudah setiap anak dapat mengambil buahnya kalau merasa
lapar. Kiki juga bisa melihat dasar danau karena airnya jernih. Di dalam danau
terdapat berbagai jenis tanaman, rumput dan ikan-ikan. Kiki dapat menyentuh
ikan-ikan itu dengan mudah dan bermain dengan mereka.
“Kita
bisa berenang untuk melihat langsung kehidupan di dalam danau.” Ucap Mika
bangga.
“Lihat
buah pohon yang seperti gelembung sabun, tinggal memakaikannya ke kepala, maka
kita bisa bernafas di dalam danau.” Kata Bido tak mau kalah sambil menunjuk
sebuah pohon besar dengan buah seperti gelembung sabun.
“Nanti
saja, sekarang kita berkeliling dulu melihat-lihat danau dari atas.” Ujar Tom.
Kiki hanya mengangguk, baginya melihat-lihat danau dari atas perahu maupun
dalam danau sama menariknya, tapi tidak perlu terburu-buru karena Kiki akan
berada di sana terus.
Tak
terasa hari telah menjelang malam, Tom mengantarkan Kiki ke sebuah rumah besar.
Disitu terdapat banyak kasur berderet-deret. Kasur yang dilengkapi
bantal-bantal besar. Lengkap dengan selimut hangat dan untuk kasur anak
perempuan ada banyak boneka.
“Tempat
tidurmu disini, sebelah tempat tidurku.” Tunjuk Tom. Seketika itu juga pakaian
mereka berubah menjadi piyama.
“Sudah
waktunya tidur? Apa kita tidak cuci muka dan gosok gigi?” Tanya Kiki mengingat
kebiasaannya sebelum tidur yang diajarkan Mama. Tiba-tiba Kiki teringat Ibu
Peri.
“Iya
tentu saja, sekarang sudah jam delapan malam. Kita tidak perlu cuci muka dan
gosok gigi karena dengan sendirinya badan kita menjadi bersih begitu masuk ke
dalam rumah.” Jawab Tom panjang lebar.
“Tom,
apakah di negeri cermin ini ada Ibu Peri?” Tanya Kiki yang sebenernya menahan
pertanyaan ini sejak sampai di negeri cermin. Tom menggeleng.
“Negeri
cermin adalah negeri bagi anak-anak, di sini tidak ada Ibu Peri, karena Ibu
Peri adalah orang dewasa.” Jawab Tom.
“Oh..” Kiki kecewa.
“Tom,
kenapa kau bisa berada di negeri cermin ini?” Tanya Kiki tiba-tiba.
“Ceritanya
panjang.. aku sudah sangat lama berada di sini..” Tom menarik nafas panjang,
matanya melihat jauh ke masa lalu. Tom kemudian menceritakan asal muasal kenapa
dia bisa berada di negeri Cermin. Tom adalah anak kesembilan dari sepuluh
bersaudara dalam keluarganya, keluarganya sangat miskin sehingga kakak-kakak
atau adik Tom dititipkan pada sanak keluarga ayah atau ibunya. Karena Tom anak
yang cukup nakal, maka tidak ada sanak keluarga yang mau menampungnya, tidak
juga orangtuanya sendiri. Kesendirian Tom memanggil negeri cermin untuk
menjemputnya.
Tom
mengatakan bahwa kebanyakan penghuni negeri cermin ini adalah anak-anak yang
tidak memiliki cinta orang tuanya, mereka anak-anak yang tidak diinginkan orang
tuanya. Mika misalnya, sejak kecil dia hidup di rumah yatim piatu. Dalam rumah
yatim piatu itu anak-anak datang silih berganti karena ada yang mengambil
mereka sebagai anak, namun tidak ada orang dewasa yang tertarik pada Mika yang
penakut dan pendiam. Tom juga menjelaskan, tidak semua anak dapat memanggil
negeri cermin, hanya mereka yang percaya bahwa ada negeri semacam inilah yang
dapat masuk ke dalam negeri cermin. Kiki hanya mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Tom.
“Tom
apa yang terjadi di negeri asal kita? Apakah tubuhku ada di sana? Apakah kita
bisa keluar dari negeri cermin ini?” Kiki memberondong Tom dengan pertanyaan.
Tom menghelas nafas panjang lagi sebelum menjawab pertanyaan Kiki. Tom mengajak
Kiki ke sebuah Cermin di tengah rumah itu.
