Malam yang tak ramah di Kota Bandung. Jalanan
padat dengan pelancong, mencari hiburan atau sekedar singgah makan. Maklum Weekend. Butuh waktu sekitar enam puluh
menit dari kampus untuk sampai rumah. Hanya pembaringan saja mampir di otak.
Ketika masuk ke dalam ruang keluarga, kulihat muka ibu
merah padam karena marah! Aku tak acuh saja, dan segera ngeloyor ke kamar.
Tidak sampai sepuluh detik, terdengar teriakan.
“Lina! Kapan kau akan menjenguk kakekmu di
Rumah sakit?” aku diam saja.
“Dia itu kakekmu satu-satunya,
bagaimana kalau kamu nggak bisa
ketemu lagi?” ucap ibu dengan nada tajam.
“Ya..ya… besok Lina ke sana…”
ucapku malas-malasan tetapi cukup membuat Ibu puas.
Kubaringkan tubuh yang lelah lalu meraih sebuah novel dekat
kasur, kebiasaan membaca sebelum tidur. Puluhan kali membaca paragraf yang sama
tanpa tahu isinya, semua lewat begitu saja. Masih terngiang ucapan ibu tadi.
“DIA ITU KAKEKMU SATU-SATUNYA, BAGAIMANA KALAU KAMU NGGAK BISA KETEMU LAGI?!” Tapi
kalau diingat, seperti yang sudah-sudah kakek bisa sembuh lagi! Ini bukan
pertama kalinya kakek masuk rumah sakit? Menghabiskan biaya dan sangat
merepotkan!!!
Tentu semua orang akan menganggap aku, LINA adalah cucu
yang kejam! Tetapi mereka bahkan Ibu sekalipun tidak tahu apa yang kurasakan. Kenyataan
bahwa punya satu kakek dari pihak ayah dan satu nenek dari pihak ibu, tidak
membuatku lantas menyayangi mereka.
Teman-teman sering menceritakan betapa mereka sangat
menyayangi kakek dan nenek, betapa mereka saling menyayangi. Aku benci sesi
pelajaran mengarang pada pelajaran Bahasa Indonesia sejak taman kanak-kanak
hingga SMP kelas 3, dengan tema “Berlibur ke Rumah Nenek dan Kakek”. Semua itu
hanya khayalanku saja. Untunglah di SMA atau kuliah, aku tidak perlu membohongi
diri sendiri lagi!
Aku benci ketika harus
mengunjungi kakek dan nenek. Dulu masih kecil, aku tinggal bersebrangan
dengan nenek dari ibu. Aku terpaksa melihat cucu-cucu yang lain selalu disayang
oleh nenek. Sesekali aku ingin bergabung, nenek segara menutup pintu rumah rapat-rapat
dan segera membereskan kue-kue juga permen-pemen. Pura-pura tidur, lalu
menyuruh cucunya yang lain mengusirku. Lain halnya jika aku mengunjungi rumah
nenek bersama mama, nenek akan segera mengeluarkan kue dan permen yang
disembunyikan. Bersikap baik dan penyayang. Aku tahu kenapa nenek bersikap
begitu, karena dari ibuku biaya hidupnya sehari-hari. Ketika hari besar, semua
cucunya diberi uang “angpao” akulah satu-satunya cucu yang tidak diberi oleh
nenek maupun kakek. Untuk apa? Bukankah uang yang dibagikan itu berasal dari
ayah dan ibuku juga?!
Sikap kakek tidak berbeda jauh dengan nenek, kakek bekerja di
toko yang didirikan ayah. Kakek kerap kali korupsi, keuangan toko sering
morat-marit. Dulu menurut ayah, kakek sangat kaya, tapi karena kegemarannya
menikah dengan banyak wanita maka suatu hari semua hartanya dikuras habis oleh
istri muda. Kakek ditinggalkan begitu saja! Mungkin itu adalah semacam hukuman
dari Tuhan, menurutku.
Sampai sekarang sikap kakek tidak banyak berubah walaupun
sedikit lebih ramah, kini ia tinggal dengan kakakku yang paling tua. Setidaknya
tidak usah sering-sering melihat wajah yang membuatku muak. Dan kini, aku harus
menjenguknya di Rumah Sakit? Mungkin, itu juga kalau aku tidak berubah pikiran.
***
Aku tiba sekitar pukul lima sore dan pergi meninggalkan kakek lima
belas menit kemudian. Rumah Sakit selalu menyimpan misteri sendiri, warna putih
mendominasi setiap sudut ruang, bau obat yang berseliweran di udara membuatku
silau dan pengap. Kamar kakek berada di ujung blok keempat Rumah Sakit itu,
kamar yang cukup luas dan nyaman setidaknya tidak bersatu dengan pasien lain.
Ketika aku datang ke Rumah
Sakit, kakek sedang tidur, mukanya pucat dan kelihatan lebih kurus. Bulu
matanya panjang dan jarang, aku masih bisa melihat garis ketampanan masa muda,
pantas kakek banyak istri. Memikirkan itu aku jadi sebal dan membuang muka.
Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menyentuh tanganku,
ternyata kakek menggenggam tanganku sambil tidur. Kupandangi sekali lagi, wajah
itu terlihat lelah, penuh kerutan, wajah yang menyimpan banyak sejarah pahit.
Kakek..
kalau tidak ada kau, ayah barangkali tidak akan terlahir begitu juga aku.
Pertama kalinya, menyadari arti seorang kakek bagiku. Kuertakan gengggaman
tangan, ada kekosongan yang terisi tanpa disadari. Inilah tangan yang
membesarkan ayah. Kakek… bertahanlah! Hanya tinggal kau satu-satunya orang tua
ayah. Ada air
hangat mengalir dari matanya, kakek menangis. Aku tidak tahu seberapa besar
artimu bagi ayah. Kakek, maaf aku tidak menyayangimu tapi juga rasa benci itu
mulai hilang.
No comments:
Post a Comment