Chaz dan Vie |
Untuk @chazky +annisa hara
Dear Ichaz,
Kangen ini meluap-luap
seperti banjir yang tidak dapat ditampung sebuah tanggul. Apalagi ketika
membuka lembaran-lembaran diary masa SMA kita. Diary sederhana dengan
tulisan-tulisan tangan, segenap warna bermain di dalamnya.
Diary itu bertahan hingga
tahunan, tak juga lapuk dalam ingatan. Masa-masa sekolah kita yang indah dan
pedih terangkum menjadi semacam buku sejarah. Setiap kali membacanya, aku akan
tergelak sendirian. Kau tentu ingat, betapa kita adalah gadis-gadis bau kencur
yang baru mengenal cinta.
Masih ingat si jangkung? Si
kacamata? Si-si-si, banyak lagi lainnya. Kita itu unik ya, menuliskan seseorang
tanpa menyebutkan namanya dengan jelas. Aku bahkan sama sekali lupa beberapa
orang yang kita beri julukan. Jadinya, si-si-si-siapa ya? Hehehehe….
Chaz,
Sejak kepulanganmu ke
Indonesia, kita belum sempat bertemu. Padahal kita berada pada negara yang
sama. Satu tanah yang tak terpisah. Meski kau di Jakarta dan aku di Bandung. Seharusnya
tidak ada kendala yang begitu berarti untuk bertemu. Tidak seperti ketika kau
ada di Jepang. Mari bertemu, Chaz, secepatnya!
Chaz,
Bagaiamana kerjaanmu di
Jakarta? Lancar kah? Aku selalu berdoa untuk keberhasilanmu. Pekerjaan dan
kisah cintamu. Semoga persiapan pernikahan tidak mengalami kesulitan, ya.
Aku tidak keberatan kau
menikah duluan. Nanti aku menyusul. Apalagi kau menunjukku untuk mengurusi
pernikahan itu. sebuah kebanggaan tersendiri. Aku suka kekasihmu yang baik hati
itu. Aku sudah mengenalkan sosok pacarku, kah?
Chaz,
Aku rindu berkirim surat
denganmu. Kau adalah diaryku selama ini. Apalah arti diary kertas dan
elektronik? Mereka sama-sama menyimpan cerita kita. Kapan terakhir kau kirim
surat padaku? Aku kehilangan banyak
tentang hidupmu. Seperti waktu sekolah dulu, aku sering meninggalkanmu
duduk sendirian karena kebanyakan dispensasi. Kini aku merasakan kesepian yang
serupa.
Chaz,
Ada banyak kenangan yang
mengikat kita. Tetapi kadang, aku tetap ingin menjadi bagian kekinian dan masa
depanmu. Alangkah sulit menemukan sosok sahabat yang begitu tulus. Aku tidak
mengerti, kenapa sahabat perempuan seringkali menyimpan persaingan. Aku dan
kamu tidak begitu. Kita sama-sama bahagia untuk yang lain.
Aku bahagia atas
kebahagiaanmu. Atas semua pencapaianmu. Atas semua kelebihanmu. Dan tidak
sedikitpun iri terselip di dalamnya. Apakah karena kita tidak memilih dunia
yang sama? Tidak juga begitu, ketika aku pada akhirnya mempelajari desain, kau
dengan sabar mengajariku.
Aku tidak mengerti apa yang
berbeda denganmu. Kita tidak memiliki aura kompetitif. Kita senantiasa
bergandengan tangan. Kau adalah sahabat segala cuaca (kuambil istilah itu dari
sebuah buku berjudul Pesta Para Janda). Ya, kau adalah sahabat segala cuacaku.
Apakah kau merasakan hal yang sama?
Jarak dan waktu tidak
membuat pikiranku berubah bahwa kau adalah seorang sahabat. Tidak juga
keberadaan yang kita lewatkan ketika bertumbuh. Kau selalu memiliki peran dalam
pendewasaanku.
Chaz,
Apa yang bisa kutulis untuk
memaparkan rasa rindu ini? Apa yang bisa kutulis untuk meluapkan segala rasa
kehilangan ini?
Peluk Cium,
Dari sahabatmu
No comments:
Post a Comment