Coffee Tour 1: Perkebunan Kopi Tanjungsari, Kabupaten Bogor |
Bermimpilah, Aila
di antara pohon kopi yang
melipat kening bapak
menyemut berbau masam mengigiti
lubang hidungmu
ibu merebahkan liangan,
menabur kelereng, menutu hingga serpihan
Bermimpilah,
ke pulau-pulau terjauh tempat segala emas hitam bertumbuh
Sudah hampir tiga tahun saya mengerjakan
novel Tanah Kopi. Riset literatur saya dalami, namun ada yang kurang. Selalu ada
yang kurang, yaitu rasa. Saya pikir, saya harus terjun ke perkebunan kopi,
menumbuhkan cinta agar napas novel saya punya rasa.
Berbulan-bulan saya menunggu panen raya dan
ketika saat itu tiba, saya kesulitan mendapat akses untuk mengunjungi
perkebunan kopi. Pernah saya datang ke perkebunan kopi berskala kecil di daerah
Bandung, tapi saya masih menyimpan keinginan melihat langsung perkebunan kopi
berskala besar.
Suatu hari yang biasa, saya melihat seorang
teman mengeposkan poster coffee tour
ke perkebunan kopi di Kabupaten Bogor yang diadakan oleh Coffee Toffee
Indonesia dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor bertujuan untuk
memperkenalkan kawasan perkebunan dan produksi kopi lokal. Coffee tour adalah rangkaian acara Bogor Coffee Festival tanggal
6-7 Agustus di main atrium Cibinong city
mall. Tanpa pikir panjang, saya menghubungi kontak yang tertera di sana. Endriko,
salah satu panitia menjawab panggilan saya untuk mendaftar. Katanya waktu itu,
peserta sudah penuh. Hampir putus asa, saya meminta Endriko untuk
mempertimbangkan keikutsertaan saya. Keesokan harinya, dia memberi berita baik
bahwa saya boleh bergabung dalam coffee
tour. Rasanya seperti keajaiban.
Bogor Coffee Festival 2016 |
Pagi-pagi sekali sekitar jam lima subuh, saya
dan Indri, salah satu peserta coffee tour
dari Bandung membelah tol Cipularang menuju Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor yang berlokasi di jalan Bersih, Tengah, Cibinong, Bogor. Tepat
jam 8.30 WIB, kami sampai. Syukurlah karena panitia dan peserta lain masih
dalam perjalanan dari Coffee Toffee Margonda, Depok. Selang berapa lama, semua
peserta dan panitia sudah berkumpul.
Peserta dan panitia berfoto di depan kantor Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (foto Endriko) |
Sebelum berangkat, kami mendengar sambutan
dari Ibu Siti Nurianty, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Beliau
melepas kami dengan doa.
Ibu Siti Nurianty memberi sambutan |
Peserta, panitia, dan pihak dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Bogor menaiki tiga mini bus. Saya satu kendaraan dengan
Coco, Riki, Iqbal, Febri, Dewi, Dibah, dan satu rekan lagi. Perjalanan menuju Desa
Tanjungsari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor selama hampir tiga jam
terasa menyenangkan dan akrab.
Tengah siang, kami sampai di rumah warga
setempat untuk beristirahat di Desa Tanjungsari. Hawa panas namun sejuk segera
menyergap saya. Ada mobil off road
dan motor trail tersedia yang akan mengantarkan kami menuju perkebunan kopi di
Gunung Lendong. Beberapa panitia dan peserta menaiki motor trail sendiri, saya lebih
memilihi boncengan saja. Saya sadar kapasitas diri yang biasanya naik motor
matic, itu pun dengan jalan mulus.
Pak Dedi, salah satu ketua kelompok tani
memboncengi saya. Sesuai dugaan, medan menuju puncak Gunung Lendong ternyata
sangat curam, licin, dengan bebatuan di mana-mana. Beberapa kali saya turun
dari motor untuk kemudian jalan kaki ketika mendapati jalan menanjak. Pak Dedi
dan saya sempat beristirahat dua kali sebelum sampai ke puncak. Bahkan kami
sempat juga salah jalan menerobos pepohonan dan ilalang. Kami berpapasan dengan
beberapa petani yang mengangkut karung biji kopi. Sungguh saya begitu terpana
dengan kesigapan, kekuatan, dan kelincahan para petani ini untuk
mendistribusikan hasil panen dalam medan sesulit itu. Di tengah perjalanan
tersebut, kami bercakap-cakap ringan. Ternyata Pak Dedi adalah orang Bandung
yang merantau ke Bogor. Baru empat tahun katanya.
Pemandangan menuju puncak kerap kali membuat
saya kagum. Hamparan pohon-pohon kopi, pohon pelindung, dan gunung-gunung. Di
sisi lain, saya juga miris melihat gunung terbelah karena dikeruk.
