Cafepreneurship
5758 Coffee Lab: Yakin Mau Bisnis Kopi? - Saya masih ingat
betul kapan gagasan membuat kedai kopi pertama kali mampir di kepala saya.
Waktu itu pertengahan tahun 2003, saya dan dua sahabat—Tiffany dan Lenny—mampir
ke Dakken di Jl. R.E. Martadinata. Entah apa yang kami rayakan mengapa bisa
datang ke restoran yang menurut saya cukup mewah? Atau kami hanya sekadar
menghibur hati menjelang ujian nasional SMA, penentuan kami bisa lanjut kuliah
atau enggak. Tentu saja saya ditraktir Tiffany karena bekal harian saya toh,
enggak bisa membeli bahkan secangkir kopi di sana.
Cafepreneurship 5758 Coffee Lab: Yakin Mau Bisnis Kopi? |
Secangkir kopi durian saya pesan. Dua hal
yang saya sukai yaitu kopi dan durian digabungkan. Rasanya cukup klop ternyata.
Sambil menikmati kopi dan camilan masing-masing, obrolan kami bergulir pada
impian di masa depan. Impian saya mendirikan perpustakaan yang bersatu dengan
kedai kopi, boleh juga digabung dengan butik. Yang ada di otak saya waktu itu
adalah saya sangat suka membaca dan ingin jadi penulis jadi wajarlah sebuah
perpustakaan berdiri. Lalu kenikmatan membaca atau berdiskusi di perpustakaan
akan lebih sempurna bila ada secangkir kopi. Kalau terpikir butik itu hanya
alasan ekonomi bahwa perpustakaan akan sulit menghidupi dirinya sendiri. Di
sisi lain, gagasan membuat kedai cokelat juga muncul ke permukaan. Alasannya
sederhana, karena Eva kembaran saya lebih suka cokelat ketimbang kopi.
Gagasan membuat kedai kopi atau cokelat itu
mengendap bersama realita kehidupan. Sampai suatu ketika di tahun 2005, saya
sedang gandrung-gandrungnya menghadiri acara sastra di toko buku-toko buku
alternatif di Bandung. Saya kemudian menyadari bahwa tempat-tempat tersebut
menyandingkan toko – perpustakaan – ruang diskusi – kedai kopi sederhana. Barang
tentu bukan kopi-kopi yang sekarang sedang marak di Indonesia. Kopinya kopi sachet, yang kopinya proper mungkin hanya di Reading Light dan Rumah Buku. Waw,
inilah wujud nyata impian saya tapi saya memiliki ide berbeda untuk konsep ruangan
dan suasananya.
Tahun berganti tahun, dan impian mempunya
kedai kopi menguap seiring waktu. Tahun 2013 adalah tahun ajaib yang
mengembalikan impian tersebut. Tonggak pertama saya menulis novel tentang kopi.
Saya makin sering hilir mudik ke berbagai coffee
shop di Bandung. Betapa puluhan kedai kopi berdiri dan tumbang dalam waktu
singkat. Ngeri? Iya! Seru? Apalagi!
Begitu banyak orang lintas generasi antusias
terhadap kopi. Kegairahan itu nampak dengan tumbuhnya kedai-kedai kopi di tubuh
Nusantara bak cendawan menyelimuti pohon. Sekolah-sekolah kopi lahir, nggak
jarang kedai kopi membuat short course
tentang kopi. Banyaknya seputar penyajian kopi sementara keilmuan manajemen
kedai hampir nggak tersentuh.
Suasana kelas Cafepreneurship 5758 Coffee Lab |
5758 Coffee Lab secara jeli menjawab kebutuhan
manajemen khusus kedai kopi. Lewat kelas Cafepreneurship, 5758 Coffee Lab
mengajak orang-orang untuk belajar, praktik langsung, dan kembali merenungi,
“Yakin mau bikin bisnis kopi?” Ya, di balik bisnis menggiurkan tersimpan risiko
yang besar. Dan risiko tersebut mengabur ketika kita nggak sungguh-sungguh
memahami esensi bisnisnya. Senangnya saya bisa ikut kelas Cafepreneurship yang
diadakan perdana pada tanggal 8 - 10 Februari 2019.
Suasana kelas Cafepreneurship 5758 Coffee Lab |
Workshop Cafepreneurship selama tiga hari
tersebut sangat padat berisi. Di kelas inilah saya melihat semua instruktur
5758 Coffee Lab mengajar di kelas. Seperti biasa, suasana kelas terasa cair,
penuh semangat, dan menyenangkan.
