Coffee Tour 2: Perkebunan Kopi Sukamakmur, Kabupaten Bogor |
“It
doesn't matter where you're from - or how you feel.... There's always peace in
a strong cup of coffee.”
― Gabriel Bá
Selalu sama ketika saya bangun di subuh hari dengan
hawa pegunungan yang menggigit. Seolah saya terbawa kembali ke masa kecil di
Banjaran. Di antara gunung-gunung, lembah, sungai, dan suara kokok ayam juga
bebek. Suasana yang akrab dalam ingatan. Kesadaran saya kembali saat para
pengurus masjid Desa Sukamakmur melangkah masuk ke masjid, bersiap
mengumandangkan adzan. Iya, saya sedang dalam rangkaian acara coffee tour yang dilaksanakan oleh
Coffee Toffee dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Rasanya tidak
sabar memulai kegiatan hari kedua setelah kemarin berkunjung ke perkebunan kopi Desa Tanjungsari, Kabupaten Bogor.
Saya beserta peserta perempuan coffee tour segera keluar dari masjid. Bagi
yang beragama Islam segera ikut salat berjamaah. Saya masih mengumpulkan nyawa sehingga salat setelah pengurus
masjid dan warga selesai berkegiatan di masjid, sekitar jam lima. Seusai salat,
sebagian peserta kembali tidur termasuk saya. Kembali terbangun ketika sinar matahari
menerobos masuk jendela masjid. Menepuk-nepuk pipi, hidung, dan kening saya.
Di luar, sarapan telah terhidang. Aroma khas
pedesaan bercampur masakan. Hiruk pikuk warga terasa kental. Saya turun dari
masjid, segera minum segelas air putih dan membuat kopi. Tapi kemudian mata
saya tertuju pada satu panci berisi rebusan daun.
“Bu, ini apa ya?” tanya saya.
“Ini wedang jonggol. Terbuat dari daun kopi
dan rempah-rempah. Cobain Neng, pakai gula aren kalau mau,” jawab ibu itu.
Saya segera mengambil gelas, mencampur wedang
jonggol dengan sedikit gula aren. Rasanya seperti ramuan herbal, agak sepet,
dan hangat mengaliri tenggorokan.
Antrean mandi menyurut, saya bergegas
membasuh tubuh. Dinginnya air membuat syaraf-syaraf saya terbangun seluruhnya. Ritual
pagi itu saya sempurnakan dengan sarapan. Masakan warga desa cocok di lidah
saya.
Panitia memanggil seluruh peserta untuk
segera bergerak ke perkebunan kopi. Dari perkampuangan warga, perkebunan hanya
berjarak sekitar satu kilometer yang kami lalui dengan berjalan kaki. Kami sampai
di mulut perkebunan, di sana ada pos penjagaan dan merupakan pintu masuk menuju
Curug Cibe’et, salah satu tempat wisata yang baru dibuka.
Ratusan bibit pohon kopi robusta teronggok di
tanah yang merupakan bantuan bagi para petani dari Dinas. Bu Jaya dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor segera menjelaskan pada seluruh peserta
mengenai bibit tersebut. Saya memerhatikan bibit yang berumur empat bulan itu
dengan saksama. Ada kertas melingkari lehernya. Itulah sertifikat atau akta
kelahiran bibit pohon kopi yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Industri
(Balitri) Sukabumi, artinya bibit tersebut telah memenuhi standar tertentu.
Bu Jaya menjelaskan tentang bibit kopi robusta yang bersertifikat |
Perjalanan kami lanjutkan menuju perkebunan
kopi, berlokasi di Gunung Datar Habib, Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur,
Kabupaten Bogor. Jalan kaki terasa lebih ringan karena jalanan yang masih tanah
hanya sedikit bebatuan kecil, meski sedikit licin karena berlumut sering
tersiram hujan. Sepanjang mata memandang, terlihat pohon-pohon kopi, pinus, dan
sayuran berderet-deret.
“Itu sudah Cianjur,” tunjuk Bu Jaya cerukan bukit
seberang. Rupanya lokasi perkebunan adalah perbatasan antara Kabupaten Bogor
dan Cianjur.
“Sudah berapa lama perkebunan kopi ini
dibuka?” tanya saya pada Bu Jaya. Kami jalan bersisian.
Bu Jaya membetulkan letak kerudungnya. “Mau
berjalan tahun kelima. Perkebunan kopinya baru empat tahun.”
