Setiap
siang menuju sore, penduduk sekitar rumah itu telah terbiasa melihat
pemandangan dua perempuan menatap langit dari atas loteng. Mereka biasa duduk
di atas kursi rotan, yang satu berumur awal tiga puluh, lainnya berumur tiga
tahun. Gadis kecil akan memegang erat jemari ibunya, seperti tak ingin lepas. Sementara
sang ibu akan menyesap kopi dan rokok. Kadang memeluk erat, kadang memandangi
bening mata gadisnya.
Tidak
biasanya, sang ibu lebih banyak diam. Gadis kecil itu tidak bertanya apa-apa,
mencoba memahami saja.
Langit
siang itu sangat biru, dihiasi awan bergulung-gulung berwarna putih. Angin berdesir
pelan, memainkan anak rambut kedua perempuan.
“Mama,
sedang apa?” Akhirnya gadis kecil tidak tahan bersuara.
“Menunggu
senja, Mama ingin menghirup aromanya.”
Hari ini senja muncul seperti biasa,
Ayah
langit masih putih biru, seperti rok
sekolah yang kukenakan
saat pertama kali mengerti sebuah cinta
ragu-ragu kau lepaskan gadis kecil ini
menggandeng seorang lelaki
***
Ayah
mengerutkan dahi, tanda tidak mengerti. Bukan hal mudah mengijinkan pergi
seorang gadis di malam hari.
“Pergi
kemana? Sama siapa?”
“Nonton,
sama… nanti deh Anila kenalin sama Ayah,” jawab Anila sambil lalu.
Malamnya
seorang pemuda yang lebih tua dua tahun datang bertandang. Ayah dan Ibu
bersikap ramah, entah karena pembawaan supel pemuda, entah mereka basa-basi
saja. Kama, nama pemuda itu, meminta ijin pada Ayah dan Mama untuk mengajak
Anila nonton di bioskop. Ayah mengantar Anila dan Kama sampai depan gerbang. Tanpa
menoleh ke belakang, Anila menggandeng tangan Kama, walaupun Anila tahu, Ayah
memperhatikan itu.
Malam
itu adalah malam yang penting bagi Anila karena menemukan cinta pertamanya. Kama
membuat pernyataan cinta paling romantis bagi Anila yang masih duduk di bangku
kelas dua SMA.
“Would
you be my princess?” tanya Kama sambil memberikan seikat bunga dan menggenggam
erat tangan Anila.
“I
do,” jawab Anila sambil malu-malu. Kama mengecup mesra tangan Anila.
Hari ini senja muncul seperti biasa,
Ayah
matahari masih setengah muncul, sinarnya
kemerahan
ada banyak semburat, seperti pipi
malu-malu seorang gadis
yang mendapatkan seikat bunga dan sebuah
kecupan dipunggung tangan
***
Pada setiap senja
: aku menemukan aroma disana
Rhea,
nama gadis kecil itu, mengguncang bahu Anila. Anila tersadar, memeluk lembut
buah hatinya.
“Aroma
apa Mama?” dengan polos Rhea bertanya.
“Aroma
senja, sayang.”
Mata
bulat Rhea menatap Anila tanpa berkedip, mencari jawaban yang coba dia
mengerti.
***
“Gimana
kuliahmu? Kapan mau lulus?” Ayah melinting rokok kretek kemudian memasukan sisa
tembakau ke sebuah kaleng.
“Tahun
ini lulus Yah.” Anila menyesap kopi kemudian menyalakan rokok.
“Dari
tahun kemarin bilangnya tahun ini lulus!” Ayah menyesap kopi.
“Iya,
iya beneran tahun ini, lagi skripsi kok!”
Anila tak mau kalah.
Aroma senja itu manis, Ayah
seperti secangkir kopi susu yang biasa
kita minum
sambil melinting rokok, mengumpulkan
tembakau dalam sebuah kaleng
lalu kita akan bercakap secukupnya
***
Aroma senja itu hangat, Ayah
seperti telapak tangan yang membelai
lembut rambutku
lalu kita akan berbagi senyum, seakan
mengerti
gadis kecil ini hendak berlindung
Tahun
ini adalah tahun yang sulit bagi Anila. Pernikahan yang telah disusun
berbulan-bulan, kandas begitu saja. Anila berubah menjadi pemurung. Ini bukan
kali pertama, Anila gagal menikah, sudah berulang kali. Tapi kali ini berbeda, biasanya
Anila yang mengingkari komitmen menikah, merasa tidak siap atau sadar kurang mencintai laki-laki itu. Kali ini, Anila benar-benar ingin menikah, merasa siap
mencintai seseorang lagi.
