Sejarah, pelajaran favorit saya
sejak SD. Dari sejarah saya belajar berkelana lewat imajinasi menuju lembah
sungai Indus, melesat ke sungai Eufrat dan Tigris. Namun kini saya lebih jatuh
cinta pada sejarah negeri sendiri, kota yang saya tinggali, juga pulau-pulau
Nusantara sebab dari situlah saya berakar.
Di Alun-alun Bandung |
Melangkahlah ke arah jalan Asia
Afrika, Bandung, lalu singgahilah sebuah terowongan pendek dekat gedung sumber
listrik rakyat. Terowongan itu bukan sembarang terowongan. Terowongan ajaib
persinggungan segala waktu, kenangan, dan rasa. Di kedua sisinya terdapat
petikan risalah yang mampu menggetarkan batin bagi sesiapa suah menapaki Kota Kembang.
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan
sedang tersenyum,” nukilan buah pikiran Martinus Antonius Weselinus Brouwer,
seorang psikolog sekaligus budayawan kelahiran Delft. Konon ia meninggal dunia
di Belanda disebabkan permohonannya sebagai Warga Negara Indonesia ditolak.
Bumi Pasundan bukanlah kacang yang lupa kulit, Bumi Pasundan merawat kasih dan
segala pengabdian Brouwer.
“Dan Bandung bagiku bukan cuma
masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku
ketika sunyi.” Lantunan Pidibaiq merembes di antara dinding-dinding.
Risalah tembok yang menyekat
terowongan itu bukan saja menjadi tempat swafoto favorit karena berhasil
menyuarakan sebentuk rasa, melainkan menggemakan sebentuk cerita, sebentuk
sejarah Kota Bandung. Brouwer menjadi saksi kala Bandung hijau gunung-gunung. Tanah
segala flora bersemi. Segala fauna berekreasi. Bening air serupa mata hati,
udara sejuk menyehatkan raga.
Pidibaiq di antara pembangunan kota
yang merenggut segenap alam raya Bandung, masih bisa jatuh cinta. Dan bukan
hanya keduanya yang terayu pesona Bandung, jutaan sosok terbius meninggali
Paris van Java. Satu dari jutaan itu adalah saya.
Cacandraan Serat Jayabaya dan Uga
Bandung mengguratkan: Bandung heurin ku tantung. Cianjur katalanjuran,
Sukabumi tinggal resmi, Sumedang ngarangrangan, Sukapura ngadaun ngora,
Galunggung ngadeg Tumenggung.
IG Live Me and Inspiring One:
Asyiknya Belajar Sejarah
Kecintaan saya pada sejarah membuat
saya antusias menyaksikan IG Live kolaborasi antara Teh Ani Berta dan Kang Asep
Kambali, sejarawan sekaligus founder Komunitas Historia Indonesia. IG Live Me and Inspiring
One merupakan program Teh Ani yang pada episode tersebut mengetengahkan tema “Asyiknya
Belajar Sejarah.”
IG Live Me and Inspiring One: Asyiknya Belajar Sejarah - Sumber gambar IG Teh Ani Berta |
Acara yang berlangsung satu jam tersebut
sarat akan edukasi. Kang Asep menggarisbawahi pentingnya belajar sejarah. Tentang
bagaimana semestinya kita mempelajari sejarah, manfaat, dan fungsinya. Beliau
juga menegaskan bahwa kita harus menghargai perjuangan para pahlawan.
Menarik juga mendengar pemaparan
tentang proses pembuatan uang Rp75.000,- yang dirilis pemerintah dalam
memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia tahun ini. Mata uang, menurut Kang Asep
merupakan simbol kedaulatan negara. Sebab itu uang bisa jadi media pembelajaran
sejarah.
UPK 75 Tahun RI - Sumber gambar: id.investing.com |
Mendengar ucapan Kang Asep membawa
saya pada tahun 2017. Saat itu saya terpilih sebagai salah satu peserta
Residensi Penulis Seni Bandung #1. Waktu itu saya mengambil tema sejarah dan
generasi langgas. Sayangnya saya tidak terpikir untuk menjadikan mata uang
sebagai media belajar.
Sejarah Bandung dan Generasi
Langgas
Ketika kali pertama komite sastra
Seni Bandung menugasi saya selaku peserta residensi sastra menggali
permasalahan Kota Bandung dalam bingkai “Tanah, Air, dan Udara”, sebuah
kaleidoskop berputar di benak.
