Balasan Untuk Tulisan Hujan dan Malam yang Menggulirkan Cerita
Kali ini aku bertekad untuk datang
terlambat hanya sejam saja! Masih dengan prinsip yang tidak mau menunggu,
walaupun aku tahu, orang lainpun enggan menunggu. Demi Tuhan, ini sekedar
gathering, pertemuan dengan orang-orang yang sama sekali tidak kukenal. Bercakap
seadanya di twitter dan surat cinta di blog masing-masing, tidak lantas
membuatku dekat dengan seseorang. Memang ada seseorang yang kukenal disana,
Eva, dia penyebab, penyeret, dan awal mula alasan aku mengikuti kegiatan surat
menyurat itu, #30HariMenulisSuratCinta.
Eva adalah sosok teman yang hadir dengan
lucunya, lagi-lagi karena alasan kami sama-sama perokok. Modernisasi tidak
cukup kuat membuat para perokok perempuan bisa merokok dimanapun dan kapanpun. Dulu
kami bekerja di kantor yang sama. Walaupun berada dalam divisi yang berbeda,
tapi kami sama-sama mengerjakan event. Jam istirahat adalah waktu favorit, aku
bisa merokok untuk mengendorkan otot-otot tegang. Kemudian Eva adalah
satu-satunya teman perempuan yang sama-sama merokok. Tidak saja pada jam
istirahat, kami juga sering curi-curi waktu dan kucing-kucingan dengan para bos
hanya untuk sekedar merokok. Pada sore hari, kami akan menikmati segelas kopi
dan rokok sambil memandangi jalan dengan latar matahari terbenam. Dari sanalah
segalanya bermula, kami menemukan kesamaan yang lain. Kami menyukai teater,
menulis, membaca, dan hujan. Kami memiliki sahabat yang sama, yaitu kopi dan malam.
Kembali pada kejadian gathering itu, aku
sukses terlambat tidak sesuai rencana, sekitar sembilan puluh menit. Eva sudah
duduk manis menghadap panggung. Ada bangku yang sepertinya sengaja disiapkan
untukku. Kami menikmati acara, sesekali bercakap ringan. Kami tidak sering
bertemu, hanya sesekali saling menyapa di twitter. Awalnya terasa kaku, namun
ramuan ajaib bernama kopi dan rokok telah mencairkan segalanya.
Setelah selesai acara, kami menyempatkan
diri untuk bercakap. Awalnya hanya segelas cappuccino, kemudian hadirlah
bandrek dan cappuccino lagi. Sebungkus rokok milik kami masing-masing telah
tandas terhisap hingga ujung malam. Hujan terus turun diluar sana, seperti
hendak mengurung kami. Tapi kami sama-sama tahu, hujan merupakan kawan
melarutkan kesedihan sebesar apapun, kami tidak pernah takut menembus hujan. Obrolan
kami mengalir, seperti aliran sungai, kadang menemukan celah sempit. Ada jeda
dalam percakapan kami.
Kami bercerita banyak tentang pasangan
masing-masing, tentang masa depan yang ingin kami kejar. Ada satu hal yang aku
lupa sampaikan padanya. Aku tidak suka dongeng putri dan pengeran berkuda
putih. Semua itu omong kosong. Kenapa seorang perempuan harus diangkat
martabatnya oleh seorang laki-laki. Tengok kembali dongeng sebelum tidur itu,
Cinderala, Putri Salju, Putri Duyung, bahkan cerita rakyat kita seperti Purba
Sari dan Purba Rarang. Mereka menanti pangeran berkuda putih. Tidak Eva, aku
lebih suka film Shrek, aku lebih suka sejarah Diah Pitaloka. Film Shrek itu
begitu manusiawi, bagaimana sebuah dongeng merasa bosan dengan ending “Bahagia
Selamanya”, pada hematku, dongeng itu adalah sesuatu yang manusiawi. Diah
Pitaloka adalah perempuan yang penuh harga diri, dia tidak menyerah dilutut
laki-laki. Dongeng dalam imajinasiku adalah cerita tentang kehidupan walaupun
tetap menghadirkan Ibu Peri dengan konsep yang berbeda. Dalam kenyataannya, aku
telah memiliki Shrek dan memilih sosok Shrek ketimbang Prince Charming.
Kami membicarakan proses penulisan yang
tidak pernah sama. Kau tahu, kaulah yang memberi banyak inspirasi dalam proses
menulis. Aku memiliki seribu satu alasan untuk tidak menulis. Bekerja membuat
imajinasiku tumpul, bekerja membuatku tidak memiliki waktu untuk menulis. Coba lihat,
kau tetap menulis meski bekerja. Menulis adalah soal kemauan.
Selepas dari kantor tempat kami dulu bekerja, aku dan Eva sama-sama memutuskan menjadi freelancer. kehidupan yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Entah berapa lama, kami akan bertahan hidup seperti ini. Semuanya perjalanan akan bermuara pada tujuan hidup dan impian.
Lalu aku mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa Impianmu?”
Lalu aku mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa Impianmu?”
Kau tidak menjawab, entah bingung, entah
tidak ingin. Lalu kau bicara seolah-olah impian adalah mimpi dalam tidur. Bicara
seolah-olah impian adalah sesuatu yang tidak terjangkau, seolah-olah mimpi itu
bukanlah realitas. Seolah-olah realitas hanya masalah bertahan hidup,
seolah-olah impian itu bukan sesuatu yang indrawi. Mari kulanjutkan kisah tentang
The Old Tree And A Leaf. Sebatang pohon berkata pada selembar daun:
Manusia sering mendefinisikan Mimpi
Manusia sering mendefinisikan Realitas
Seakan-akan dua hal itu berbeda
Sesuatu akan indah ketika Mimpi dan Realitas itu menjadi satu
Dimana tidak ada batas antara mimpi dan
realitas
Hidup adalah mimpi dan realitas,
keduanya bukan hal yang terpisah
-Isna Chapter-
Apakah kau mengerti? Ada banyak impian
manusia yang dipisahkan dari realitas, seperti menerangi kegelapan, bisa
terbang, melihat kedalaman laut, dan masih banyak lagi. Zaman dulu semua itu
barangkali diibaratkan impian dengan pengertian yang kau katakan, zaman
sekarang, semua itu biasa saja. Kau bisa terbang dengan pesawat terbang, malam
hari ada lampu yang bersinar, dan kedalaman laut bisa kau lihat dengan kapal
selam, walaupun masih banyak keterbatasan. Impian itu bukan sesuatu yang
terpecah dari realitas. Kau dan aku adalah para pemburu mimpi.
hai, kamu pemburu mimpi ... terima kasih yah sudah membuatkan satu coretan khusus yang manis untukku. senangnya kita dapat berbagi inspirasi dalam menulis dan dalam hal lainnya. akan kusimpan coretan ini dalam blogku :D. Saatnya sudah tiba untuk memburu mimpi diantara hujan dan malam.
ReplyDeletemy pleasure :)
Delete