Pernahkah kamu terbangun pada malam hari dan
entah kenapa merasa gelisah, dan akhirnya kamu terjaga sampai pagi? Atau
pernahkah kamu terbangun di pagi hari dengan perasaan kosong, lalu kamu
menyadari bahwa setiap hari hanya pengulangan seolah semuanya tak berarti?
Sudah dua bulan ini, setiap malam dan pagi
hari, perasaan saya persis seperti itu. Saya mencoba-coba mencari akar
permasalahannya apa? Apa yang menyebabkan saya merasa kurang bahagia, kurang
bersyukurkah? Kurang jalan-jalan? Kurang bersosialisasi? Kurang apa?
Pada bulan Mei, saya memutuskan untuk membaca
buku yang dapat menyegarkan otak saya. Biasanya ketika saya merasa begini, saya
akan mengambil buku karya Paulo Coelho yang syarat akan renungan. Pilihan saya
tepat, dalam buku yang berjudul “Selingkuh” tersebut, Paulo menceritakan
tentang perempuan yang secara kasat mata bisa dibilang sempurna, namun dia
merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Suatu hari, dia bertemu dengan penulis
yang berkata, “Aku sama sekali tidak berminat menjadi bahagia. Aku memilih
hidup dengan penuh gairah, yang tentu saja berbahaya karena kita tak pernah
tahu apa yang akan terjadi berikutnya.” Kalimat tersebut menyadarkan saya bahwa
saya sedang didera penyakit bosan.
Saya pikir semua orang pernah merasa bosan.
Ada yang bisa menyikapinya dengan bijak, ada yang tidak. Saya barangkali
termasuk golongan kedua. Rasa bosan telah membunuh saya perlahan-lahan. Saya
tahu ada yang kurang beres dalam hidup saya.
Seorang teman berbaik hati mengajak saya
melakukan perjalanan pendek dan berlibur di rumahnya, di Tanjung Sari, Sumedang. Tak berpikir panjang,
saya mengiyakan.
Jika saya bisa menaiki mesin waktu, saya akan
memilih kembali ke masa SMA. Ke masa polos dan hidup begitu sederhana. Atas dasar
pertimbangan tersebut, saya mengajak sahabat-sahabat saya di SMA untuk
menikmati liburan kali ini. Siapa tahu dengan bersama mereka aura kepolosan dan
kebahagiaan sederhana tersebut dapat tercipta kembali. Karena setiap kali saya
berkumpul dengan mereka, tanpa sadar perilaku saya kembali seperti remaja.
Sayang sekali, sahabat-sahabat saya sudah
punya rencana masing-masing. Maka dengan sedikit sedih, saya tetap melanjutkan
rencana liburan dengan sahabat-sahabat saya yang lain, mereka adalah yaitu Leni
(salah satunya sahabat SMA), Teh Besti dan Dede (yang empunya rumah), Alva
(sahabat kuliah), Isna, dan pada hari minggu, Miko keponakan Teh Besti, bergabung
bersama kami.
Kecuali Teh Besti dan Dede, kami berangat
sehabis isya. Jalanan cukup padat karena waktu itu sabtu malam, menyebabkan
kami menghabiskan waktu tiga jam lebih dalam perjalanan. Kami mengobrol ringan
seputar pekerjaan, keadaan dalam negeri, sampai video musik lucu.
Sesampainya di Tanjung Sari, kami
beristirahat sejenak sambil menikmati taman rumah yang indah. Perut kami lapar,
sangat lapar. Saya berinsiatif memasak, tak berapa lama, Teh Besti dan Lenny
bergabung bersama saya di dapur. Kami berbagi tugas memasak, saya memasak nasi
memakai rice cooker, tahu goreng dan
sayur asem, Lenny memasak pizza mie, tempe goreng, dan sambal, Teh Besti
menyiapkan teh manis hangat. Di bale-bale yang dihadapannya terhampar lapangan
kecil berumput, kami menikmati penganan. Mungkin karena perut melilit-lilit,
masakan tersebut selezat makanan restoran. Barangkali kebersamaan meningkatkan
selera makan kami.
Bintang-bintang bertaburan di langit. Segelas
teh manis menjadi penghangat di tengah udara dingin mengigit. Taman menjadi
pilihan terakhir kami untuk bercengkerama. Suara kami bersahut-sahutan dengan
binatang malam dan desiran angin yang menyapu pepohonan bambu menciptakan
nada-nada yang ritmis. Hingga pukul tiga pagi, kami pamit tidur.
Terbangun pagi-pagi dengan perasaan lebih
baik dan segar. Ternyata yang lain sudah beraktivitas menikmati sapuan
matahari. Saya cukup terlambat, cahaya matahari mulai terasa membakar untuk
berjemur. Dengan cahaya pagi itulah, kami memutuskan untuk mengadakan sesi
foto. Apalah kami ini, hanya ingin mengabadikan moment agar lebih kekinian :D
Di bawah pohon rindang |
Siang menjelang, perut kami kembali
bernyanyi. Kami bertiga kembali memasak. Kali ini menu masakan lebih beragam,
ada perkedel kornet, capcay, telor orak-arik, mie goreng, kerupuk, sambal
kecap, dan nasi. Undakan taman tertinggi menjadi pilihan kami siang itu. Dari
sana, gunung Geulis menyebarkan pesonanya. Gunung Geulis tampak semakin bungkuk, seperti nenek tua yang berceloteh tanpa henti tentang masa kejayaannya, namun tak ada seorang pun tertarik mendengarnya. Ah, saya ingat, beberapa tahun silam
pernah mendaki bukit tersebut sampai puncak. Tiba-tiba saya merasa setua gunung Geulis, di antara kami telah terjalin saling pengertian. Kami bertatapan mesra, seperti dua sahabat saling merindu. Kami renta dimakan usia. Menjadi ciut dan penakut.