Saya dan Pak Dedi sampai pertama di puncak
Gunung Lendong. Pak Sarim dan keluarga menyambut ramah kedatangan kami. Suguhan
kopi bubuk asli hasil produksi lokal tersaji.
“Ayo Neng, cobain kopinya,” kata seorang
warga.
Saya pun segera mengambil gelas dan termos
yang berpenutup lampu bohlam lima watt.
“Itu ciri khas di sini,” seloroh seorang
bapak. saya berpikir betapa kreatifnya warga di sini.
“Nah, gulanya jangan langsung dimasukin.
Kopinya dulu, air panas, lalu kocek ke arah kanan sebanyak 20 kali,” kata bapak
lain, “masukkan gula dan kocek ke kiri sebanyak 10 kali. Pasti rasanya enak.”
“Bapak tahu dari mana?” tanya saya.
“Waktu itu dapat penyuluhan,” jawab bapak
itu.
Saya praktikan instruksi tersebut. Dan rasa
kopi robusta tersebut nikmat sekali. Tidak pahit, dan makin dingin makin manis.
Sambil menyesap kopi, saya perhatikan
lingkungan sekitar. Rumah panggung tempat Pak Sarim dan keluarga dikelilingi
kopi yang siap panen. Buah kopinya sudah merah dan besar-besar. Di pinggir
rumah ada biji-biji kopi kehitaman yang setengah hancur menguarkan bau masam. Olah
kering, begitu para petani menyebutnya. Anjing-anjing kampung berlari-lari
kecil sambil menggoyangkan ekornya. Seorang gadis kecil bermata terang melihat
saya dengan malu-malu.
Buah kopi merah dan kuning (foto Endriko) |
“Ade siapa namanya?” tanya saya.
“Aila,” jawabnya. Senyum kecil merekah. Gadis
kecil itu berumur sekitar lima tahun dari baru sekolah taman kanak-kanak.
Aila senang duduk-duduk di atas karung-karung
kopi. Sementara kakak laki-lakinya memasukkan biji kopi kering ke dalam karung
dan menjahit ujungnya.
Aila di atas karung-karung berisi biji kopi kering |
Peserta dan panitia lain mulai berdatangan. Empat
peserta perempuan berhasil sampai ke puncak menggunakan motor trail sendiri. Perempuan-perempuan
tangguh.
Saya mendekati Gilang, salah satu peserta dan
Pak Sarim yang tengah bercakap. Dari Pak Sarim, pengelola lahan di sana, saya
mendapat banyak informasi.
Pak Sarim adalah orang perantauan, terakhir
dari Lampung sebelum akhirnya berdiam di Desa Tanjungsari. Menurut beliau,
bibit kopi yang dikembangkan di sana adalah kopi lampung robusta. Tahun 1997,
beliau dan beberapa rekannya membuka lahan Gunung Lendong berketinggian 680
sampai 900 mdpl. Cocok memang dengan syarat tumbuh kopi robusta. Lahan ini
adalah hutan produksi PERUM PERHUTANI. Jadi Pak Sarim dan rekan-rekannya
sebagai pengelola bukan pemilik yang telah mendapat izin.
“Kadang-kadang ada juga kawan saya yang butuh
biaya memberikan hak pengelolaan lahan pada pengelola lain,” kata Pak Sarim. “Kalau
sudah begitu, susah lagi ngambilnya.”
Dalam setahun, Pak Sarim panen satu kali. Di
sela-sela itu, beliau juga panen tanaman lain seperti duren, pisang, dan tebu.
Tanaman-tanaman ini berfungsi juga sebagai pohon pelindung. Pohon kopi tidak
dapat hidup sendiri. Sinar matahari hanya boleh terserap secukupnya sehingga
pohon-pohon berfungsi sebagai peneduh. Para petani juga harus rajin
membersihkan rumput dan ilalang juga memotong ujung pohon agar tidak terlalu
tinggi.
Buah kopi di perkebunan kopi Desa Tanjungsari
besar-besar. Kata Pak Sarim, itu berkat distek. Saat merawat pohon-pohon kopi,
Pak Sarim hanya mengerjakannya dengan keluarga. Ketika musim panen tiba, beliau
menyewa petani lain untuk memetik buah kopi. Mereka bekerja dari pagi hingga
sore hari membawa bakul bernama kinjar. Per hari, para petani itu mendapat upah
sebesar lima puluh ribu rupiah pada tahun 2016, naik lima belas ribu rupiah dari
tahun 2015.
Buah kopi matang (foto Endriko) |
Saya menatapi karung-karung kopi yang terbuka
di bawah rumah panggung itu. Tidak semua buah kopi berwarna merah, tercampur
dengan buah berwarna kuning dan hijau.