Apa
itu Cafepreneurship?
Cafepreneurship secara sederhana terdiri dari
dua suku kata yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu café dan entrepreneurship.
Secara harafiah cafepreneurship
adalah ilmu yang mempelajari bisnis kafe, dalam hal ini bisnis kedai kopi.
Mas Andi K. Yuwono memaparkan menariknya
sebuah kedai kopi terletak pada identitas dan experience. Meski internet sudah mewabah nggak lantas mengalahkan
keinginan manusia untuk mengalami sesuatu. Pengalaman mencicip kopi atau
makanan, berinteraksi sosial, dsb. Sebuah kedai merupakan ruang terbuka di mana
semua orang dapat berekspresi. Para filusuf atau pemikir lahir di kedai kopi.
Teori-teori yang sampai sekarang kita pakai, sastra-sastra yang sampai sekarang
kita baca, pemikiran-pemikiran yang menyebabkan revolusi di seluruh dunia banyak
tercipta di kedai kopi. Pertemuan-pertemuan legal maupun ilegal dilakukan di
kedai kopi. Coffee shop as a bliss but so
many things behind that, quotes yang diucapkan Mas Andi yang berhasil
bercokol di benak saya.
Para peserta menyimak Mas Andi tentang seduh manual kopi |
Sebelum terjun berbisnis kedai kopi mesti
dapat membaca fenomena, data, dan informasi. Kita harus tahu tren di bidang
kopi, kondisi ekonomi dan politik, tren lifestyle,
konsumsi kopi per kapita di suatu daerah atau negara, dan kebijakan pemerintah.
Semua itu sangat mempengaruhi kehidupan bisnis kedai kopi.
Para peserta menyimak instruktur Gilang Arief tentang mesin espresso |
Belum lagi kita mesti mempelajari modal intelektual,
material, mental, dan sosial. Sebagai wirausahawan kita nggak ubahnya sebagai
pilot untuk bisnis kita, wajar bila kita mesti menguasai semua itu. Jangan
sampai kita nggak tahu seluk-beluk dan produk yang mau kita jual. Bagaimana
bisa merancang bisnisnya?
Gilang Arief memandu praktik penggunaan mesin espresso |
Salah satu cara untuk mengetahui modal-modal
yang kita punya bisa menggunakan metode analisis SWOT. Yang nggak kalah penting
adalah visi. Apakah kita dalam membuat kedai kopi mengejar result atau impact? Waduh
rasanya kejauhan kalau mikirin dampak atau pengaruh. Optimis, dong! Minimal
dampak yang ingin kita bagikan adalah kebahagiaan pelanggan saat mencicipi
kopi. Cukup rumit, ya? Yakin mau bisnis kopi?
Mas Cahyo sedang praktik menggunakan mesin espresso |
Mengenal
Bisnis Kopi dari Hulu ke Hilir
Coba sebutkan profesi-profesi apa saja yang
menyangkut bisnis kopi? Petani, barista, tengkulak, Q Grader, roaster, dsb. Pada intinya menurut Mas Adi W.
Taroepratjeka profesi itu dibagi menjadi tiga kategori: hulu, madya, dan hilir.
Kedai kopi termasuk ke dalam kategori hilir. Dan setiap orang nggak bisa
mengerjakan semuanya. Kita harus memilih.
Mas Adi memaparkan materi bisnis kopi dari hulu ke hilir |
Persoalannya sekarang, saking ketatnya
persaingan bisnis kedai kopi, setiap pihak berlomba-lomba untuk membuat
keunikan dan mencari keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Namun jalan yang
dipilih adalah lintas profesi. Petani jadi roaster,
roaster jadi tengkulak, barista jadi roaster. Kedai kopi ingin mempunyai
bisnis dari hilir ke hulu, petani ingin punya bisnis dari hulu ke hilir.
Profesi jadi tumpang tindih yang menyebabkan kebingungan yang dirasakan oleh
pelakunya sendiri. Kalau kata orang Sunda mah
ngarawu ku siku. Ingin segala dikuasai namun akhirnya semua berantakan.
Margo mempresentasikan apa saya yang dibutuhkan untuk membuat kedai kopi |
Memiliki bisnis secara menyeluruh dari hulu
ke hilir seperti sebuah jebakan yang memabukkan. Ingat bahwa setiap bidang
punya risiko dan menimbulkan kebutuhan modal baru sebelum akhirnya untung.
