Cerpen ini saya persembahkan untuk Alm. Bapak Samsir Mohamad. Saya sangat bahagia bisa mengenal beliau semasa hidupnya. Semoga beliau bahagia di dunia sana.
Akar Tunas Pertiwi
Samsir Mohamad |
Jalanan pagi itu begitu
lenggang, namun suasana jauh dari sunyi. Hingar bingar perayaan kemerdekaan
belum terasa benar. Sepagi ini, beberapa kalangan masih melaksanakan upacara
bendera, walaupun rasanya tidak begitu sacral, hanya seperti kewajiban.
Ina tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini untuk menikmati jalan lenggang. Kota kelahirannya telah menjadi
kota padat, kemacetan adalah hal lumrah. Ina menjalankan motor dengan kecepatan
tinggi. Sesekali fokusnya teralihkan setiap mendengar instruksi upacara dari
pengeras suara lapangan yang dilewatinya. Ina tiba di sebuah perempatan jalan. Lampu
merah. Ina tersenyum sinis.
“MERDEKA” teriak Ina
sambil mengacungkan lengan kanan, lampu merah di lewati begitu saja.
***
Rumah tua yang hampir
reyot itu dihuni seorang bapak tua, tanpa sanak saudara. Bapak itu biasa
dipanggil Pak Samsir. Meski tua, ingatannya begitu jelas. Lebih mengagumkan
lagi, bapak tua itu begitu aktif dalam kegiatan anak-anak muda. Baginya, tua
bukan berarti renta dan menerima kematian begitu saja. Penduduk sekitar tahu,
bapak tua itu bekas pejuang. Dia adalah saksi hidup bagaimana Indonesia bisa
merdeka.
Pak Samsir menyalakan
radio tua, mengalun lagu-lagu lawas. Menulis dengan khusyu, lewat tulian
dibagikan semua pengalaman hidup pada anak muda. Ketenangannya terusik dengan
suara-suara ramai di luar. Pak samsir bangun dari duduk mendekati jendela,
mengintip sumber keramaian. Rupanya sedang diadakan beberapa perlombaan
berkenaan dengan perayaan kemerdekaan negeri yang dicintainya.
***
Ina memelankan laju
motor, jalanan mulai ramai. Upacara bendera selesai dilakukan. Sepanjang jalan,
mulai terlihat persiapan perlombaan yang biasa dilakukan untuk merayakan hari
kemerdekaan. Entah siapa yang memulai budaya “tujuhbelasan” ini, Ina tak pernah
dan tidak mau tahu.
***
Suara-suara di luar
makin ramai. Teriakan-teriakan pemberi semangat, suara tawa, dan suara orang-orang
bercakap-cakap. Bapak tua membalikan badan dari jendela. Matanya nanar menatap
ruang kerja sederhana. Beberapa foto masa muda dipajang, sertifikat-sertifikat
penghargaan, buku-buku, dan sebuah telepon tua. Bapak tua beranjak mendekati
lemari, mengambil sebuah album tua. Sambil duduk, bapak tua membuka album
lembar demi lembar. Album tua mulai bercerita.
Tiba-tiba telepon tua
berbunyi, bapak tua seorang mendengar suara yang begitu akrab di telinga. Suara
yang begitu dirindukannya, sahabat seperjuangan, Hanafi.
“Samsir, saya ada di
Indonesia, di Jakarta, kau kemarilah” suara Hanafi bersemangat.
“Di Indonesia? Di Jakarta?
Saya harus cari ongkos dulu dong” jawab bapak tua.
“Kau juallah celana
dalam mu! Hahaha” Hanafi bergurau.
Sayup-sayup terdengar
musik lawas mengalun dari radio tua. Hanafi seperti berdiri di hadapan bapak
tua.
“Samsir, kapan kau
datang?” Tanya Hanafi terkejut dan senang.
“Hanafi..” bapak tua
tak sanggup berkata-kata, direntangkan kedua tangannya. Mereka berdua
berpelukan hangat. Sahabat karib yang terpisah, hidup di belahan dunia berbeda.
Samar-samar terdengar sedu sedan kedua sahabat.
***
Ina masih saja
menjalankan motornya, perlahan menyalakan rokok, tangannya begitu terlatih. Jalanan
mulai padat kendaraan. Sebentar lagi macet, begitu duga Ina.