Sejarah Bandung dan Generasi Langgas |
Izinkan saya yang masih sejengkal
kuku mengenal Bandung mengandaikan kota ini sesosok perempuan tua pesolek
merindukan kemurniannya. Perempuan itu pernah murni, tentu saja. Sebagaimana
wajarnya kanak-kanak, Bandung pada masa itu meneladani orang tua, Ibu Kota.
Riuh pembangunan Ibu Kota menyebabkan Bandung yang menirukannya, melepas
sedikit demi sedikit kemurian. Menginjak remaja, Bandung berusaha mencari jati
diri. Menjajal itu ini sampai akhirnya Bandung dewasa menjadi pribadi yang
resah.
Bandung menua, memugar diri dalam
gempita masa kini. Hijau gunung-gunung kadung putih gedung-gedung. Tanah segala
flora bersemi kadung hitam aspal jalan. Segala fauna berekreasi kadung jejalan kaki-kaki.
Bening air serupa mata hati kadung keruh sampah lepuh-lepuh. Udara sejuk
menyehatkan raga kadung sengit membakar rupa. Bandung yang badung, ia terus
bersolek memagut harap kembali molek. Dan Bandung adalah sebuah kota, buruk dan
jelita bergantung penghuninya.
Putaran kaleidoskop terhenti
memberi saya secercah keyakinan; Bandung akan terus memugar, mengakar atau
kehilangan akar bergantung masyarakatnya. Bandung membangun, diperlakukan
seadanya kelak hancur juga. Bila kini Bandung dipandang sebagai kota yang
pintar, cantik rupa, lengkap fasilitasnya, menuju ramah Hak Asasi Manusia. Bila
kini Bandung tak menyiapkan generasi muda tangkas yang sadar akan
kehakikiannya, kelak Bandung akan menjadi pesolek yang sekadar bersolek.
Atas dasar asumsi dan gagasan
tersebut, saya membidik generasi muda sebagai sasaran riset partisipatoris. Berdasarkan buku Kota Bandung Dalam Angka 2015 yang
diterbitkan Badan Pusat Statistik Kota Bandung, masyarakat dalam kategori muda sebesar 45,16%. Namun generasi muda yang mana? Saya putuskan generasi
muda yang dalam masa ini sedang mengenyam pendidikan SMA, khususnya siswa-siswi
SMA kelas XI. Saya berharap bisa menggedor kesadaran kepedulian terhadap kota
dalam koridor pendidikan.
Ada dua alasan mengapa saya memilih
kelas XI. Pertama, pada jenjang ini, siswa-siswi telah nyaman dengan
kehidupan di sekolahnya. Sudah melewati masa adaptasi dan tidak terbebani ujian
masuk kuliah. Kedua, setelah saya mempelajari silabus pelajaran sejarah SMA, pada jenjang inilah siswa mempelajari
tentang kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Pada zaman tersebut Bandung
yang mulanya kampung tak bertuan bertransformasi menjadi kota.
Sebetulnya saya berkeinginan untuk
mengampu pelajaran antropologi karena melalui mata pelajaran tersebut, siswa-siswi
dapat membedah Kota Bandung dari segala sisi. Sayangnya, pelajaran ini telah
lama ditiadakan.
Setelah
berkonsultasi dengan pihak sekolah pelajaran apakah yang paling cocok mewakili
maksud dan tujuan riset
partisipatoris saya,
pihak sekolah menyarankan untuk masuk pelajaran sejarah. Saya diberi kesempatan untuk mengampu satu kelas IPA
selama tiga kali pertemuan. Dan untuk kenyamanan semua pihak, saya tidak akan
menyebutkan di sekolah mana saya melangsungkan riset partisipatoris tersebut.
Generasi Langgas: Milenial atau Z?
Seringkali terjadi kesalahpahaman
mengenai pandangan maupun penamaan generasi muda terutama pada mereka yang
masih bersekolah di jenjang SMA. Generasi Milenial, begitu masyarakat menyebut
generasi muda tanpa pandang bulu. Generasi
langgas—bebas—atau lebih populer
disebut Generasi Milenial menurut Yoris Sebastian dalam bukunya berjudul
Generasi Langgas, Millenials Indonesia (Gagas Media, 2016) adalah orang-orang yang lahir pada 1980 – 2000.
Terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pain point
yaitu: The Student Millennials, The Working
Millenials, The Family Millennials. Sementara bagi mereka yang lahir pada
2001 – 2010 disebut Generasi Z.
