Pertama kali menonton trailer Rectoverso, bulu kuduk saya sampai
meremang saking bagusnya. Saya pun bertekad untuk nonton film ini di bioskop. Bagaimanapun
pengalaman sinematik nonton di bioskop itu istimewa ketimbang di DVD atau Tv
(lagian saya nggak punya Tv).
Kesempatan itu datang tak
diduga. Saya mendapatkan undangan menghadiri nonton bareng Rectoverso untuk
mewakili Warung Blogger –sebuah komunitas blogger- yang diadakan oleh UseeTv. Tepatnya tanggal 16 februari 2013.
Karena pemberitahuan itu
kurang jelas, saya sempat salah tempat. Disebutkan di SMS kalau tempat nobar
adalah Tree House Kafe. Tentu saja
yang pertama kali ada dalam benak saya adalah Dipati Ukur Bandung. Setelah sampai
di sana, alangkah kagetnya ketika tidak ada acara yang dimaksud. Seorang satpam
memberi keterangan kalau ada reservasi acara nobar di Tree House Kafe – Ciwalk. Akhirnya dengan kecepatan penuh, saya
segera meluncur ke sana. Sayang sekali kalau sampai terlambat nonton.
Meet
n Greet
Sampai di Tree House Kafe – Ciwalk, saya diminta
untuk mengisi daftar tamu dan mendapat bingkisan berupa tas, gantungan, pin
berbentuk kotak, dan kalender. Rupanya, kafe ini tempat Meet n Greet sineas Rectoverso. Sebelumnya, saya juga diminta
memilih tempat duduk di XXI.
Sambil menunggu acara Meet n Greet, seluruh orang-orang yang
hadir disuguhi teh manis dan camilan ala kafe. Tidak lama kemudian, acara
dimulai. Tempat duduk pembicara dihiasi oleh wajah-wajah yang tak asing seperti
Marcella Zalianty, Rachel Maryam, Rangga Djoned, dan aktor kesukaan saya yaitu
Tio Pakusadewo. Marcella selaku salah satu sutradara memaparkan behind the
scene film omnibus tersebut. Rectoverso yang diambil dari kumpulan cerpen karya
Dewi Lestari berjudul sama, diperkaya oleh sebuah cd lagu yang senada dengan
cerpen-cerpennya. Saya belum pernah membaca kumpulan cerpen tersebut, juga
tidak berselera untuk memperbandingkan keduanya. Bagi saya film dan buku adalah
karya yang berbeda, telah bertransformasi, memiliki nilai sendiri-sendiri.
Marcella mengatakan bahwa
mengangkat salah satu karya Dee –sapaan Dewi Lestari- ini, memiliki
keleluasaan. Dee sendiri membebaskan para pembuat filmnya. Walaupun para
sutradara seringkali berkonsultasi dan melibatkan Dee dalam proses pembuatan
film. Marcella kerap meminta pendapat pada Dee dalam pengambilan keputusan
gambar yang diambil. Sampai tiga perempat proses, Dee seperti mengambil jarak
dengan film Rectoverso. Ketika ditanya, Dee menjawab ingin menyisakan ruang
kejutan bagi dirinya. Dee memilih berperan sebagai penikmat.
Ada satu pernyataan Marcella
yang menggelitik, yaitu ketika sutradara cantik ini mengatakan kalau dalam
menggarap film yang diambil dari salah satu cerpen Dee ini, seperti diberi
keleluasaan mengubah karya dalam bentuk lain, tidak seperti perahu kertas yang
detail dan mempersempit ruang penerjemahan. Memang tidak persis begitu
perkataan Marcella, itu hanya apa yang saya tangkap. Yang ingin saya koreksi
adalah, karya novel dan cerpen tentu saja berbeda. Cerpen yang pendek tidak
mesti detail, sementara novel tentu saja memberi keleluasaan untuk menuliskan
atau menggambarkan sesuatu dengan rinci atau spesifik. Novel dan cerpen adalah
bentuk sastra yang berbeda, meski sama-sama tertulis.