Saung di undakan paling tinggi |
Paduan antara rasa kenyang dan angin semilir
membuat seluruh anggota piknik sederhana ingin memperpanjang masa leha-leha. Di saung atas itu, teman-teman
tertidur sesaat. Saya ingin sekali bergabung, namun hipnotis gunung Geulis
terlalu kuat, dia ingin saya tak melepaskan pandangan. Sesekali saya mencuri
lihat sahabat-sahabat saya. Merasa bahagia mereka tetap ada di sisi saya meski waktu yang panjang tak selalu membuat kami bergenggaman tangan.
Saya tahu, waktu tak akan bisa kembali, waktu hanyalah jalan dan jurang di sisi lainnya. Waktu seolah cepat berlalu, membawa para sahabat pergi atau kembali. Waktu membuat tubuh dan pikiran kami tak sama lagi. Ah, saya sadar sekarang, kenapa saya merasa begitu mirip gunung Geulis. Saya telah mengungkung diri saya dengan rutinitas. Lebih tepatnya, saya telah bersembunyi dalam kedinamisan hidup justru karena merasa telah nyaman. Saya lupa ada makhluk bernama tantangan. Saya terlalu cemas untuk mencicipi tantangan-tantangan hidup. Saya lebih suka diam memerhatikan dinamika hidup, layaknya gunung Geulis. Dalam hidup saya yang begitu singkat, saya tak boleh merasa bosan. Waktu tak peduli, saya nikmati atau kutuki, waktu hanya tahu berotasi. Saya hanya perlu mengambil jarak pada rutinitas. Rutinitas yang serupa penjara, rutinitas sedikit demi sedikit mengerdilkan saya. Nikmati hidupmu! Begitu tegur saya dalam hati.
Saya tahu, waktu tak akan bisa kembali, waktu hanyalah jalan dan jurang di sisi lainnya. Waktu seolah cepat berlalu, membawa para sahabat pergi atau kembali. Waktu membuat tubuh dan pikiran kami tak sama lagi. Ah, saya sadar sekarang, kenapa saya merasa begitu mirip gunung Geulis. Saya telah mengungkung diri saya dengan rutinitas. Lebih tepatnya, saya telah bersembunyi dalam kedinamisan hidup justru karena merasa telah nyaman. Saya lupa ada makhluk bernama tantangan. Saya terlalu cemas untuk mencicipi tantangan-tantangan hidup. Saya lebih suka diam memerhatikan dinamika hidup, layaknya gunung Geulis. Dalam hidup saya yang begitu singkat, saya tak boleh merasa bosan. Waktu tak peduli, saya nikmati atau kutuki, waktu hanya tahu berotasi. Saya hanya perlu mengambil jarak pada rutinitas. Rutinitas yang serupa penjara, rutinitas sedikit demi sedikit mengerdilkan saya. Nikmati hidupmu! Begitu tegur saya dalam hati.
Matahari telah tenggelam, adzan magrib sudah
berkumandang, dan gunung Geulis hilang ditelan malam. Kami pulang dengan
rasa yang baru. Rasa yang timbul karena piknik sederhana ke Tanjung Sari. Terima kasih, bisik saya pada Tuhan.
Rumahnya keren sekali >.< Buku Selingkuhku masih nangkring ditumpukan, belum tersentuh
ReplyDeleteKebun kecilnya itu yang keren ^^b | Ayo segera dibaca, Mbak Dweedy buku Selingkuhnya
DeleteKeren sekali foto-fotonya. Ceritanya juga menarik. Sayang bukan tempat untuk umum. Jadi pengen ngerasain jalan-jalan di sana juga.
ReplyDeleteKalau mau nyobain ke sana, nanti Evi kasih no kontaknya ke Acha ^_^
DeleteJadi pingin kesitu :)
ReplyDeleteMakasih ya sudah cerita begitu lengkap.
Ayo bareng-bareng ke sana. Sama-sama, Mbak. Makasih juga udah mampir ^_^
Deleteduh bertahun-tahun tinggal di bogor ke gunung geulis cuma numpang lewat doank...ga tahu tempat itu
ReplyDeleteIni mah di Jatinangor, Teh ^_^
DeleteSaya juga kadang2 bermasalah dengan rasa "bosan" dan mengingat kalau di masa2 lalu, kita rasanya lebih ceria, lebih tanpa beban ... tulisannya menarik Vi .. memang seharusnya kita lebih merenung untuk menjalani hidup dengan lebih berkualitas
ReplyDeleteMakasih Mbak Mugniar. Semoga kita bisa tetap ceria dan memberi kualitas pada hidup kita ^_^
DeleteJadi pingin mampir kesitu :)
ReplyDeleteYuk, Mbak Vivera ^_^
Delete