Lalu apakah
penting pengategorian ini diluruskan? Menurut saya penting, karena setiap
generasi mewakili zaman dan tantangannya sendiri. Bukan tanpa alasan mengapa Generasi
Langgas dan Generasi Z menjadi lebur.
Kedua generasi memiliki keunikan yaitu
keakrabannya terhadap teknologi digital seperti penggunaan media sosial dalam
keseharian. Namun kemudian yang membedakan kedua generasi tersebut justru terletak di
perlakuannya terhadap teknologi digital. Perlakuan Generasi Langgas terhadap
dunia digital mengalami gradasi dari yang gagap hingga yang akrab.
Generasi
Langgas melalui shock culture dengan kehadiran daring—dalam jaringan,
internet. Generasi Z tidak begitu, mereka terbiasa sejak kecil dengan daring
maupun perubahan gawai yang serba cepat. Maka dilihat dari satu sudut pandang
saja, kedua generasi ini mempunyai perbedaan yang siginfikan. Maka teranglah
peserta riset partisipatoris saya adalah Generasi Z karena lahir pada 2001.
Begitu
erat hubungan antara Generasi Z dengan dunia daring menciptakan stigma-stigma
di kalangan masyarakat seperti generasi
instan, pencinta hoax, tidak peduli pada budaya, dan lain sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri, arus informasi yang begitu terbuka dan mengedepankan
kecepatan bukan lagi ketepatan berdampak pada gaya mengonsumsi informasi.
Generasi
Z dipandang kurang kritis dalam menyikapi informasi bahkan melupakan akar
budayanya sendiri. Perkara ini terlihat manakala Generasi Z memperlakukan media
sosial sebagai alat berbagi informasi maupun eksistensi. Namun benarkah Generasi Z di Kota Bandung tidak peduli pada sejarah dan budayanya? Bagaimanakah cara yang tepat agar Generasi Z
menjadi peduli pada sejarah dan budaya Kota Bandung?
Bagaimana bila media sosial justru dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen pembelajaran
di kelas sebagai upaya penggedoran kepedulian terhadap sejarah dan budaya Kota
Bandung?
Persoalan-persoalan
itulah yang saya ujicobakan dalam riset partisipator. Mengangkat gagasan ini menjadi krusial bagi saya karena di generasi
ini boleh jadi sejarah dan budaya
Bandung akan lestari atau malah punah sama sekali.
Proses
Pembelajaran Sejarah
Kali pertama menjajal kelas XI IPA,
saya bertemu guru sejarahnya, seorang perempuan kelahiran 92 yang sedang
menyelesaikan S2. Kami bercakap cukup lama. Darinya, saya banyak belajar karakteristik
murid-murid, bagaimana cara mengajar sejarah, dan sejauh mana peran teknologi
maupun media sosial dalam pembelajaran. Di usianya yang masih muda, perempuan
ini cukup karismatik, penuh gairah mengajar, dan berani bereksperimen.
Lutut saya bergetar menghadapi
wajah-wajah asri siswa-siswi kelas XI. Dada saya dipenuhi letupan kesenangan
yang tak wajar. Seolah saya sedang mendapati diri saya yang belia. Mereka
tanggap dan terbuka. Sesekali gurauan khas remaja menghiasi suasana.
Setengah jam pertama kami habiskan
untuk saling mengenal. Saya meminta mereka untuk menyebutkan nama lengkap, hobi,
pelajaran favorit, akun media sosial yang dipakai, dan memaparkan Bandung dari
kacamata mereka. Saya tidak terkejut mendapati langka benar siswa-siswi yang
menjadikan sejarah sebagai pelajaran favorit.
Mind mapping tentang Generasi Langgas |
Ketika saya seusia mereka,
kawan-kawan saya tidak banyak yang menyukai pelajaran sejarah. Saya termasuk
segelintir itu. Pelajaran sejarah serupa wisata waktu, tempat manusia mengintip
sekelumit masa depan. Betapa waktu tidak banyak mengubah pandangan remaja
terhadap pelajaran sejarah.
Menarik sekali menyimak pendapat
mereka tentang Bandung. Berikut beberapa saya tuliskan:
Bandung itu indah karena tempat
lahir saya dan orang tua saya.
-Fauzi-
Bandung itu menyenangkan karena
saya bisa mendapatkan teman dan pasangan.
-Marza-
Bandung itu tanah air saya.
-Doddy-
Bandung itu 1001 cerita.
-Alfina-
Bandung itu tempat edukasi karena
saya mendapat banyak pelajaran hidup di sini.
