Pertanyaan-pertanyaan Seputar Sastra yang Menggelisahkan

Talkshow Pekan Sastra Komhuk UNPAS HMI dengan tema 'Mengarungi Samudera Sastra di Era Milenial'
Talkshow Pekan Sastra Komhuk UNPAS HMI dengan tema 'Mengarungi Samudera Sastra di Era Milenial'

Dinamika pemikiran anak muda umumnya pada zaman sekarang selalu menarik perhatian saya. Entah itu yang masih duduk di bangku SMA ataupun yang tengah bergelut dengan dunia mahasiswa. Maka ketika seorang mahasiswa dari Komhuk UNPAS bernama Rama menghubungi saya untuk menjadi pembicara di acara talkshow pekan sastra yang diadakan oleh Himpunan Mahassiswa Islam (HMI) saya langsung tertarik apalagi tema yang diusung adalah mengarungi samudera sastra di era milenial.

Ada tiga orang lagi yang berlaku sebagai pembicara yaitu Julian Kaisar dan Denis Ligia dari Juicy Luicy, sebuah band yang tengah digandrungi anak muda, dan Triwardana Mokogow, seorang penulis. Mulky Mukramyn Bangsawan bertindak sebagai moderator. Kemudian dilanjutkan seminar "Pelecehan Perempuan dan Penanggulangan secara Hukum" pada sore harinya.

Talkshow Pekan Sastra Komhuk UNPAS HMI dengan tema 'Mengarungi Samudera Sastra di Era Milenial'
Talkshow Pekan Sastra Komhuk UNPAS HMI dengan tema 'Mengarungi Samudera Sastra di Era Milenial'

Acara mulai pada pukul sepuluh pagi. Mahasiwa yang hadir barangkali sekitar 20-25 orang saja. Saya pikir jumlah tersebut cukup baik mengingat sejak dulu acara talkshow atau seminar memang kurang diminati. Menurut pengamatan saya, peserta yang hadir sangat tertarik dengan kedatangan Juicy Luicy ketimbang membicarakan sastra. Sebuah strategi yang efektif dari Komhuk UNPAS HMI.

Mulky sebagai moderator mencoba membagi tema antara musik dan sastra agar berimbang. Saya menyimak pemaparan atau bisa disebut sebagai cerita singkat proses kreatif pembuatan lagu Juicy Luicy, tantangan apa saja yang mereka hadapi di dunia musik termasuk bahaya pembajakan. Denis yang biasanya menciptakan lagu. Ia mengaku seluruh inspirasi lagunya berasal dari pengalaman pribadi, di luar itu ia tak bisa menganyamnya sebagai sebuah lantunan. Sebetulnya problem seperti itu dialami juga oleh penulis termasuk saya. Bertahun lalu saya pun selalu membuat karya dari pengalaman pribadi. Seiring berjalannya waktu, saya dapat membuat karya dari pengalaman orang lain, dari murni imajinasi, dan dari peristiwa yang terjadi di sekitar.

Yang menarik adalah pemaparan dari Triwardana yang menyebut-nyebut kecerdasan artifisial seperti robot yang bisa membuat musik, lagu, lukisan, bahkan novel. Sesuatu yang saya pikir tak dapat dilakukan oleh robot karena semua itu diolah oleh ‘rasa’. Triwardana sendiri tidak memberi bocoran mengapa hal tersebut dapat terjadi namun sekilas saya berasumsi bahwa seni juga erat kaitannya dengan matematika sehingga tentu saja bisa dikerjakan oleh robot. Baiklah itu peer yang saya harus cari tahu kebenarannya.

Sebelum saya menghadiri talkshow, saya sudah menyiapkan artikel singkat untuk saya jabarkan. Berikut artikelnya Mengarungi Samudera Milenial dengan Sastra.

Pertanyaan-pertanyaan Seputar Sastra yang Menggelisahkan
Sesi berikutnya melibatkan audiens untuk bertanya. Ada sekitar tiga orang yang nampak mengacungkan tangan dengan kurang yakin. Saya tidak dapat mengingat semua pertanyaan namun inilah pertanyaan-pertanyaan seputar sastra yang menggelisahkan saya:

Pertama, apakah seorang penulis harus membuat sebuah karya berbentuk buku atau tidak? Kedua, bagaimana seorang kreator menyikapi pembajakan? Ketiga, seseorang tidak perlu membaca untuk mencapai sukses cukup melakoni dan bekerja dengan giat. Lalu apa fungsinya membaca jika kita tetap bisa sukses tanpa membaca? Ketiga pembicara yang lain menjawab dengan perspektif masing-masing tapi tidak akan saya tuliskan di sini sebab saya takut alpa.

Untuk menjawab pertanyaan pertama yaitu “Apakah seorang penulis harus membuat sebuah karya berbentuk buku atau tidak?” saya bertanya pada para peserta. Siapakah di sini yang membaca buku? Sekitar 10% saja yang menjawab ya, begitupun ketika saya bertanya siapakah yang membaca e-book. Namun begitu pertanyaan saya geser, siapakah di sini yang membaca artikel di internet, semua peserta menjawab ya. Lalu saya bilang bahwa seorang penulis tidak perlu membuat buku, ia hanya perlu menulis, menyampaikan gagasannya agar sampai dan tercipta generasi baru yang mau menulis.

Sesungguhnya saya sendiri masih berpedoman pada bahwa penulis harus membukukan gagasannya entah itu berupa buku konensional maupun digital. Buku semacam rumah yang merangkul gagasan-gagasan penulis yang tercecer sehingga mudah dilacak. Bagian ini tidak saya sampaikan memang dengan pertimbangan agar mereka mau menulis dulu saja.