Cinta tidak pernah datang setelah Kama menghianatinya. Berselingkuh dengan teman kuliah. Betapa jarak yang bisa ditempuh dua jam bisa jadi penghalang sebuah hubungan. Ayah barangkali tahu, tapi pura-pura abai. Gadis remaja telah berubah menjadi seorang yang acapkali ingkar komitmen pada laki-laki. Begitu sering Anila berganti pacar, Ayah tidak pernah berkomentar sedikitpun.
Pada
malam, Anila bersembunyi dari kesedihan. Membaca buku, bermain game komputer, atau memainkan biola
pinjaman dari seorang teman sesekali. Semua dilakukan di teras rumah. Seperti biasa
sambil menyesap kopi dan rokok. Malam itu, Ayah menghampiri Anila. Mereka sama-sama
diam. Ayah menyalakan rokok, meminum kopi, menatap langit bersama. Sehabis rokok,
Ayah berdiri dan mengusap rambut Anila, walau tak ada kata yang diucapkan,
Anila tahu, Ayah mengerti kesedihannya.
Aroma senja itu teduh, Ayah
seperti sepasang matamu, menatap lekat
menyimpan rindu saat aku berlarian
disekitar kakimu
matamu adalah
penunjuk jalan ketika arah hilang
***
Senja
tiba seperti biasa, langit berwarna jingga. Anila memandang takjub perubahan
langit, berapa ratuspun disaksikan. Rhea sedang memainkan boneka kodok sambil
berlarian di kaki Anila.
“Mama
pulang membawa kentang.
Kentang
di goreng, jadi kentang goreng.
Kentang
di rebus, jadi kentang rebus.”
Rhea
berdendang. Anila memperhatikan anak semata wayang. Anila ikut bernyanyi. Anila
dan Rhea tergelak. Ayah, itu lagu ciptaan Ayah, kini anakku bisa menyanyikan
juga, ucapnya dalam hati.
Aroma senja itu menyenangkan, Ayah
Seperti nyanyian-nyanyian sederhana yang
kau ciptakan
Untuk sekedar membuatku tergelak
Kemudian bersama-sama mendendangkannya
kembali
***
Senja
baru saja datang, pelanggan toko Ayah perlahan menyurut. Anila masuk ke dalam
rumah. Ada pertengkaran kecil antara kakak beradik. Anila menghindari
pertengkaran lebih besar, berjalan menuju toko Ayah. Ayah sedang melinting
rokok dan menyesap kopi. Anila menyalakan rokok kemudian menatap Ayah. Memperhatikan. Tubuh Ayah sudah bungkuk, sering masuk angin, tapi tetap saja
bekerja. Ada rasa miris menyusup hati, seandainya dia bisa memberi lebih untuk
Ayah.
“Kakek,
minta pulpen dan kertas,” tiba-tiba Rasi datang. Rasi adalah anak kakak Anila.
“Ini
pulpen dan kertas, mau belajar apa?” Ayah dengan sayang, menggendong Rasi,
mendudukan di atas etalase toko. Dengan sabar membantu Rasi membuat huruf dan
angka.
Ayah, senja ini, aku ingin berkata:
berhentilah
memilah tembakau, berhentilah menyesap kopi
tubuhmu sudah terlalu
lelah
berhentilah
memandangku seolah gadis kecilmu
dan berharaplah
seorang gadis kecil tumbuh dirahimku
lalu kita akan
bergantian mengejarnya dan mengajarinya mengeja
***
Anila
meneteskan air mata, menatap senja yang segera hilang. Rhea menghapus air mata
ibunya. Memberikan pelukan hangat dan mencium pipi Anila.
Ayah akhirnya aku menikah dengan lelaki yang baik, lelaki yang kau sukai, lelaki yang susah payah kutemui, lelaki yang bisa menghidupkan getaran dalam jiwaku lagi. Ayah, gadis kecilmu
telah memiliki gadis kecil, dia mencintaimu sepertiku.
“Mama
kenapa nangis?” Anila menggeleng. Memandang lurus senja hingga menghilang,
dieratkan pelukan pada Rhea.
“Mama,
hari ini belum dongeng. Gimana terusan dongeng tentang kakek?”
“Oh
iya, Mama belum dongeng ya. Suatu hari, ketika kakek masih kecil, kakek punya
kura-kura. Besarrrrr sekali…”
Ayah, pada senja yang entah:
aku dan putri
kecil duduk bersisian
memandang langit
di ujung hari
berbagi dongeng
tentang senja
karena dia juga tahu,
senja memiliki aroma sepertimu
so touchy :')
ReplyDeleteMakasih teteh :)
Delete