Mending kalau manajemennya benar kita akan merasakan untung, kalau nggak?
Siap-siap saja buat rugi yang berimbas pada bisnis sebelumnya.
Mas Giman mempresentasikan apa saya yang dibutuhkan untuk membuat kedai kopi |
Mas Adi menyarankan sebelum terjun ke bisnis
kopi kita harus mengetahui apa yang kita inginkan? Jangan jadi general, jadilah
expert. Saya teringat nasihat Ayah
saat saya senang-senangnya mencoba ini itu.
“Ayah lihat Evi segala bisa tapi bisanya
sedikit. Evi tuh, mau jadi dokter umum atau jadi dokter spesialis? Kalau kata
Ayah enakan jadi dokter spesialis, bayarannya lebih besar.”
Ayah mengucapkan itu sambil bercanda tapi
saya tahu Ayah sedang menegur saya. Sejak itu saya merenungkan ucapan Ayah dan
memilih menjadi expert di satu bidang
ketimbang general.
Kelas
Praktik Kedai Kopi
Kelas praktik kedai kopi terdiri dari praktik
dengan mesin espresso dan seduh manual yang gawangi oleh Gilang Arief dan Sandy
Septian. Tujuan praktik kedai kopi ini sebetulnya agar para peserta merasakan
terjun ke kedai kopi.
Sesi praktik seduh manual kopi bersama Sandy Septian dan Mas Andi |
Dari praktik ini saya bisa membuat daftar alat-alat kopi
yang sejalan dengan konsep dan permodalan ketika kelak membuat kedai. Saya nggak
bisa keras kepala ingin membuat kedai yang ada mesin espresso Lamarzoko yang
harganya puluhan juta padahal kemampuan saya minim. Saya selalu percaya kreativitas
tercipta oleh keterbatasan dan boleh jadi kreativitas itu menciptakan inovasi
yang justru nggak bakal terpikir ketika punya modal kapital besar.
Evi sedang praktik menggunakan mesin espresso |
Belajar
Manajemen Keuangan Kedai Kopi
Hari ketiga adalah hari yang bikin kepala
saya berdenyut-denyut. Maklum kalau berhubungan dengan soal manajemen keuangan otak
saya suka mogok kerja. Secara saya ini dulunya anak IPS yang tiap minggu
belajar akuntansi tapi ilmunya nggak nempel sama sekali. Saya gagal, gaes, gagal! Hiks.
Mas Gregorius Tjaidjadi memberi materi manajemen keuangan kedai kopi |
Seharian itu seluruh peserta mempelajari
laporan keuangan, pendapatan dan biaya, HPP dagang, dan HPP manufaktur dipandu
oleh Mas Gregorius Tjaidjadi. Setiap sesi diiringi praktikum. Kami diberi studi
kasus menghitung laba rugi, menyusun permodalan kedai kopi, dan gimana caranya
biar kedai kopi untung. Kepikiran kalau saya jadi bikin kedai kopi yang pertama
saya lakukan adalah merekrut akuntan ha ha ha. Males banget sih, Vi ngitung. :(
Azra dan Margo sedang mengerjakan studi kasus manajemen keuangan |
Sesi ini kembali mempertanyakan pada seluruh
peserta, motivasi mendirikan kedai kopi. Ada yang karena passion, ada yang karena mencari keuntungan. Kok kesannya kalau passion nggak boleh mencari keuntungan?
Mas Rius meluruskan bahwa konsep besar usaha kopi adalah passion and business bukan passion
vs business.
Gorbi mengerjakan soal praktikum manajemen keuangan |
Mbak Mia Laksmi memaparkan proyeksi
pembiayaan kedai kopi berdasarkan peralatan yang digunakan. Rumusnya sederhana
yaitu:
Keuntungan = pendapatan - pengeluaran – investasi.
Otak saya mencapai pengerucutan paling
maksimal di sesi ini. Tinggal sebiji kopi, itu juga yang peaberry. Huhuhu.
Mbak Mia Lakshmi memberi materi proyeksi pembiayaan kedai kopi |
Yakin
Mau Bisnis Kopi?
Perkembangan bisnis kopi di Indonesia memang
menggiurkan. Tiap lihat kedai kopi yang ramai yang terbayang cuan gede. Atau ingin menyalurkan passion, hobi, dan kayaknya asyik saja
punya kedai. Buat konsepnya tinggal nyontek saja ke sebelah, nggak usah
capek-capek mikir.