-Alya-
Bandung itu tempatnya wanita-wanita
cantik lahir.
-Chandra-
Bandung itu bukan sekadar kota,
Bandung itu rumah, dan juga cerita.
-Yosephine-
Bandung itu bukan cuma tempat,
bukan cuma kota, Bandung itu perihal rasa.
-Mutiara-
Bandung itu kaya akan wisatanya,
kulinernya, ataupun kebudayaannya.
-Akbar-
Kesadaran mereka terhadap Bandung
serupa bayi dalam rahim ibu. Pemahaman mereka berkutat melulu pada persoalan
rasa. Mereka menggauli Bandung sewajarnya inkubator kejadian-kejadian emosional
yang hanya bersentuhan langsung dengan mereka.
Begitu saya bertanya mengenai
sejarah Bandung, sedikit sekali pengetahuan mereka kalau tidak mau disebut
hampir tidak tahu sama sekali. Sewajarnya rumah yang kita tinggali, tidak
begitu penting mengetahui siapakah peletak batu pertama, mengapa desainnya
seperti itu, siapa saja yang pernah meninggalinya, dll.
Mind mapping tentang Bandung |
Mengenai media sosial yang
siswa-siswi ini pakai, beberapa akrab di telinga saya seperti Facebook,
Twitter, Instagram, YouTube, dan Path. Selebihnya, saya baru mendengar. Jika
dirata-ratakan, siswa-siswi ini pengguna Instagram. Media sosial ini tengah
menjadi primadona di generasi muda. Bisa dipahami, fitur Instagram cukup
lengkap, mengedepankan foto dan video. Bisa diartikan Generasi Z cenderung
lebih menyukai media audio visual. Namun hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut oleh para pakar media sosial.
Kepada mereka, saya bertanya seperti
apa keinginan mereka belajar sejarah Kota Bandung? Storytelling, nyekar—ini
unik—belajar lewat drama, mencoba makanan khas Bandung sambil bercerita, menonton
film atau video, belajar lewat foto, berkunjung ke tempat bersejarah, dan
bertemu langsung saksi sejarah adalah jawaban mereka.
Mind mapping tentang belajar sejarah Bandung |
Keterbatasan waktu membuat saya
harus memilih cara pembelajaran. Storytelling, menonton video, dan
menghadirkan narasumber kompeten sebagai pengganti bertemu langsung saksi
sejarahlah yang akhirnya saya pilih. Metode lain saya tambahkan seperti mind
mapping, menyanyikan lagu-lagu bertema Bandung, dan diskusi.
Sebetulnya saya berkeinginan mengabulkan
permintaan mereka untuk mengunjungi tempat bersejarah. Namun sulit terlaksana
tersebab hal-hal teknis seperti membutuhkan waktu yang cukup luang sementara
pelajaran sejarah kelas XI IPA hanya sembilan puluh menit satu minggu.
Perizinan ke sekolah dan perizinan orang tua paling sulit didapat.
Menurut guru sejarah, ia pun sulit
mengajak anak-anak belajar ke situs bersejarah dengan alasan-alasan di atas.
Miris, ia berkata bahwa pelajaran sejarah menjadi anak tiri di sekolah. Fasilitas
pendukung kurang memadai seperti hilangnya lab sejarah di sekolah. Padahal lab
tersebut cukup membantu memberi gambaran materi sejarah pada anak-anak.
Lagu Sebagai Media Belajar Sejarah
Kali kedua, saya membuka sesi
bermain—katakanlah begitu—dengan bernyanyi lagu Halo-Halo Bandung. Koor
anak-anak membahana menyusupi dinding, jendela, pintu, bergaung di antara
koridor kelas. Dua lagu saya perkenalkan pada mereka. Halo Bandung, berbahasa
Belanda dilantunkan syahdu Tante Lien. Saputangan dari Bandung Selatan dua
versi yaitu versi keroncong Sundari Soekotjo dan satu versi lagi saya tidak
tahu siapa biduannya.