Pertanyaan kedua, bagaimana seorang kreator menyikapi pembajakan? Saya jawab dengan jujur bahwa saya sebagai kreator masih memakai standar ganda. Pada buku, saya mengecam pembajakan meski kerap kali saya mesti memfotokopi buku-buku langka yang harganya selangit atau sulit didapat. Pada film terutama film buatan anak negeri saya menontonnya di aplikasi berbayar seperti HOOQ, Viu, dll. Sedang film luar negeri saya masih sering mengunduhnya. Begitu juga dengan musik. Saya acap kali mengunduh alih-alih membeli DVD. Walaupun sudah saya kurangi dengan berlangganan aplikasi musik.

Saya kemukakan bahwa saya berharap adik-adik mahasiswa tidak memakai standar ganda seperti saya yang malah menumbuhsuburkan pembajakan. Kemudian saya bercermin, saya tidak punya hak untuk berbicara demikian tanpa perilaku yang benar.

Pertanyaan ketiga, apa fungsinya membaca jika kita tetap bisa sukses tanpa membaca? Pertanyaan yang paling-paling-paling menggelisahkan. Bagaimana tidak, bukankah sebagai kaum terpelajar yang pertama-tama harus dilakukan adalah membaca? Terlepas dari apakah itu membaca buku fiksi ataupun nonfiksi. Untuk meyakinkan, saya kemudian bertanya pada penyana, apakah maksudnya membaca fiksi atau sastra? Ia hanya tersenyum-senyum saja yang sulit saya artikan.

Barangkali orang bisa sukses tanpa membaca namun membaca memberi banyak alternatif jalan menuju sukses. Dan fungsi sastra dalam kehidupan seseorang, saya menyitir ucapan Pak Tohari, adalah untuk melembutkan hati, melatih kepekaan, menjadikan kita sebagai manusia. Membaca juga mengajarkan dan melatih manusia untuk melakukan ‘pembacaan’, berpikir secara komprehensif sehingga tidak terjebak pada pemikiran dangkal atau yang kini sedang merebak adalah hoax.

Menyelami dunia anak muda selalu memberikan khazanah baru bagi saya. Acara hari itu ditutup dengan alunan suara dari Juicy Luicy yang disambut begitu meriah oleh para peserta. Dua buah lagu perayaan patah hati. Sementara saya tepekur menatapi mereka seraya merenungi bahwa setiap zaman merentangkan tantangan tersendiri bagi dunia sastra, bagaimana bisa tetap hidup, membumi, dan menjadi napas bagi generasi berikutnya.

Evi Sri Rezeki
Evi Sri Rezeki

Selamat datang di dunia Evi Sri Rezeki, kembarannya Eva Sri Rahayu *\^^/* Dunia saya enggak jauh-jauh dari berimajinasi. Impian saya mewujudkan imajinasi itu menjadi sebuah karya. Kalau bisa menginspirasi seseorang dan lebih jauhnya mengubah peradaban ^_^

12 comments:

  1. syukurlah acara berjalan dengan lancar ya mbak... semoga satu hari bisa jumpa sama mbak evi nih.

    ReplyDelete
  2. Aku masih pingin bikin buku... yang konvensional yang bisa dipeluk kalo bacanya sampe ketiduran, hiks

    ReplyDelete
  3. Subhanallah mba, setelah baca ini saya jadi dapet insight tetep pede meskipun belum ngeluarin buku hehe. Sukses selalu ya, semoga nanti bisa ketemu

    ReplyDelete
  4. Wah ada Juicy Luicy, emang pinter yang panitia menarik.minat dari peserta

    ReplyDelete
  5. Wah ada Juicy Luicy, emang pinter yang panitia menarik.minat dari peserta

    ReplyDelete
  6. Jujur teh tahun lalu aku kurang banget baca buku, tahun ini challenge ke diri sendiri buat baca buku sebanyak-banyaknya. Kapan-kapan ingin ngobrol banyak sama teh Evi nih soal sastra. Hehe.

    ReplyDelete
  7. waah pertanyaan ketiga membuat hati sedih dengernya, bisa kah sukses tanpa membaca? tapi fungsi membaca itu yaa saya sepakat dengan pak ahmad tohari, dan sebenarnya makna membaca itu bukan secara teks saja ya teh. membaca secara tersurat bisa membuat orang lain jadi semangat untuk sukses juga. :)

    ReplyDelete
  8. setuju, jangankan musik, lagu, lukisan, dan novel. tulisan untuk blog pun perlu "jiwa" yang ngga bisa dikerjakan oleh robot

    ReplyDelete
  9. wah, aku jadi melihat langganan premium aplikasi musik atau film dari perspektif lain yaitu menghargai karya seni orang (dari luar maupun dalam negeri). Banyak orang yang nggak sadar lho mengenai ini, termasuk saya, haha

    ReplyDelete
  10. Pas banget sama goals aku tahun ini, teh...
    Aku sedang menlecut diri sendiri untuk membaca dan membaca.
    Buku.
    Bukan hanya media digital yang tentu setiap hari ramah di kehidupan blogger.

    Haturnuhun, teh Evi sudah berbagi pengalaman.

    ReplyDelete
  11. Sukses tanpa membaca? Bisa aja,tapi mungkin ia menjalani hidup dengan pola pikir yg dangkal dan hati yang tdk peka pada sesama..

    ReplyDelete
  12. Membaca atau tidak sebenarnya adalah pilihan. Mau lebih bijak menjalani hidup atau tidak, itu pun pilihan.

    ReplyDelete