Apakah sebuah film harus mengikuti momentum tertentu seperti hari raya
besar agama tertentu, hari kemerdekaan, tahun baru, dan sebagainya, atau sebuah
film harus bisa membuat momentum sendiri? Sah-sah saja memilih salah satu di antaranya seperti film La Tahzan ini.
La Tahzan adalah film yang
diangkat dari salah satu cerpen dalam buku La Tahzan for Students, berjudul asli Orenji atau sebutan untuk buah jeruk
dalam bahasa Jepang. Sebenarnya judul itu lebih pas ketimbang La Tahzan.
Kenapa? Karena filosofi La Tahzan sendiri hampir enggak ada dalam film. Kalau
filosofi Orenji, setidaknya tersurat
dalam dialog quotable yang diucapkan
salah satu tokohnya. Tapi apa mau dikata, judul La Tahzan lebih bersinergis
dengan movie trailers-nya yang makin
menipu penonton.
Jadi ini dia kesalahan trailer film La Tahzan; pertama, memberi
kesan film ini relijius dalam artian perjalanan seorang cowok yang memasuki
suatu agama. Ikon-ikon yang muncul seperti bagunan mesjid, kerudung, peci dan
buku panduan shalat mengabsahkannya. Kedua, memberi kesan kalau pemeran utama
cowoknya adalah Joe Taslim, padahal cowok ini muncul setelah belasan menit film
dimulai. Bikin saya gemes sendiri dan mikir, “Ini Joe Taslimnya mana?”
Fokus film terus melompat-lompat dari friend zone ke impian ke cinta beda agama dan terakhir nasionalisme.Ini cerita mau dibawa ke mana sih? La Tahzan juga ditaburi plot hole
di sana-sini. Plot hole ini melemahkan
karakter ketiga tokoh utamanya. Cerita yang kuat dimulai dari tujuan besar
karakter utama disusul dengan cobaan-cobaan dalam menggapainya. Nah tujuan
besar tokoh utamanya apa ya?
Over
all,
film La Tahzan cukup menghibur, one of my
guilty pleasure movies. Anggap saja saya sedang belanja makanan di
supermarket terus tergoda baju diskon, eh, melirik kosmetik juga.
Baca selengkapnya review film La Tahzan.
ya so so deh film ini, lumayan daripada lumanyun hehe
ReplyDeleteIya :)
Deletesetuju vi.. filmmakernya masih "kabur" mau bicara apa..
ReplyDeleteFilm itu memang harus dikuatkan dari cerita ya, selain teknis tentunya.
Deletetema yang diangkat lebih ke (dan pastinya) pemenuhan selera pasar. Kalau infotainment bisa mengangkat berita artis2nya yang mualaf menjadi komoditi maka dunia perfilman negri ini tidak mau kalah untuk bisa turut mengambil celah..:)
ReplyDeleteSebenarnya mengikuti selera pasar itu sah saja jika diikuti dengan eksekusi yang baik ^^
Deletebelum sempat nonton...tapi kesalahannya bikin penasaran mau nonton haha
ReplyDeleteAyo tonton :)
Delete1* buat nonton film ini.
ReplyDelete0,25* buat plot
0,25* buat setting di Osaka, Jepang
0,5* buat si kokoh ganteng Joe Taslim
Karakter pemain yg datar, gaya bicara yang dibuat buat dan paling enggak masuk akal dari semuanya itu ending yg kesannya maksa banged!
Ah. Aku enggak tahu apakah novelnya seperti ini atau enggaj karena kalau dilihat di goodread, banyak yg kasih 5*
Aku juga belum baca novelnya :D
DeleteFilm yang datar, dan gak ada emosinya sama sekali. Sayang banget dengan cast yang keren2 tapi hasil akhirnya gak memuaskan.
ReplyDeleteMenurutku ada emosinya, cuma dengan cerita nggak fokus itu aktingnya jadi terbuang.
Delete