Lagu Sebagai Media Belajar Sejarah |
Sapu
tangan sutra putih
dihiasi
bunga warna
Sumbang
kasih jaya sakti
di
selatan Bandung raya
Diiringi
kata
Nan
merdu mesra
Terima
kasih Bung
Janganlah
lupa
Air
mataku berlinang
Saputanganmu
kusimpan
Ujung
jarimu kucium
serta
doa kuucapkan
Selamat
jalan
Selamat
berjuang
Bandung
selatan
Jangan
dilupakan
Jenaka ketika anak-anak
mengomentari versi keroncong, mereka menyangka bahwa lagu tersebut berjenis
dangdut. Di akhir sesi, saya meminta anak-anak untuk menghapal lagu tersebut di
rumah. Saya berharap melalui media lagu, mereka bisa belajar sejarah, mampu
membaca konteks dan latar belakang tercipta sebuah lagu terlepas dari lagu itu
mengenai Bandung ataupun bukan.
Film Sebagai Media Belajar Sejarah
Sebelum beranjak ke sesi menonton
video sejarah Bandung, saya memakai metode teater yaitu olah sukma untuk masuk
ke sebuah zaman. Kedua kelopak mata tertutup: papan tulis, buku, kawan
sebangku, menghilang. Rasakan angin bertiup, gemerisik dedaunan, gemericik
sungai, tanah basah, kupu-kupu menari di antara bunga-bunga aneka warna.
Dengarkan serangga bernyanyi. Menyatulah bersama harmoni alam.
Metode teater ulah sukma sebelum menonton video tentang sejarah Bandung |
Kami berada di negeri tatar ukur
abad 17 ketika Bandung masih berupa hutan belantara di mana hanya ada 25 rumah.
Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto menjadi bahan baku dongeng saya
pagi itu.
Membacakan cerita dari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto |
Menjajal video-video YouTube
tentang sejarah Bandung bukan pekerjaan mudah. Pilihan jatuh pada video
berjudul Asal-usul Kota Bandung milik Harley Radio dengan narator Harley
Prayudha. Ketika anak-anak khusyuk menyimak tayangan video selama kurang lebih
lima menit, saya khidmat menekuri reaksi mereka. Bauran rasa keterkejutan yang
tak bisa disembunyikan, terkesima mendapat informasi menarik, dan apatis.
Film sebagai media belajar sejarah |
Media Sosial Sebagai Sarana Belajar
Sejarah
Pertemuan terakhir, saya
mengawinkan metode klasik dengan media sosial. Siswa-siswi dibagi ke dalam
tujuh kelompok berisi lima sampai enam orang. Kelompok-kelompok itu mengkaji
sejarah Bandung dari sisi: pahlawan atau pendiri, monumen bersejarah, gedung
bersejarah, fasyion, buku atau literatur tentang Bandung, transportasi, dan
makanan khas. Sumber rujukan diambil dari daring.
Media sosial sebagai sarana belajar sejarah |
Berselancar di arus informasi,
pilah dan pilih kemudian mengeposkannya di media sosial Instagram milik pribadi.
Per kelompok dianjurkan mengeposkan temuan di satu akun, beberapa akun lebih
disukai. Lima belas menit berlalu. Satu per satu kelompok menyajikan temuan.
Lainnya boleh menyanggah atau bertanya. Sementara saya menelusuri tugas mereka
dengan tagar tertentu.
Hasil posting murid-murid di media sosial |
Menghadirkan Narasumber Tepercaya
Sebagai Metode Pembelajaran Sejarah
Pagi terakhir, saya memboyong serta
Kang M. Rizki Wiryawan dari Komunitas Aleut, komunitas apresiasi wisata sejarah
Bandung yang merespon diskusi dan presentasi anak-anak. Ayunan suara tenang
kebapakan sesekali mempertajam atau melusurkan. Berceritalah ia tentang masa
lalu dinding-dinding sekolah di daerah Dago itu. Diam-diam kami menaruh hormat
pada ketabahan bangunan berusia ratusan tahun.
Kang M. Rizki Wiryawan dari Komunitas Aleut menceritakan sejarah Bandung |
Selayaknya dongeng kanak-kanak,
saya sisipkan pesan di akhir pertemuan. Kepada mereka saya berpesan, media
sosial bisa menjadi ajang berbagi ilmu sejarah. Ilmu apa saja. Tak hanya
dikonsumsi teman sekelas, boleh jadi postingan kawan-kawan dinikmati manusia
dari pelbagai penjuru dunia. Sebetulnya saya tak ingin mendikte. Sehalus
mungkin saya menyisipi pemahaman mengenai pentingnya mengenal kota dan
hubungannya dengan media sosial.