“Gue lahir setelah zaman kemerdekaan, Gue gak tahu gimana rasanya berjuang untuk
mendapatkan kemerdekaan bangsa ini. Yang Gue tahu gimana berjuang di zaman
kemerdekaan” ucap Ina dalam hati sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Gue ngerasa belum merdeka. Ketergantungan Gue pada rokok,
yang secara perlahan tapi pasti bisa membunuh Gue” Ina menghisap rokoknya lagi.
“Pada kendaraan bermotor, gimana enggak, sekarang ini kalau gak punya kendaraan susah, mau jalan kaki? Pejalan kaki harus mau
berjalan disisa-sisa jalan.” Ina tersenyum sinis pada sepeda motor yang berjalan di
trotoar.
“Pada teknologi, internet, tv, radio, handphone. Kayaknya gak bakalan bisa hidup tanpa itu semua”.
Saku celana Ina bergetar, terdengar dering khas apabila ada yang menghubungi akun
twitternya. Ina tak acuh.
“Dan yang paling payah, Gue belum merdeka pada rasa
memiliki kekurangan fisik. Lihat aja jerawat
Gue, kenapa Gue mesti susah-susah ngurusin
itu semua kalo Gue gak ngerasa gelisah sama kekurangan fisik”.
Ina melewati sebuah spanduk bertuliskan diskon belanja kemerdekaan. 50%.
Senyum
sinis kembali terkembang.
“Kalo kemerdekaan bisa di diskon, mungkin kemerdekaan Gue
baru setengahnya aja”.
***
Samsir dan Hanafi duduk
berhadapan. Ada bekas air mata di pelupuk. Bapak tua menghapus air mata dengan tangan.
Kopi
panas, rokok, asbak, dan penganan tersaji di meja. Aroma rokok khas, yang
barangkali sudah tidak dikonsumsi oleh anak muda sekalipun pada zaman bapak
tua, rokok itu merupakan rokok anak muda.
“Kau masih ingat peristiwa di Cilacap?”
Tanya bapak tua mengawali percakapan.
“Tentu. Kenapa memang?” Hanafi terdengar
heran.
“Waktu itu kalian bertiga? Siapa saja? Aku agak lupa!”
“Saya, Khairul Saleh dan Pandu Kartawijaya”
jawab Hanafi.
“Waktu itu kalian yang mendesak Amir Syarifudin untuk
membentuk Tentara untuk Negara.”
“Iya, betul. Tapi apakah sekarang itu penting?”
Hanafi tersenyum santai.
Mata Samsir dan Hanafi
beradu, ada rasa kecewa tersamar.
***
Macet! Sesuai dugaan
Ina. Pedagang asongan memadati kiri kanan jalan. Mau tak mau, motor Ina
berjalan perlahan. Di pinggir
jalan tampak beberapa orang meminta-minta sumbangan untuk acara tujuhbelasan. Acaranya udah mulai masih saja
minta sumbangan. Entah benar untuk acara itu entah pengisi perut kelaparan. Entahlah,
Ina tidak mau ambil pusing.
Peminta sumbangan
mendekati Ina, penampilan mereka nyentrik, salah satunya menjadi maneqeune. Ina berhenti sejenak,
mengeluarkan dompet dari saku celana
lalu memberikan uang dua ratus ribu rupiah. Peminta
sumbangan terkejut, tidak menyangka akan mendapat uang sebesar itu walaupun
tidak bisa menyembunyikan kegirangan.
“Wah, duitnya
banyak banget mbak, gak sayang disumbangin semua?”
tanyanya menggoda.
“Enggak,
duit hasil korupsi kok” jawab Ina pergi meninggalkan para peminta sumbangan
terbengong-bengong.
Ina kembali menemukan
jalanan lenggang. Menikmati rokok yang hampir habis oleh angin. Dalam kepala
terdengar suara obrolan kemarin siang dengan salah satu teman laki-laki.
“Na, proyek kemaren katanya Lo dapet gede, bagi Gua dong!”
“Nih!”
“Tiga puluh rebu?
Iyalah orang kecil kayak Gue emang dapetnya cuman segini!”
Temannya menggerutu.
“Kalo
pengen dapet gede, sono Lo jadi pejabat dulu!”
***
Suara keramaian
perhelatan kembali mengusik kesadaran bapak tua. Rupanya tadi jiwa telah pergi
ke masa lalu. Betapa album tua itu telah mengantarkan peristiwa beberapa tahun
lalu, sampai kini bapak tua tak pernah bertemu Hanafi lagi. Dan telepon tua itu
telah berhenti berdering, hanya jadi pajangan saja.