Dari Bu Jaya saya mendapat informasi bahwa
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bogor merangkul warga setempat dalam
pembukaan hutan dan penanaman untuk mengatasi bencana longsor juga menghindari
pencurian lahan. Sama seperti di Desa Tanjungsari, sistemnya petani terbagi
dalam beberapa kelompok tani, mereka mendapat izin sebagai pengelola lahan. Setiap
petani mendapat hak mengelola tanah dengan luas lahan sesuai kesepakatan dalam
kelompok taninya. Salah satu pertimbangannya adalah kemampuan dan modal dalam
mengurus lahan.
Kebanyakan warga di sini menanam sayuran
seperti brokoli, wortel, tomat, dan cabai. Sayuran akarnya tidak mengikat tanah
dan air. Longsor bisa terjadi kapan saja. Itulah sebabnya Dinas menyarankan
warga untuk menanam kopi karena akar pohon kopi kuat mengikat tanah dan air
sekaligus menyukseskan program pemerintah memajukan industri Java Preanger Coffee.
“Lihat,” kata Bu Jaya sambil menunjuk lahan
yang ditanami sayuran, “galur tanahnya salah.” Dari puncak gunung berderet
tanaman sayur membentuk garis vertikal. Menurut Bu Jaya, galur yang benar itu
membentuk garis horisontal sehingga air hujan dapat terserap tanaman dan turun
perlahan mengikuti galur tanah.
Di tengah jalan, lengkung gunung, kami
berhenti sebentar. Bu Jaya nampak terengah namun tetap bersemangat. Di situ,
para peserta boleh mencoba menanam anak-anak pohon kopi robusta. Saya tak mau
ketinggalan. Seorang petani membantu saya menggali tanah gembur, dangkal saja. Sesuai
instruksi, saya sobek plastik hitam yang membungkus tanah dan akar bibit pohon,
melesapkannya ke dalam tanah kemudian mengais-ngais tanah agar akar bibit kopi
tertutup sempurna. Sebuah pancang menancap di belakang bibit pohon, di situ
sertifikat akan bergantung sampai pohon membesar.
Evi bersama panitia, Bu Jaya, dan para petani |
Di Gunung Datar Habib, dekat Curug Cibe’et,
sebuah pohon kopi robusta memulai petualangan hidupnya. Tumbuhlah, tumbuh pohon
robusta. Tumbuhlah, tumbuh menjadi penghasil biji-biji kopi pilihan. Kelak,
jika Tuhan mengizinkan, saya akan kembali ke sini. Menemuimu.
Evi menanam bibit kopi robusta |
“Bedanya pohon kopi robusta dan arabika bisa
dilihat dari daunnya. Robusta berdaun besar berwarna hijau terang sementara
arabika berdaun lebih kecil berwarna hijau gelap,” ucap Bu Jaya. Saya
mengangguk-angguk sambil memandangi bibit pohon kopi robusta yang baru saya
tanam.
“Pak, tolong nanti galur tanahnya diperbaiki,
jangan begini ya,” kata Bu Jaya sambil menunjuk galur tanah berbentuk vertikal.
Para petani yang hadir mengiyakan.
Kaki kami melangkah lagi menyusuri jalan menuju
Curug Cibe’et sambil menikmati pemandangan pegunungan berketinggian 1200 mdpl
tempat bertumbuhnya kopi robusta. Kalau mau jalan lebih jauh, di percabangan
jalan dari pos keamanan ada jalan ke atas, menuju puncak gunung berketinggian
1300 mdpl. Di sana berdiam pepohonan kopi arabika yang telah panen raya.
Tak berapa lama, kami sampai di Curug Cibe’et.
Curug atau air terjun kecil di kawasan Desa Sukawangi sebetulnya ada tiga,
membukaannya bertahap sesuai dengan pembangunan agrowisata. Untuk masuk ke
curug, pengunjung tidak dipungut biaya. Curugnya masih perawan, airnya bening,
sejuk, dan dangkal. Para peserta bisa bermain air tanpa harus berenang,
ketinggian air sekira satu meter ke dasar. Sebaiknya, siapa pun yang hendak
berkunjung ke sini selalu menyiapkan kantong plastik agar tidak meninggalkan
sampah.
Curug Cibe'et |
Alih-alih bermain air di curug, saya
mendekati petani kopi. Saya berkenalan dengan beberapa petani termasuk Pak
Budi. Beliau adalah ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), ketua koperasi
sekaligus mandor di sana.
“Pak, musim panen sudah lewat ya? Tadi saya
tidak lihat buah kopi matang. Saya mau nyobain metik buah kopi.”
“Iya Neng, kalau panen kopi arabika udah
lewat, bulan kelima sama keenam. Kalau mau, Neng bisa metik kopi robusta. Lagi
musim panen bulan Juli dan Agustus,” kata Pak Budi. Saya mengangguk
bersemangat.