Perpisahan sejatinya beriringan
dengan kesedihan. Menatap wajah-wajah asri seperti kali pertama. Gemuruh dada
saya serupa gemuruh langit sebelum hujan. Lima lembar kuesioner menutup
perjumpaan. Pertanyaan terbagi dalam tiga kategori; mengenai hubungan sosial
dan media sosial, mengenai Bandung, mengenai sejarah dan antropologi Kota
Bandung. Dua pertanyaan evaluasi diri, saya sisipkan. Pertama, apa
kesan-kesan selama belajar tentang Kota Bandung bersama saya? Kedua,
berikan masukan terhadap cara pembelajaran saya.
Haru membaca satu per satu tulisan
kawan-kawan kelas XI IPA tentang kesan-kesan belajar bersama saya. Rata-rata
mereka menganggap cara pembelajaran saya menyenangkan dan tidak kaku. Biru
membaca satu per satu masukan terhadap cara pembalajaran saya. Rata-rata
berharap saya membawa mereka ke situs bersejarah.
Wawancara dengan Para Guru Sekolah
Terkait Pelajaran Sejarah dan Media Sosial
Tak ketinggalan saya mewawancarai
guru sejarah, guru bimbingan konseling, dan WAKASEK Bidang Kesiswaan. Ibu
Wakasek menyatakan, sekolah kerap kali mendatangi museum-museum di Bandung demi
belajar sejarah. Sementara guru sejarah mengeluhkan betapa sulitnya perizinan.
Dan dari obrolan saya dengan guru Bahasa Indonesia tergambar kesulitan sekolah
mengajak para siswa belajar di luar lingkungan sekolah bersumber dari protes
dan kecurigaan orang tua murid berkenaan biaya.
Bila saya boleh menyimpulkan, atau
barangkali sudah pernah dilakukan, ada baiknya murid, guru, dan orang tua duduk
bersama. Bertanya sebaik-baiknya bagaimana murid merasa nyaman dan bahagia
belajar suatu ilmu. Boleh jadi kesalahpahaman terus berlarut-larut bila tak ada
keterbukaan di antara ketiganya.
Metode yang saya pakai sesungguhnya
telah diterapkan ibu guru sejarah muda. Lagu, video, foto, diskusi, storytelling,
dan penggunaan daring kerapkali menghiasi. Menumbuhkan sikap kritis terhadap
suatu berita, suatu wacana, apakah sumber itu bisa dipercaya, dan bagaimana
menelusuri suatu berita. Keterbatasan waktu dan media tidak jadi halangannya
bereksplorasi. Tabik.
Penggunaan media sosial di kalangan
siswa terkontrol baik. Saya menjelajahi beberapa akun Instagram siswa, tak ada
gelagat negatif namun kurang pula empati terhadap kota. Mereka bahan baku
netral yang siap dibentuk.
Dari wawancara dengan guru
bimbingan konseling, pihak sekolah memberi pemahaman pada siswa-siswi mengenai
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sehingga siswa berhati-hati
menggunakan media sosialnya. Sejauh percakapan kami, tak ada kasus murid yang
berhubungan dengan media sosial. Berbeda dengan kasus kecanduan bermain game
daring. Sebetulnya terhubung juga, game daring ini bersumber pada
teknologi.
Keunikan terjadi menyangkut media
sosial justru berkenaan dengan para pengajar. Barangkali saya tak bisa pukul
rata, beberapa guru terlihat anti media sosial. Media sosial menjadi momok
mengerikan karena siswa-siswi dapat mengaksesnya. Apakah beberapa guru ini
ingin memisahkan profesi dari kehidupan pribadi? Bisa jadi.
Merujuk pada ucapan ibu guru
sejarah muda bahwa pelajaran sejarah senyatanya terpinggirkan di sekolah.
Tergerus rumus matematika, kimia, dan fisika. Mencuat suatu pertanyaan yang
menggelisahkan, masihkah sejarah dianggap punya manfaat? Pelajaran sejarah
sesungguhnya penting dipahami, bukan sekadar menghafal tahun-tahun atau
peristiwa, lebih jauh dari itu agar anak-anak mau menghargai waktu, mampu
mengambil pelajaran di balik sejarah dan tak mengulangi hal-hal buruk.
Mengutip ucapan Kang Asep Kambali,
sejatinya belajar sejarah adalah memahami kompleksitas 3 dimensi. Masa lalu,
masa kini, dan masa depan. Orang yang tidak belajar sejarah dianalogikan
sebagai manusia yang amnesia. Tidak punya arah dan pijakan hidup.
Generasi Muda, Di Tanganmu Bandung
Utuh Atau Runtuh?
