Malam renungan AIDS nusantara |
Saya datang terlambat, sangat terlambat. Pandangan
mata saya tertumpu pada beragam manusia berderet di pinggir lapangan, sebelah
tangan mereka memegang lilin. Musik syahdu, cahaya temaram, wajah-wajah sendu, udara
malam menguar muram di taman Centrum, Bandung.
Saya datang terlambat, sangat terlambat.
Acara sudah mulai sejak pukul tiga sore. 100 quilt bertuliskan nama korban AIDS
karya tangan keluarga dan sahabat telah terbentang di lantai taman. Choir PSM
Maranatha menggetarkan lapangan, membawa kita terbang ke dimensi yang berbeda. Satu
persatu tangkai bunga diletakkan di atas quilt sebagai bukti solidaritas. Berlama-lama
mereka berdiri di hadapan quilt seolah mengunjungi pusara, tempat
peristirahatan terakhir.
Photo Booth/ selfie spot |
Saya datang terlambat, sangat terlambat. Orang-orang
berdempetan, saling menghangatkan. Bukan tubuh, melainkan jiwa-jiwa yang
merindu, yang kehilangan sosok-sosok keluarga tercinta. Malam itu, ratusan
manusia rela meluangkan waktu untuk merenung, mereka sebut ‘AIDS Candlelight
Memorial Night’. Adalah komunitas Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bernama Rumah
Cemara menggagas Malam Renungan AIDS Nusantara yang diperingati setiap bulan
Mei. Bersama para keluarga dan masyarakat yang datang dari berbagai wilayah
nusantara untuk mengenang orang-orang yang telah meninggalkan dunia akibat
penyakit AIDS.
Saya terlambat, sangat terlambat. Sebelum malam
ini, nama Rumah Cemara pernah mampir ke telinga namun saya tak tahu apa-apa.
Lalu saya mulai membaca sepak terjangnya. Tahun 2003, Rumah Cemara lahir karena
impian membentuk Indonesia tanpa diskriminasi terhadap orang dengan HIV/ AIDS
dan orang-orang yang menggunakan narkoba. Rumah Cemara berjuang untuk mengurangi
dampak buruk dari kecanduan narkoba, menyediakan perawatan, memberi dukungan secara
psikologis maupun sosial, dan memberikan pengobatan untuk orang dengan HIV /
AIDS. Dan yang paling mengagumkan, Rumah Cemara melibatkan masyarakat umum
dalam kegiatannya untuk mengurangi diskriminasi mereka terhadap orang dengan
HIV dan kecanduan narkoba. Bersama lebih baik daripada sendirian.
Membaca kata ‘diskriminasi’ mengingatkan pada
penyakit yang saya derita: TB usus. Mendengar kata TB, beberapa orang
langsung mengasumsikannya sebagai biang penyakit. Suatu hari, saya pernah
mengunjungi seorang teman yang terkena TB otak. Saya juga mendapat informasi
bahwa teman yang lain sakit TB paru. Teman saya yang terkena TB paru itu
berkata, “Yang berat itu bukan melawan penyakitnya atau menjalani
pengobatannya. Yang berat itu adalah pengucilan dari masyarakat sekitar.” Itu
baru TB yang obatnya telah ditemukan dan ada jaminan sembuh, apalagi jika
divonis mengidap AIDS. Tanpa sadar, diskriminasi dan pengucilan telah mendorong
pengidap penyakit semakin sakit.
Saya datang terlambat, sangat terlambat. Di penghujung
perhelatan, saya baru sampai. Kaki saya terpaku di tangga paling atas
menyaksikan ratusan manusia berpegangan tangan. Suara merdu Manik Laluna
memanggil Ginan Koesmayadi, salah satu founder
Rumah Cemara. Lelaki nyentrik itu maju ke depan, memimpin kami melafalkan doa.
“Tuhan, berikanlah kami kedamaian, untuk
menerima hal-hal yang tidak dapat kami ubah, keberanian untuk mengubah apa yang
dapat kami ubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.”
Quilt karya keluarga dan sahabat |
Saya datang terlambat, sangat terlambat. Selesai
mengucap doa, musik sendu melatari mereka yang saling berpelukan. Entah kenal,
entah tidak. Mereka telah dipersatukan oleh persamaan nasib dan rasa cinta.
Lagi-lagi saya dikhianati tubuh sendiri. Saya hanya diam meresapi haru dan disesaki
rasa malu. Saya datang dengan tangan hampa, tak ada setangkai bunga, tak ada pula
sebatang lilin. Ketika akhirnya mereka menepi, saya beranikan diri menelusuri
barisan quilt. Mata saya menjejaki nama-nama yang tertera pada quilt. Angin
dingin berembus di tengkuk saya seolah terompet kesadaran baru saja bertiup. Berapa
banyak lagi manusia tinggal nama akibat penyakit AIDS? Saya memang datang
terlambat, sangat terlambat. Namun saya belum terlambat untuk mulai peduli pada
para penderita HIV/ AIDS atau setidaknya tidak mendiskriminasikan mereka. Mungkin
dengan uluran tangan kita, angka kematian dapat ditekan.
Salut ya Vi, buat mereka yang sudah terkena vonis HIV atau AIDS tapi tetap semangat dan optimis.
ReplyDeleteIya salut. Salut juga buat keluarga dan lingkungan yang dukung mereka ^^
DeleteSemoga semakin hari semakin sedikit yang terserang HIV/AIDS
ReplyDeleteTerima kasih artikelnya
Salam hangat dari Jombang
Aamiin. Makasih Pakde :)
Deletedan diskriminasi adalah pembunuh yang seringkali lebih kejam dari penyakit itu sendiri...semoga kita bisa lebih baik dalam mengaddress isu ini ke depannya..
ReplyDeleteSepakat, Mbak =(
DeleteMemang lebih berat melawan pandangan orang lain Mbak dibanding melawan penyakitnya itu sendiri.
ReplyDeleteIya begitulah, Mas =(
DeleteTerharu saya bacanya. Jangan hakimi mereka. Mari kita merangkul bersama
ReplyDeleteMakasih, Mbak. Ayo rangkul mereka :)
Deleteiya stigma negatif harus ditanggung penderita padahal belum tentu mereka penyebab mereka sakit .Perlu banyak edukasi pada masarakat
ReplyDeleteSemoga perjuangan mengedukasi tersebut berbuah manis :)
Delete