Menurut Pak Budi, sebelum mendapat edukasi,
petani di Desa Sukamakmur hanya mengenal nama Kopi Lampung karena bibit kopi
yang berkembang dibawa dari Lampung oleh para petani perantauan. Kini para
petani sudah tahu tentang kopi robusta dan kopi arabika. Sebetulnya sebelum ada
budidaya kopi di sini, sudah ada pohon kopi yang tumbuh liar. Mungkin peninggalan
zaman Belanda?
Petani terbagi menjadi tiga golongan: pertama,
petani yang menjual buah kopi cherry langsung. Kedua, petani yang mengolah kopi
dengan proses olah kering. Dan ketiga, petani yang mengolah kopi dengan proses
olah basah menggunakan mesin pulper. Petani golongan kedua dan ketiga menjual
kopi berbentuk green bean dan yang
sudah di-roasting secara tradisional.
“Bapak jual ke mana kopinya?” tanya saya.
“Jual ke tengkulak. Dikirim ke Tasik dan
Cianjur.”
Berbeda dengan di Desa Tanjungsari, tengkulak
di Desa Sukamakmur memberikan harga lebih variatif kendati tidak berbeda jauh,
sehingga petani bisa memilih harga terbaik sesuai kualitas kopi yang
dihasilkan. Saya kurang paham apakah harga jualnya sudah rata-rata atau di
bawah rata-rata. Saya hanya menangkap ekspresi harapan untuk mendapat
penghidupan lebih baik.
“Daerah sini mah lengkap, Neng. Holtikultura ada, tanaman perkebunan ada,
tanaman pangan juga ada. Sayangnya pada enggak tahu.”
Pak Budi dan petani di Desa Sukamakmur tengah
menanti bantuan berupa alat dari pemerintah yang kemungkinan akan mereka terima
pada tahun 2017 mendatang. Bantuan alat sengaja mereka ajukan bukan berupa uang
agar bantuan tersebut tepat guna.
“Semalam, Neng udah nyobain minum kopinya?
Itu kopi arabika.”
“Sudah Pak. Enak kopinya, ada rasa-rasa
sayurannya.” Saya tidak bohong, rasa kopi arabika hasil produksi Desa
Sukamakmur punya karakter dan pantas bersaing di pasaran.
“Iya Neng, kan tanaman kopi itu menyerap rasa
dari tumbuhan sekitarnya. Ada rasa sayurannya karena di sini kan banyak nanam
sayur.” Pak Budi tergelak. Saya ikut tertawa kecil.
Tengah hari para peserta segera turun dari
Curug untuk santap siang. Saya berjalan paling belakang bersama Pak Budi dan
para petani lain. Saya bersikukuh meminta kesempatan pada Pak Budi untuk
memetik buah kopi. Pak Budi mengajak saya berbelok menapaki jalan kecil. Di
sana ada pohon-pohon kopi berbuah lebat berwarna merah. Pak Budi mempersilakan
saya memetik kopi. Dengan hati-hati saya memetik kopi cherry agar tidak melepas
cabang paling kecil tempat bergantung buah kopi. Teringat pesan Andri, teman
saya di Kiwari Farmer, katanya kalau cabang itu ikut terpetik, membutuhkan
waktu sekitar dua minggu untuk tumbuh kembali. Artinya memperlama regenerasi
tumbuh buah kopi.
Kopi cherry (foto: Endriko) |
“Coba makan buahnya,” kata Pak Budi.
Saya gigit buah kopi yang rasanya manis dan
mengeluarkan bijinya.
“Enggak apa-apa Neng, makan aja sama bijinya.
Enggak bakal tumbuh kok,” canda seorang petani. Kami kemudian tertawa bersama.
“Nah, bandingkan dengan buah kopi ini.” Pak
Budi menyerahkan beberapa buah kopi cherry berwarna merah yang bentuknya
lonjong dan lebih kecil. Saya makan dan ternyata rasanya beda. Manis dan sepet.
“Beda kan, rasanya?” kata Pak Budi. “Buah
kopi cherry yang bulat dan besar itu kopi robusta, rasanya lebih manis. Kalau
buah kopi cherry yang kecil dan lonjong itu kopi arabika, ranya kesat.”
Tak lupa Pak Budi memberi saya buah tangan
berupa buah kopi cherry robusta dan arabika segenggaman tangan. Saya berterima
kasih sekali.
“Neng, di Bandung rumahnya di mana?” tanya
Pak Budi. “Orang tua saya juga di Bandung.”
“Saya tinggal di Tegalega, Pak.”