Silabus pelajaran kelas XI tahun 2017 waktu itu memasuki pelajaran di era kolonialisme dan imperialisme. Sebetulnya saya sadar, sejauh Nusantara berdiri imperialisme terus membayangi. Lihat saja anak-anak begitu akrab dengan superhero buatan luar negeri, lihat saja begitu hafal mereka dengan detail-detail kota nun jauh di benua lainnya, betapa fasih mereka menyanyikan lagu terbaru berbahasa asing.
Apakah mereka salah? Apalah hak
kita sebagai generasi sebelumnya menghakimi mereka? Lalu kita berkata,
“Generasi muda, di tanganmu Bandung utuh atau runtuh.” Rasa-rasanya tidak adil
bila kita tak punya andil sebelumnya.
Mari sama-sama bertanya sudah
berapa besar usaha kita mengenalkan budaya atau nilai kearifan lokal agar
mereka cintai? Dan bila mau jujur apakah kita benar-benar mencintai akar kita
sendiri? Teknologi dianggap biang kerok. Keterbukaan informasi menjadi musuh. Bukankah
teknologi hanyalah kendaraan zaman yang niscaya. Serupa pedang bermata dua dan
kita masih bisa memilih sisi yang mana.
Jangan-jangan kita hanya berkelit
akan ketidakmampuan kita untuk mencintai akar kita. Jangan-jangan kita hanya
berkilah akan ketidakmampuan kita untuk mentransfer pemahaman akar kita dengan
memberi stigma atau pelabelan pada generasi muda. Semoga saja tidak.
Referensi:
IG Live Me and Inspiring One:
Asyiknya Belajar Sejarah. Tayang Jumat, 28 Agustus 2020, pk. 19.30 WIB.
Sebastian, Yoris. 2016. Generasi
Langgas, Millenials Indonesia: Gagas Media.
Kota Bandung Dalam Angka 2015: Badan
Pusat Statistik Kota Bandung.
Kunto, Haryoto. 1984. Wajah
Bandoeng Tempo Doeloe: Granesia.
Belajar sejarah itu menyenangkan bagi mereka yang ingin menjembatani generasi muda dan generasi sebelumnya. Sejarah merupakan pelajaran penting untuk belajar dari segala perjuangannya. Tulisannya apik sekali.
ReplyDeleteEta enyaan Marza bilang Bandung itu menyenangkan karena saya bisa mendapatkan teman dan pasangan.
ReplyDeleteEuleuh, budak SMA di Bandung mah udah pede bilang punya pasangan ya
Heuheuy...
Saya salah satu generasi millenials yg lahir dan menghabiskan masa kecil di Binong Gatsu Bandung. Karena heurin ku tangtung itulah kami pindah. Lahan main kami dibongkar dibangun sekarang TSM.
Bandung hanya kenangan buat saya
Miris juga ya melihat anak-anak kurang awas soal sejarah kota Mereka sendiri. Pendekatan lewat film dan lagu cukup efektif menarik perhatian mereka
ReplyDeleteDulu saya juga gak suka pelajaran sejarah. Anak saya pun juga sama.
ReplyDeleteTetapi, saya pikir bukan karena sejarahnya yang bikin gak suka. Cara mengajarkannya yang membosankan. Padahal sejarah sebetulnya sesuatu yang menarik. Kalau kita bisa betah menonton sebuah film, kenapa juga gak suka belajar sejarah? Cobak kalau diajarinnya kayak Evi, pasti saya atau anak saya bakal suka, deh
Ahh Sejarah Bandung yang selalu melegenda yaa, apalai di terowongan Asia Afrika yang penuh dengan kata2 bermakna, makin mencari tahu apa artinya.
ReplyDeleteAku ga suka pelajaran sejarah, karena cara mengajarnya yang bikin boring huhuu, tapi mulai cari tahu sebatas yang ku mau. KArena ga semua hal yang perlu ku tahu juga. Nah bener lebih masuk kalo pas nonton film ato dengerin, aku akan lebih suka dan teringat terus.
Bandung itu sejuk di hati �� makasih sharingnya Teh jadi makin love sama Bandung hehe
ReplyDeleteTeh Evi runut pisan tulisanna ih kece!
ReplyDeleteTeh bicara sejarah Bandung, saya mau berja jam pun pasti nyimak. Salut ada sebuah fashion yaitu Shafira Muslim Fashion pas di Indonesia Fashion Week menggelar tema "Ngabaraga" menampilkan Braga tempo dulu plus fashion nya, meni betah pisannn. Nah sentuhan sejarah harus ada di segala bidang kehidupan ya.