Sesi sharing tentang bisnis kopi bersama Mas Rius, Mas Andi, Mas Adi, dan Mbak Mia |
Gaes, setelah
ikut kelas Cafepreneurship 5758 Coffee Lab mata saya terbuka, ternyata bisnis
kedai kopi nggak seindah kelihatannya. Butuh fokus luar biasa. Kalau kata Mas
Adi sih, siap siaga 7x24 jam. Jangan-jangan bobo juga mikir? Itu pun, belum
tentu untung. Kalau kamu cuma nyontek konsep ke sebelah, dijamin dalam waktu
sebentar kamu bakal gulung tikar. Ya, namanya juga bisnis mesti kreatif dan
inovatif, dong. Pertanyaannya balik lagi, yakin mau bisnis kopi?
5758 Coffee Lab
Rusa Pinus Raya E1-D
Jl. Pinus Raya Barat, Kompleks Pondok Hijau
Indah
Gegerkalong, Bandung
IG: @5758coffeelab
Jadwal kelas, informasi biaya, dan
pendaftaran:
0822-5533-5758 (WA Messenger only, no phone)
Mbak Evi, boleh share tulisannya ttg cafepreneurship? Saya jg lg belajar mengembangkan kedai kopi.
ReplyDeleteSalam,
Abdullah
Silakan, Mas. Terima kasih ya :). Semoga sukses kedai kopinya.
DeletePertama kali tertarik mampir ke tulisan Teteh, bukan karena Acha doyan kopi (Acha cokelat dan susu lover), tapi dari judulnya, bakalan bahas manajemen bisnis nih.
ReplyDeleteEh sampai kalimat si ayahnya Teteh, jleb langsung. Iya ya. Enakan jadi dokter spesialis daripada dokter umum.
Acha dari dulu tergoda punya bisnis aksesoris. Dan ngurusin urusan manajemennya aja teu pararuguh. Pun disambi nulis.
Sepertinya kuharus memilih ini.
Wuih lengkap banget materi kelasnya ya... Tapi saya mah penasaran sama buku tentang kopinya, hihi...
ReplyDeleteMemang untuk buka usaha mesti tahu juga ilmunya ya teh, aku baru tahu ada cafepreneurship ini keren sekali ulasannya. Sebagai orang yang punya usaha memang bikin usaha itu bikin deg2an semoga dengan adanya kelas2 begini nambah ilmu buat yang ingin buka usaha khususnya kedai kopi..
ReplyDeletebtw aku penasaran kopi sama durian kayaknya enak ya teh pantesan jadi favorit
Reading light tutup ya? Saya kangen masal tea nya emang pricey tapi enak banget btw suami pengen bisnis kopi juga nih makasih teh infonya yah
ReplyDeletegak cukup cuma punya modal material aja ternyata ya Teh buat buka usaha, tapi dibutuhin kesiapan mental plus ilmu di segala bidang. Materi yang dijelasin di cafepreneurship juga lengkap pisan ya.
ReplyDeleteKopi sekarang udah jadi lifestyle ya Teh makanya perlu diseriusin bener-bener
ReplyDeletekopi benar benar suatu usaha yang menarik untuk dicoba ya teh
ReplyDeleteBisnis kopi cukup menjanjikan saat ini. Seringnya sebuah toko nyatu dengan kedai kopi dan baristanya. Seruu ya. Wah bener jadilah expert. Sehingga kita bisa fokus ya teh.
ReplyDeletelengkap sekali penjelasannya, teh. cocok banget untuk yang ingin bikin usaha kopi :)
ReplyDeletebener banget teh evi...
ReplyDeleteDi Bandung banyak banget kedai dan kafe kopi yang tumbuh dan juga hilang begitu saja. ada beberapa kafe yang ilang sebelum sempet dikunjungi. sedih kalau dipikir-pikir :D
Acaranya sungguh luar biasa yaa, teh...
ReplyDeleteTernyata gak semudah itu mendirikan usaha.
Aku nonton youtube nya, kece banget...teh.
Jadi tahu sedikit mengenai acara Cafepreneurship 5758 Coffee Lab.
Punya coffeshop jangan lupa lakukan pembukuan. Bisa cek aplikasi pembukuan di https://abckotaraya.id/.
ReplyDelete