Film
Rectoverso
Saat-saat yang ditunggupun
datang, saya duduk manis sambil menyaksikan film yang bikin penasaran ini. Begini
kesan saya setelah nonton film Rectoverso, agak membosankan di awal, hampir
lima belas menit. Saya juga dikejutkan dengan alur yang tidak biasa, yaitu
menyatukan kelima film omnibus tersebut. Biasanya, film omnibus, menayangkan
satu persatu film. Menurut saya ada kelebihan dan kelemahan penyajian film
omnibus dengan cara ini. Kelebihannya, antara satu film dengan film yang lain
tidak terlalu timpang. Maksudnya, dalam setiap film omnibus, ada yang
benar-benar keren ada juga yang biasa saja bahkan buruk. Semua hampir tertutupi
dengan penyajian ini. Kekurangannya yaitu, pengenalan tokoh dan konflik terasa
lama dan membosankan. Konflik dan klimaks terjadi bersamaan sehingga tidak ada
kejutan di sana. Saya hanya bergumam dalam hati ‘Oh lagi klimaks semua nih’.
Di antara lima film, saya
paling suka Curhat buat sahabat dan Cicak di dinding. Yah memang ceritanya
standar, tapi bagi saya paling ngena. Baiklah, saya paparkan satu persatu.
Malaikat
Juga Tahu
Sutradara: Marcella Zalianty
Penulis Skenario: Ve Handojo
Pada saat menonton scene demi scene film ini, saya teringat video clip lagu Dewi Lestari yang
berjudul malaikat juga tahu. Yup, memang hampir sama, hanya saja dalam versi
yang panjang dan memiliki dialog. Tokoh abang dalam versi Vclip maupun film
sama-sama diperankan oleh Lukman Sardi. Aktor kawakan ini berhasil membawakan
peran dengan sangat baik.
Film ini menceritakan
tentang Abang, seorang anak autis yang punya dunia sendiri. Abang tinggal
bersama Bunda (Dewi Irawan) di sebuah rumah yang disewakan sebagai kost-kostan.
Seorang penghuni kost yaitu Leia (Prisia Nasution) bersikap baik dan selalu
menemani abang. Abang kemudian jatuh cinta dengan cara yang ajaib. Sampai suatu
hari datanglah Hans (Michael Dommit), putra Bunda yang sekolah di luar negeri. Hans
dan Leia saling jatuh cinta. Malangnya nasib abang. Adegan yang sangat
menyentuh adalah ketika abang menangis dipelukan Bunda.
Tak ada akting yang jelek di
film ini. Semuanya bagus dan mantap! hanya saja, buat saya banyak adegan yang
membosankan sehingga tidak jadi film favorit saya di sini.
Firasat
Sutradara: Rachel Maryam
Penulis Skenario: Indra
Herlambang
Film ini bercerita tentang Senja
(Asmirandah) yang memiliki keistimewaan semacam sixth sense. Hidup berdua
dengan ibunya (Widyawati). Keseharian mereka adalah membuat dan menjual kue.
Senja sering memakai sepeda untuk berkeliling mengirim pesanan. Karena
kelebihannya itu, Senja ikut sebuah klub bernama Firasat. Di sana, dia bertemu
dengan Panca (Dwi Sasono). Senja dan Panca tampak saling menyukai namun Senja
seolah menolak perasaannya itu. Senja digambarkan mempunyai trauma karena meski
memiliki kekuatan, dia tidak bisa merubah apapun dengan kelebihannya itu,
seperti kematian Ayah dan saudaranya.
Pada saat Panca hendak
pulang ke kampungnya, Senja mencoba menahan. Senja seperti merasakan firasat
buruk. Saya digiring untuk merasa ikut khawatir pada sosok Panca. Ending-nya
cukup cantik karena diluar dugaan.