“Walah, deket atuh. Orang tua di Mohammad
Toha. Jangan-jangan kita sebenarnya saudara, Neng?”
“Bisa jadi, Pak.” Lagi-lagi kami tergelak.
Ketika kami sampai, panitia, para peserta,
dan pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor telah menggelar tikar. Di
atasnya terhampar daun pisang dan macam-macam masakan. Perut saya berbunyi,
ternyata saya lapar he he he. Bersama para petani dan warga setempat, kami
makan dengan lahap.
Selesai makan dan salat, kami berpamitan
dengan Pak Budi, para petani, dan warga yang sudah menjamu kami. Sebelum
berpisah Pak Budi berkata pada saya bahwa keinginan petani kopi di sini bisa
lebih mandiri dan maju. Salah satu jalannya dengan mengikuti Bogor Coffee Festival. Biarpun saingannya perusahaan-perusahaan
besar dan punya merk, kami nekad saja. Dan bahwa saya harus berkunjung lagi
ke sana. Saya berjanji pada Pak Budi untuk mengusahakan datang ke festival.
Bogor Coffee Festival 2016 |
Sepanjang perjalanan menuju Coffee Toffee
Margonda dalam kepala saya berkecamuk tentang perkebunan kopi Desa Sukamakmur.
Tentang para petani, tentang potensi kopinya. Saya tidak tahu bagaimana
berbisnis kopi. Tidak paham memajukan dunia kopi Indonesia. Yang saya tahu,
saya punya kata-kata, saya bisa menulis. Hanya itu yang saya punya. Dan kopi
adalah teman setia saya ketika menulis.
Saya juga teringat pertemuan demi pertemuan
dengan para sahabat, selalu ada kopi di antara kami. Perjalanan riset novel yang
membawa saya bertemu dengan orang-orang baru. Kopi adalah media kami
berbincang. Ngopi, yuk! Kata lain
dari ayo ketemu, ayo ngobrol. Benar ucapan Gabriel Bá, seorang comic book artist dari Brazil, salah
satu negara penghasil kopi terbesar di dunia: Tidak peduli dari mana kamu
berasal – atau apa yang kamu rasakan ... selalu ada kedamaian dalam secangkir
kopi. Telah sejak zaman nenek moyang, kopi menjadi media komunikasi antar
manusia.
Next kalo ada yang begini-begini ajakin saya dong Pi, pan saya kurang piknik :D
ReplyDeleteJadi pingin kesana. Dulu saya pernah berkunjung ke perkebunan kopi di Banaran, Ungaran. Disitu saya juga baru tahu kalau rasa buah kopi sebenarnya manis. Pantas, para luwak doyan makan buah kopi ya.. ^_^
ReplyDeleteIiih, senengnyaa, bisa ke kebun kopi, aku yang di Bogor belum pernah, padahal kepengin banget.
ReplyDeleteAmazing pasti ya
Mbak Evi, seru sekali jalan-jalan ke kebun kopi nya. Jadi kopi bisa dibedakan saat mereka masih mentah ya antara robusta dan arabika. Membaca posting ini jadi nambah pengetahuan sedikit tentang kopi :)
ReplyDeleteAda kopi Robusta juga ya disana, dengar - dengar kandungan kafein kopi Robusta lebih banyak dari jenis kopi lainnya jadi bagus untuk dijadikan body scrub juga :)
ReplyDeletekopi cherry :O aku baru tau kirain semua kopi bakal warna item seperti aku tau
ReplyDeletewah di bogor ada perkebunan kopi ternyata ya, baru tau :). Seru banget coffee tour-nya...
ReplyDeleteAku iri padamu mbak bia jalan2 ke kebun kopi, pastinya dapat pengalaman dan pengetahuan menarik ttg kopi, ya? :D
ReplyDeleteAku belum pernah ke perkebunan kopi. Moga next time bisa mampir ah :). Pengalaman yang asyik ya mba
ReplyDeletenice Ninja Thailook style
ReplyDeleteAku bisa minta alamat & kontak salah 1 petani di sana tak mbak?
ReplyDeleteKebetulan aku lg nyari data buat skripsi ku. Aku cari coffee tour bln Desember sudah lewat ya?
kalau ada kabar, bisa info ke aku ya mbak, trims.
WA: 087876038070
BBM: 5121ACDD
saya pernah lihat di Sukamakmur ada kebon kopi penduduk tapi tidak besar, ternyata memang ada area perkebunan kopi yang besar ya di area ini
ReplyDeletemba boleh info2 ontact pak Budi
ReplyDeletebisa chat email ya mba ( hroehky@gmail.com)