“Ini
adalah pintu masuk kita ke dalam negeri cermin. Tubuh kita telah masuk ke dalam
negeri cermin, hanya anak di bawah sepuluh tahun yang bisa masuk ke sini. Di
luar sana waktu akan terus berjalan, tapi umur kita tidak bertambah, kita akan
terus menjadi anak-anak. Cermin ini merupakan pintu keluar kita juga, tapi kita
tidak akan bisa keluar sampai menemukan kuncinya.”
“Dimana
kuncinya Tom?”
“Tidak
ada dimana-mana, kami tidak pernah tahu dimana kuncinya. Oya, kalau kau ingin
melihat dunia dimana kamu dulu tinggal, kamu bisa melihatnya dari cermin ini
juga.” Ucap Tom sambil berjalan pergi.
Sepeninggal Tom, Kiki
memperhatikan kehidupan di balik negeri cermin. Kiki melihat Mama sedang
menaruh benda-benda kecil di halaman rumahnya, Mama menyimpannya dengan
hati-hati agar benda-benda itu tidak terlihat namun juga tidak terlalu
tersembunyi. Benda-benda itu adalah sebungkus coklat, robot kecil, dan biskuit.
Kiki akhirnya tahu bahwa yang meletakkan harta karun itu bukanlah Ibu Peri
melainkan Mama. Setelah selesai menaruh benda-benda kecil itu Mama menyiapkan
makanan untuknya. Menyiapkan perban dan obat-obatan. Lalu Mama berjalan ke arah
kamar Kiki. Betapa terkejutnya Mama ketika melihat kamar itu kosong, dengan
tergesa-gesa Mama mencari Kiki di seluruh penjuru rumah, namun Kiki tidak ada.
Kiki sedih melihat Mama
mencari-carinya, “Mama, Kiki disini” ucapnya sambil melambaikan tangan. Tapi
Mama tidak bisa melihatnya.
“Kiki, kamu dimana?
Marah ya sama Mama? Maafin Mama ya Ki.. Mama sayang banget sama Kiki.” Ucap
Mama sedih. Mama menangis di kamar Kiki. Kiki merasa sedih karena Mama
menangis. Kiki merasa beruntung punya Mama yang menyayanginya, jauh lebih
beruntung dari pada anak-anak di sini. Kiki menyadari sesuatu, Ibu Peri yang
selama ini dia cari selalu ada bersamanya.
“Mama, Kiki mau pulang,
tapi Kiki nggak punya kunci pintu dunia cermin. Kiki juga sayang sama Mama”
Kiki bergumam sambil menangis. Usai mengucapkan kata itu tiba-tiba ada cahaya
yang keluar dari air mata Mama dan Kiki. Cahaya itu menembus negeri Cermin,
baik Kiki, Mama, maupun anak-anak lain terkaget-kaget melihat cahaya itu.
cahaya itu kemudian berubah menjadi kunci bersayap berwarna perak. Kunci itu
membuka pintu negeri cermin. Tom dan anak-anak seisi negeri cermin menghampiri
Kiki dan pintu cermin.
“Pulanglah Ki, ada
seorang ibu yang mencintaimu. Pintu itu akan terbuka jika ada orang yang begitu
mencintai kita mengharapkan kita kembali. Kiki sangat beruntung memiliki Mama.”
Tom menghampiri Kiki dan memeluknya. Kiki menjadi lebih sedih karena Kiki
menyukai negeri cermin ini dan teman-teman barunya. Melihat keraguan itu, Tom
tersenyum.
“Pulanglah Ki, kamu
bisa datang kapan saja ke sini. Kamu punya kunci negeri cermin.” Mendengar itu
Kiki menjadi lega, ia melambai kepada seluruh penghuni negeri cermin. Kiki
melangkah masuk ke dalam cermin.
Dalam kamar Kiki, Mama
yang juga melihat air matanya menjadi sinar terkejut melihat kedatangan Kiki.
Mama mengucek matanya tak percaya, Kiki keluar dari dalam cermin. Kiki segera
menghambur ke dalam pelukan Mama. Mama dan Kiki menangis bersama.
“Kiki datang Ibu
Peri..” bisik Kiki ditelinga Mama. Mama tersenyum dan memeluk Kiki lebih erat.
Kiki kini bisa menghargai Mama sebagai orang yang mencintainya sepenuh hati. Di
luar sana banyak anak yang mengharapkan cinta seorang Mama, Kiki tahu, dia anak
yang beruntung.
No comments:
Post a Comment