Adegan yang sangat menyentuh
adalah ketika Senja terbangun dari mimpi buruknya dan menangis sejadinya.
Aktingnya Asmirandah keren banget!
Sayangnya, dalam film ini
banyak cameo dengan acting yang jelek sehingga tidak nyaman untuk ditonton.
Terlebih lagi dengan obrolan-obrolan puitis yang tidak pas. Terlalu berlebihan
untuk sebuah percakapan mesra dan hangat antar teman.
Cicak
di Dinding
Sutradara: Cathy Sharon
Penulis Skenario: Ve handojo
Saya adalah penggemar Sophia
Latjuba sejak kecil, maka ketika melihat Sophia main dalam film ini, saya
bersorak gembira. Seperti temu kangen. Baiklah, film ini bercerita tentang Taja
(Yama Carlos) dan Saras (Sophia Latjuba) di sebuah tempat. Mereka berkenalan
kemudian bercinta, dari sana, Taja melihat tato Saras berbentuk cicak. Tak ada
filosofi yang dijelakan, hanya sekedar suka pada cicak saja.
Beberapa waktu kemudian,
mereka bertemu lagi di kafe, ngobrol dan kemudian akrab. Pertemuan berkahir
dengan adegan percintaan lagi. Entah malam atau pagi, Taja melihat Saras yang
tidur lelap kemudian menggambar wajahnya. Keesokan paginya, Saras menemukan
gambar tersebut dan pergi meninggalkan Taja begitu saja. Mungkin semacam adegan
yang simbolis bahwa Saras tidak menyukai komitmen.
Mereka bertemu lagi di
sebuah pembukaan pameran Taja yang diprakarsai oleh semacam kakak angkat Taja
yang diperankan oleh Tio Pakusadewo (maaf saya lupa nama tokohnya). Ternyata kakaknya
ini akan menikah dengan Saras. Membuat Taja sekali lagi patah hati.
Adegan yang sangat menyentuh
adalah ketika Taja melukis wajah Saras. Begitu hangat namun penuh kerinduan. Yang
membuat saya sangat suka film ini karena ceritanya sederhana saja dan kehadiran
dua aktor kesukaan saya.
Curhat
Buat Sahabat
Sutradara: Olga Lidya
Penulis Skenario: Ilya Sigma
dan Priesnanda Dwi Satria
Menurut saya, film ini juga
termasuk sederhana, entah mengapa, kok penulis skenarionya ada dua orang. Entahlah.
Film ini bercerita tentang
Amanda (Acha Septriasa) yang bersahabat dengan Reggie (Indra Birowo). Kalau dilihat
dari penampilannya, mereka berdua sepertinya beda angkatan. Yang satu muda dan
yang satu kelihatan tua. Kan banyak juga mahasiswa yang susah lulus.
Reggie yang menyimpan
perasaan cinta mempertahankan perasaannya di antara pacara-pacar Amanda. Reggie
adalah semacam tempat pulang untuk Amanda ketika sebuah hubungan hancur lebur.
Hingga pacarnya Amanda yang terakhir bertahan selama empat tahun, namun
hubungan mereka putus nyambung. Amanda selalu dituntut menjadi perempuan
sempurna. Suatu hari, Amanda sakit keras, sang pacar tak kunjung menjenguk. Sekali
lagi Reggie menjadi laki-laki yang ada di sampingnya.
Amanda kemudian sadar bahwa
dia juga mencintai Reggie. Pada suatu malam, Amanda hendak menyatakan cintanya.
Tapi apa yang kemudian terjadi?
Adegan yang sangat menyentuh
adalah ketika Amanda menangis di akhir film sambil melihat Reggie meminum
segelas air. Sebenarnya kurang ngerti sama endingnya, untungnya nonton sama
temen yang udah baca cerpennya, jadi dijelasin deh sama dia. Sebenarnya,
ceritanya agak basi namun kemasannya unik. Adegan demi adegan diuraikan dengan
obrolan yang natural.