Aku telah menjadi
laki-laki tua yang hanya bisa mengenang romantisme masa lalu. Tidak negeri ini
masih membutuhkanku. Batinnya berkata.
Bapak tua bangun dari
duduknya. Berjalan ke kamar mengambil baju hangat dan tongkat. Kakinya boleh
rapuh tapi hatinya tidak. Bapak tua punya tekad, dia tahu kemana harus
melangkah sekarang.
***
Ina tidak sadar bahwa
dia telah sampai keperkampungan. Hari telah menjadi sore. Ada sebuah lapangan di perkampungan itu. Ina melihat seorang laki-laki berlari keluar dari lapangan sambil membawa bendera merah putih diiringi beberapa
orang dan sepeda motor. Wajah laki-laki
itu begitu bahagia, begitu bangga membawa lari bendera merah putih, entah apa
maksud dari arak-arakan itu.
Ina mulai memelankan laju motor. Tanpa sengaja matanya menangkap
sesosok pengemis sedang
mencari-cari makanan di tong sampah. Pengemis itu akhirnya
menemukan sisa-sisa makanan.
Dengan semangat memunguti sisa-sisa makanan yang kemudian tercecer di tanah tapi dia tetap memakannya. Wajah
Ina tidak memberikan ekspresi apapun, hatinya seperti mati. Pemandangan biasa.
Ina memutuskan
untuk memarkirkan motor di pinggir
lapangan. Kakinya seperti bergerak sendiri entah oleh kekuatan
apa. Kakinya melangkah menuju lapangan kosong penuh sampah bekas perlombaan. Ina
memandang berkeliling lapangan. Tanpa sengaja Ina menginjak bendera kecil dari
kertas wajit dengan sedotan sebagai pegangan. Matanya menatap lekat bendera
kecil di kaki. Ina mengambil
dan membersihkan bendera. Bendera kecil itu di taruh di dadanya.
Ina bergegas menuju
tiang bendera. Memandang ke atas, betapa bendera merah putih masih terlihat gagah menantang langit. Bendera kecil yang
dipegang, dipasangkan
ke tiang bendera. Ina
berjalan mundur menjauhi tiang bendera. Tiba-tiba saja tangannya menghormat bendera dengan kekaguman yang
dirasakan olehnya ketika kecil. Hening,
tidak terdengar suara apapun, waktu seakan berhenti.
Ina menunduk memandang bayangan dirinya dan bendera. Bayangan itu berwarna
abu-abu.
“Dan arti kemerdekaan bagi Gue adalah menjadi bagian dari
bangsa Indonesia itu sendiri. Setiap apapun, pasti memiliki bayangan. Warna
apapun akan menjadi abu-abu. Mencintai negeri ini seperti mencintai diri
sendiri. Mencintai setiap jengkal abu-nya”.
***
Bapak tua berjalan perlahan-lahan menuju lapangan dekat
rumahnya. Berjalan perlahan mendekati tiang bendera. Dengan rasa haru menatap bendera merah
putih yang berkibar. Bapak tua memberi hormat pada Sang Saka dengan khidmat.
“Arti kemerdekaan bagi saya adalah sudah
jelas termaktub dalam Mukadimah UUD 1945 Alinea keempat. "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Ucap bapak tua entah pada siapa, barangkali untuk dirinya, barangkali untuk dunia.
Bapak tua terkejut,
tidak disangka ada seorang pemuda
memakai baju kemeja, kain sarung, kantong tiker dan bertelanjang kaki
telah berdiri tidak jauh darinya sedang memberi hormat pada bendera juga. Jelas bahwa pakaiannya agak aneh untuk
anak muda zaman sekarang. Namun sosok pemuda itu rasanya begitu dekat, begitu
dikenal. Bapak tua membenarkan letak kacamata, berusaha mengamati lebih baik. Bapak
tua akhirnya tersadar bahwa sosok pemuda itu adalah dirinya.
Perlahan bayangan pemuda menghilang berganti sesosok perempuan muda yang sedang menghormat bendera, matanya nanar namun penuh kecintaan.
Samsir Mohamad menjadi pembicara di Toko Buku Ultimus di Bandung |
No comments:
Post a Comment