Buah kopi dalam karung (foto Endriko) |
“Pak, kenapa tidak petik yang merah saja?”
tanya saya.
“Petik semua saja. Harganya sama kok,” jawab
Pak Sarim.
Setahu saya ada gerakan yang namanya petik
merah. Gerakan itu untuk meningkatkan kualitas kopi sehingga harga kopi naik.
Tapi rasanya masuk akal ketika Pak Sarim mengatakan harga buah kopi sama saja
mau warna apa pun ketika akhirnya semua buah kopi dipetik. Namun edukasi harus terus digalakkan. Gerakan petikmerah ini bisa meningkatkan kualitas kopi yang tentu saja mengarah ke peningkatan kualitas hidup petani.
Mekanisme proses olah kering biji kopi (Sumber: http://alamtani.com/biji-kopi.html) |
Sebagian petani ada yang langsung menjualnya
dalam bentuk buah, ada juga yang menjualnya selepas olah kering. Proses olah
kering memang tidak banyak membutuhkan biaya dan lebih sederhana. Mulai dari
panen, kemudian petani menyortasi buah kopi lalu mengeringkannya pada bidang
datar selama tujuh sampai empat belas hari tergantung cuaca. Akhir-akhir ini
memang cuaca kurang bisa terprediksi, seharusnya musim kemarau namun hujan
seringkali mampir.
Proses olah kering biji kopi |
Setelah kering, petani mengupas kulit buah
dan kulit tanduk sampai tersisa biji kopi saja. Ada dua cara mengupas yaitu
dengan menumbuk atau menggunakan mesin huller. Pak Sarim sudah punya mesin ini.
Menggunakan mesin mengurangi risiko biji pecah. Satu kali proses sortasi lagi
untuk memisahkan biji kopi bagus dengan yang pecah dan kotoran sampai bisa
petani mengemasnya ke dalam karung. Dari 70 kg biji kopi basah menjadi 15 kg
biji kopi kering.
Biji kopi yang sedang dikeringkan |
“Kepada siapa bapak menjual kopi?” tanya
saya.
“Sama tengkulak,” jawab Pak Sarim.
Harga kopi yang baru petik dan yang sudah diolah kering lumayan jauh berbeda. Dan kebanyakan petani di sini sudah mengolahnya sebelum dijual.
“Di sini ada berapa tengkulak?”
“Ada enam.”
“Kalau begitu Bapak bisa tawar menawar biar
dapat harga tertinggi.”
“Sama saja. Tengkulak sekarang komunikasi
pakai handphone. Jadi ya harganya disamain.”
Peminat dan pencinta kopi semakin banyak
menyebabkan permintaan kopi meninggi namun harga beli pada para petani tidak
naik dalam dua tahun terakhir menurut pengakuan Pak Sarim.
“Alhamdulillah, Neng. Harga mah nggak naik.
Stabil aja untungnya.”
“Kalau biaya produksi naik nggak Pak?” tanya
saya.
Pak Sarim berpikir sebentar, “Naik,” jawab
beliau.
“Kalau begitu keuntungan Bapak berkurang,”
ucap saya. Saya mengembuskan napas panjang. Miris lagi.
Evi, Pak Sarim, dan Bapak penjaga hutan Gunung Lendong |
Usai bercakap dengan Pak Sarim, saya
mengelilingi rumah panggung dan menemukan alat pengolahan kopi tradisional.
Istri Pak Sarim yang ingin saya panggil Mamih menemani.
“Ini namanya liangan,” ucap Mamih sambil
menunjuk alat dari kayu yang berlubang di tengah. “Ini nutu.” Kayu panjang yang
ujung-ujungnya cembung. Mami menggunakan liangan dan nutu untuk menumbuk biji
kopi kering hingga halus dan siap minum.
Mamih menumbuk biji kopi memakai liangan dan nutu |
“Kalau tahu bakal ada tamu, Mamih numbuk
banyak. Maaf ya, Neng kopinya sedikit,” kata Mamih tulus.
“Enggak apa-apa Mih. Maaf ini saya jadi
repotin ya.”
Di tangga rumah panggung, Lutfi, rekan dari
Dinas sedang mengupas tebu dengan golok. Terampil benar dia. Katanya sudah
biasa di Lampung dulu, kampung halamannya. Lutfi memberi saya beberapa potong
tebu yang manis dan segar. Saya teringat masa kecil saya di Banjaran. Halaman rumah
saya luas di sana, ada tanaman tebu dan saya sekeluarga suka mengerogoti tebu
yang sudah dikupas.