Hanya
Isyarat
Sutradara: Happy Salma
Penulis Skenario: Key
Mangunsong
Film ini bercerita tentang
lima orang backpackers yang ketemu di suatu tempat kemudian menjadi akrab. Tokoh
sentral bernama Al (Amanda Soekasah) diam-diam menyukai salah satu temannya
yaitu Raga (Hamish Daud) namun hanya berani memandangnya dari kejauhan. Suatu
malam kelima teman tersebut bercerita tentang pengalaman kenapa akhirnya mereka
menjadi backpackers. Disitulah Al mengetahui rahasia Raga.
Film ini penuh dengan
kalimat-kalimat puitis yang diucapkan dengan kaku oleh tokoh Al. Padahal
ekspresinya cukup lumayan, sayangnya dituturkan dengan buruk. Film ini hidup
karena kehadiran Fauzi Baadila dan dua tokoh backpackers lainnya. Akting dan
cara bicaranya natural juga kocak.
Over all
film omnibus Rectoverso ini bagus, walaupun kurang dari yang diharapkan. Dua setengah
bintang dari lima bintang. Karena disutradaranya semua perempuan saya tambah
setengah bintang, jadi totalnya tiga bintang. Semoga makin banyak sutradara
perempuan yang berkibar di kancah perfilman Indonesia.
Review-nya asik euy..
ReplyDeleteDan selera kita sama!!!
Eh, jadi cerita si Reggie itu gimana?
Aku jg gak baca cerpennya..
Jadi si Reggie jadiannya sama pelayan yang ngasih air minum. Makanya si Amanda nangis di endingnya, kan?
Deletereviewnya asik bangettttt!!!!!!!!!! aku punya bukunya, tapi belom sempet baca.. masih di antrian :))))
ReplyDeletega sempet liat filmnya kmaren pas main di jogja... jadi penasaran baca ini mbak Evi :)))
gemesss deh.. jadi mau slesein yg buku sekarang biar bisa lanjut ke rectoverso :P
Emang di jogja udah nggak tayang filmnya mba?
DeleteTentang kritikanmu,
ReplyDeleteaku setuju, Pi, novel dan cerpen berbeda.
Pun cerita di buku dengan cerita di film.
Medianya aja udah beda.
Ripiuw yang manfaat banget...
Btw, "mengubah", Pi, bukan "merubah"..
:)))))
Ka, itu, sebelah mana aku nulis "merubah" perasaan udah "mengubah" pasti ini ada kata yang nggak konsisten hehehe
DeleteCerpen maupun Filmnya, buatku paling bagus "Curhat buat Sahabat"
ReplyDeleteCinta yang realistis :D
hehehe sebenernya banyak kan tema dua sahabat yang akhirnya salah satu atau keduanya saling menyukai, tapi yang ini memang asik pengemasannya :)
DeleteHalo teh Evi saya mau minta bantuannya untuk mengisi kuesioner skripsi saya ttg UseeTV di Bandung, ini linknya http://goo.gl/Tbbp6m makasih bnyk yaa teh! :D
ReplyDeleteSudah ya :)
DeleteSaya ngepoin blog ini ketika mencari banyak artikel tentang penggunaan sudut pandang orang ke-2, dan panduan tips dari Orizuka cukup bantu. Sampai detik itu saya belum sadar pemilik blog ini sampai pas liat foto di bawah.
ReplyDeleteIni saya kenal banget.
Saya menyukai film ini--dan tentu saja bukunya. Benar, visualisasi dari kedua bentuk memiliki esensi yang berbeda. Tetapi saya benar-benar menikmati keduanya. Kisah favorit saya HANYA ISYARAT.
Hehehe... selamat datang di rumah maya, V.
DeleteTerima kasih akhirnya sudah meninggalkan jejak :)