Ulasan Genelasi Langgas na meni hebring Teh *love love
Generasi jaman sekarang kenapa ya pada males baca buku? Tp alhamdulillah ada media lain seperti film utk ngajarin sejarah. Yang penting essensinya dapet 👍😘😘
ReplyDeleteduh guru kaya teh evi gini jadi bikin semanagat elajar sejarah deh. ga kaya aku dulu guru sejarahnya galak bgt, mood udh luntur berantakan tiap denger mau belajar sejarah ehhe
ReplyDeleteWah kalo gurunya teteh asik nih sharing tentang Sejarah apalagi tentang Bandung aku tertarik banget pengen tau hehe.
ReplyDeleteDulu sempat suka sama pelajaran sejarah di SMP karena gurunya asik dan mengsjarkannya pun juga gak Membosankan. Paling suka kalo nonton film sejarah di sekolah, karena kita bisa lihat ceritanya. Daripada cuma baca buku aja hehe
ReplyDeleteGambar covernya keren teh, saya malah belum pernah popotoan di alun alun Bandung
ReplyDeleteMau nambahin tentang Bandung ah
Bandung seperti permen nano nano, ramai rasanya :D
Bandung, tempat saya jatuh cinta, menikah, melahirkan, merasa sakit sedih sekaligus bahagia...... :D
Jatuh cinta aku baca tulisan Teteh. Nyaman. Mengalir. Runut. Menyenangkan.
ReplyDeleteRasanya aku turut dalam bagian dari orang orang yang juga fasih akan tempat lain nun jauh di sana, tapi kurang mengenal tempatku besar dan tinggal.
Jatuh cinta aku baca tulisan Teteh. Nyaman. Mengalir. Runut. Menyenangkan.
ReplyDeleteRasanya aku turut dalam bagian dari orang orang yang juga fasih akan tempat lain nun jauh di sana, tapi kurang mengenal tempatku besar dan tinggal.
Menarik sekali mengikuti kalimat demi kalimat di tulisan ini. Betapa belajar sejarah sangat menyenangkan ketika guru menerapkan metode yg kreatif,yaitu memanfaatkan platform media sosial.
ReplyDeleteNgomongin sejarah jadi bingat betapa dulu aku kurang suka dengan matpel itu hehe soalnya hafalan semua. Apalagi waktu itu teknologi udah berkembang tapi ngga kayak sekarang, waktu itu tahun 2011.
ReplyDeleteWah ngebayangin serunya penelitian teh Evi. Jadi ingat skripsiku penelitian ke sekolah media pembelajaran hehe
wah teh barakallah ya, mengingat kalo sejarah itu adalah bagian terbaik pada hidup kita ini. Apalagi sebagai seorang guru ya, semua jasanya akan sangat terkenang sih
ReplyDeleteKalau Guru Sejarahnya seperti Teh Evi, sepertinya dulu aku gak akan dibikin ngantuk selama jam pelajaran, wkwk. Dulu, aku termasuk yang selalu gak betah saat belajar Sejarah di Kelas, tapi suka baca mengenai Sejarah di Perpus, hikss jadi Guilty Feeling ke Pak Gurunya deh.
ReplyDeleteSekarang, aku usahakan Anak-anakku menyukai Sejarah (apapun), minimal mau baca atau dengar, karena dari sana akan tumbuh inspirasi dan buah pikiran yang Insya Allah akan membangun Karakternya mereka.
Btw, sono pisan mau ngeBandung, tempat masa kecil karena Keluarga Besarku sebagian ada disana, tapi semenjak nikah aku malah jarang ke Bandung karena selalu ngumpul di Garut, itu pun hanya di momen2 besar seperti Lebaran :(
Kalau ngomongin tentang Bandung ngga akan ada bosennya deh , setiap sudutnya punya cerita, dari jaman baheula sampai saat ini , duh tulisanmu kece banget , aku terpukau , sungguh.
ReplyDeleteDan Bandung menyimpan banyak kenangan juga buatku teh. Banyak hal yang sesuangguhnya sulit terlupakan. Bisa jadi sejarah hidupku juga disana.
ReplyDeleteAku pas sekolah suka pelajaran sejarah, tapi anehnya pas pemilihan IPA atau ips nilai2ku lebih dominan ke jurusan IPA nilainya tinggi semua. Tapi aq akhirnya memutuskan untuk milih jurusan IPS karena mempelajari pelajaran sejarah
ReplyDelete