Peserta dan panitia coffee tour makan bersama warga dan petani Desa Tanjungsari (foto Endriko) |
Panitia memanggil kami semua ke lapangan
untuk bersantap siang. Daun pisang menjadi alas makan. Nasi panas, waluh rebus,
timun, terong bulat, sambal, dan ikan asin kecil panjang menjadi teman perut
saya. Sambalnya pedas banget dan nikmat.
Peserta coffee tour berfoto di puncak Gunung Lendong (foto Endriko) |
Usai makan kami berfoto-foto hingga langit
mulai gelap. Hujan segera turun. Panitia dan peserta harus segera kembali ke
tempat parkir bus untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Sukamakmur. Saya
menghampiri Aila yang sedang bermain dengan kakaknya. Saya pamit pada Aila,
pada Pak Sarim, Mamih, dan keluarga lainnya. Mata polos Aila memerangkap saya
pada masa kanak-kanak, pada impian lugu. Sampai jumpa Aila, semoga hidup menjelma
kehangatan yang membawamu pada masa depan sesuai harapan.
Saya dan Pak Dedi kembali menyusuri jalan
berliku, curam, berlumpur, bebatuan, dan basah. Kami mengambil jalan
berkeliling, jalan yang lain. Lebih jauh memang namun lebih bersahabat. Hujan
menetes-netes ketika kami baru setengah jalan. Kami takmengacuhkannya terus
membelah perkebunan.
Hujan menderas setibanya saya dan Pak Dedi di
rumah warga. Segera saja kami melahap gorengan dan minum teh sambil menunggu
semua pihak berkumpul. Adzan magrib berkumandang. Selepas salat, kami
melanjutkan perjalanan ke Desa Sukamakmur.
Saya tertidur di bis sampai bis berhenti
karena kesulitan naik. Saat itulah saya baru sadar bahwa jalan yang kami lewati
sempit, gelap, dan curam. Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai
tujuan. Dari tempat parkir bis, kami harus berjalan kaki sekitar 500 meter
untuk sampai ke perkampungan warga.
Minuman panas, penganan, dan kehangatan warga
menyambut kami. Rumah warga yang kami tempati berhadapan dengan kolam ikan, ada
lapangan kecil, bale-bale, wc umum, dan masjid. Sebagian peserta mandi dan
sebagian lagi makan malam. Air dan udara di Desa Sukamakmur dingin dan sejuk.
Khas pegunungan. Nasi hangat, ikan goreng, ikan bumbu kuning, kerupuk, sayur
rebus, sambal, dan ayam goreng saya santap.
Peserta perempuan tidur di masjid dan peserta
laki-laki tidur di bale-bale. Satu per satu peserta pamit tidur. Hanya tersisa
saya dan suara lamat-lamat diskusi antara pihak Dinas dan warga dari rumah.
Saya duduk di lapangan, menyesap kopi arabika hasil Desa Sukamakmur sambil
berteman bulan yang hampir bulat sempurna. Dalam kepala saya berputar seperti
gangsing peristiwa demi peristiwa hari itu. Perkebunan, biji kopi, senyum Aila,
dan cerita dalam novel saya. Saya semakin bertekad untuk mengabarkan semua itu
walaupun dalam bentuk fiksi.
Baca juga Coffee Tour 2: Perkebunan Kopi Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Baca juga Coffee Tour 2: Perkebunan Kopi Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
seruuuu langsung terjun kekebun kopinyaaa
ReplyDeletepemkab ini perhatian ama petani ya mba
Ya ampuunn seru banget mbak jarang2 ada tur pembuatan kopi. Lucky you!
ReplyDeleteEviiii asik banget! Mau ikut coffee tour kalo ada lagi ah. Kopi teh enak banget tapi saya udah berenti minum kopi secara rutin. Tapi wanginya kopi teh enaaaak banget walo ga bisa minumnya. Istilah perkebunam dan kopi (juga Teh) buat saya mah seksi banget heuheu gak tau kenapa
ReplyDeleteasyik ya mbak bisa jalan2 sambil nambah ilmu dan aku baru tahu di sana ada kebun kopi
ReplyDeleteWaah seruuu jadi pengen nyobain kopinyaaah
ReplyDeletePadahal minuman kopi itu cocok untuk menghangatkan badan ya, tapi tumbuhnya justru di daerah dingin. Hehee apaaasih :D
ReplyDeleteDan baru tahu juga, baik biji kopi berwarna merah, kuning maupun hijau sama aja ya.
Wah kalau mau main ke sini gimana caranya ya?
ReplyDeletenice Mio Sporty Thailook style
ReplyDeleteNeng lam knl aku petani kopi baru ni,,mudah mudahan bisa seperti yg udah di kunjungi neng ,,aku bertani di pegunungan perbatasan lembang sama kabupaten subang neng...
ReplyDeleteHi Mba Evi, mau tanya, apakah mba ada kontak untuk pengurus Kebun Kopi ini?
ReplyDelete