Dear Eva,
Memang seru ya kalau bahas
teater. Menarik juga baca alasanmu masuk teater. Dalam suratmu yang berjudul Soal Ketinggalan, kamu nanya tentang alasanku masuk teater apa, kan?
Latar belakangku masuk ke
dunia teater cukup banyak. Sejak SMP aku suka baca komik serial “Topeng Kaca”
tentang perjuangan Maya Kitajima dan Ayumi Himekawa di dunia teater. Seru
sekali komik itu—meski sampai sekarang nggak tamat-tamat--, bagaimana mereka
mendalami peran, jatuh bangun di panggung teater. Teater adalah hidup mereka.
Wajar mungkin, di Jepang, teater bisa menghasilkan financial yang sehat.
Sementara di Indonesia, hanya satu dari ribuan yang bisa begitu. Yang kutahu cuma
teater Ketjil dan teater Koma berhasil menjadi besar.
Selain itu, aku punya
pengalaman menyenangkan berhubungan dengan seni peran. Waktu itu kelas empat
SD. Ada pelajaran Bahasa Indonesia yang mengharuskan membuat drama kecil. Tokoh
yang dimainkan ada dua orang. Aku dan Epa menjadi partner. Kami berlatih
beberapa hari dan akhirnya mendapat nilai terbaik di kelas. Pengalaman empiris
menjadi tontonan dan menerima tepuk tangan itulah yang membuatku jatuh cinta
pada dunia seni peran.
Tahu nggak, Va? Pasti nggak
tahu, kan? Jadi saking inginnya masuk teater, aku sengaja menyelidiki SMA mana
yang ada ekskul teaternya. Kata kakakku, SMA 1 termasuk salah satunya, jadilah
aku masuk ke sana.
Tapi ternyata, teater SMA
berbeda dari yang kubayangkan. Pagelarannya berkisar Kabaret. Aku yang tidak
bisa melucu ini, kedapatan peran sebagai penari latar atau cameo, hiksss….
Setelah itu, aku ikut teater
kampus. Di sanalah kudapatkan dunia teater yang sesungguhnya. Akhirnya bisa
dapat peran utama dengan cerita-cerita yang serius.
Jadi motivasiku ikut teater
adalah karena aku mencintai dunia peran. Postur tubuh dan wajahku tidak
mendukung untuk jadi aktris atau selebritas tv maupun film. Cukuplah dunia
panggung yang sederhana menjadi wadah passion-ku.
Eva,
Memang betul banyak orang
yang meng-underestimate dunia teater.
Dunia orang gila, tidak normal, nyentrik, bertopeng, dan sebagainya. Biarkan
sajalah, karena mereka tidak mengerti. Kita juga tidak perlu membuat semua
orang mengerti. We can’t please
everybody, right?
Banyak orang yang tahu
tentang aktivitasku di teater, tak jarang mereka nyeletuk “oh, pinter acting dong?
Jangan-jangan sekarang lagi acting?”
Atau, “Pasti hidupnya
kebanyakan acting!” dsb-dst.
Dipikir, karena kita hidup
di dunia teater, setiap saat kita acting, ya? Anak teater juga bisa bedain mana
saat di panggung dan saat di dunia nyata. Ya udahlah, ya!
Belajar teater banyak
gunanya, salah satunya mendapat kepercayaan diri. Bahkan bisa dipakai pada saat
kita presentasi di dunia kerja. Mirip-mirip monolog jugalah!
Wih, kalau ngobrolin teater,
ni surat bisa panjang kaya buku. Jadi dicukupkan segini dulu ya, Va. Udah
ditungguin sama anak-anak teater kampus juga, nih!
Bye Eva,
Your Evi
No comments:
Post a Comment