Fungsi sastra adalah untuk melembutkan hati. -Ahmad Tohari-
Mengarungi samudera sastra di era milenial.
Ketika tema itu disodorkan pada saya ada dua pertanyaan yang membesit: mengapa
samudera sastra? Sastra seolah menjelma lautan lepas tak bertepi. Sedang bagi
saya sendiri, sastra menjelma perahu, kendaraan menjelajahi lautan kehidupan
dan banjir informasi. Lalu pertanyaan lain adalah apa fungsi sastra di era
milenial?
Mengarungi Samudera Milenial dengan Sastra |
Di era milenial yang identik dengan
dunia digital, sastra atau lebih tepatnya kata-kata, bahasa, gaya bahasa, tidak
lagi terisolasi. Dia melepaskan diri dari jerat kertas yang meloncat di pagi
hari, yang menyusup lewat celah pintu, yang menunggu di kelokan terminal atau
gang menanti untuk diraih. Kata-kata merasuk dalam genggaman setiap orang. Kata-kata,
bahasa, gaya bahasa, cerita, dongeng, dan semua itu menjelma keseharian setiap manusia.
Dunia digital meleburkan sastra
adiluhung dan sastra pop yang konon tumbuh pada era 1980an. Dunia digital melumerkan
pembacaan dengan membaca. Sebuah contoh, kita bisa saja menaruh quotes Pramoedya Ananta Toer:
... seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.Tanpa mesti tahu diambil dari buku apa, siapa tokoh yang mengatakan, dan dalam konteks apa kalimat tersebut diucapkan. Sastra digital cukup menyuarakan hati seseorang tanpa dibarengi gagasan yang lebih besar. Tapi itu tak mengapa, selama sastra dapat menjaga kewarasan manusia.
Mengapa saya katakan bahwa sastra
menjaga kewarasan manusia? Sebab di era digital kita dibanjiri informasi. Informasi-informasi
yang didesain seolah mendesak harus kita ketahui saat itu juga. Bahkan kita
sering limbung manakah informasi yang benar? Tanpa sadar manusia terjebak pada
penyajian informasi yang disajikan media massa atau media sosial. Terjebak pada
agenda setting berbentuk framing. Framing bukan sebuah penyajian kebohongan informasi namun pelaku
media memilih dan membingkai informasi sesuai cara pandangnya. Di sinilah
sastra mesti berfungsi.
Pada 2016 saya menghadiri perhelatan
Majelis Sastra Asia Tenggara untuk Novel di Bogor. Malam pembukaan, sejumlah
sastrawan Indonesia seperti Pak Ahmad Tohari, Pak Triyanto Triwikromo, Pak Agus
R. Sarjono, dan Ibu Abidah El Khalieqy berlaku sebagai pembicara. Tak
ketinggalan sastrawan dari Malaysia dan Brunei Darussalam pun turut hadir.
Menurut pemaparan Pak Ahmad Tohari, pada
era pascakemerdekaan Indonesia, sastra memiliki kedudukan yang cukup tinggi.
Diberi porsi besar dalam pembelajaran di sekolah-sekolah. Memasuki era Presiden
Soeharto, pelajaran sastra dipangkas lebih dari setengah. Ilmu pasti dan
ekonomi mengisi kekosongan tersebut.
“Fungsi sastra adalah untuk melembutkan
hati. Jadilah generasi yang terbentuk selepas sastra terpinggirkan adalah
generasi yang membangun perekonomian bangsa namun kurang peka,” ucap Pak
Tohari.
Sastra merupakan bagian dari literasi. Literasi
sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan
pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dalam mempelajari sastra kita diwajibkan
untuk membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah belahan jiwa. Tanpa
membaca kita tak bisa menulis, tanpa menulis kita tak sempurna menebarkan ilmu
pengetahuan.
Di atas saya katakan bahwa dunia digital
melumerkan pembacaan dan membaca. Kita tidak lagi betah membaca tulisan panjang
namun merasa cukup tahu dengan uraian sebanyak 300 kata atau video selama 5
menit bahkan beberapa detik.
Lalu kita dipaksa mengunyah informasi lain lagi. Ketika kita membaca sastra
kita melakukan pembacaan secara menyeluruh. Membaca konteks bukan saja teks.
Tapi saya percaya, generasi milenial,
generasi Z, dan generasi ke depannya merupakan generasi yang kritis. Generasi
yang akan tertarik pada sastra dimulai dari sebuah quotes. Generasi yang lembut hatinya sehingga menyikapi informasi
dengan bijak. Tentunya kita membutuhkan informasi namun tidak membutuhkan
kebanjiran informasi.
Era milenial semacam gerbang terbuka
bagi siapa saja untuk menjadi penulis. Media sosial mengakomodasi terbentuknya
penulis digital. Yang disebut penulis tidak melulu menerbitkan buku, ada banyak
tawaran profesi lain seperti content
writer, blogger, copywriter, selebtwit, selebgram, dan sebagainya. Betapa
orang bisa cepat meraup untung dan ketenaran dari profesi-profesi tersebut. Semua
orang berebut viral. Sungguh itu sah-sah saja selama kita berkarya. Di sisi
lain efek yang ditimbulkan adalah plagiat. Sejak zaman dulu praktik plagiat
memang sudah ada namun kini mudah terdeteksi sebab keluasan akses media. Sederhananya menurut
saya, maraknya plagiat disebabkan eksistensi karena kecepatan arus informasi
dan media sosial seolah memaksa kita untuk terus berproduksi. Menjadikan kita
semacam pabrik atau mesin konten.
Karya yang mencatat zamannya, yang
datang dari hati dan jujur telah usang saat kita memilih menjadi pabrik konten.
Padahal karya-karya yang berumur panjang adalah karya-karya yang memiliki gagasan,
menyuarakan zaman.
Kesempatan yang sama tahun 2016, saya berkata
pada Pak Tohari, “Profesi penulis terutama penulis sastra pada masa kini masih
dipandang sebelah mata. Orang-orang bertanya, apakah saya bisa hidup dari
menulis?”
"Jangan berkecil hati menjadi
penulis. Orang pandai itu banyak, yang peka sangat sedikit." Jawaban Pak
Ahmad Tohari membuat saya tertegun.
Saya teringat satu adegan di film Dead Poets Society ketika Mr. Keating
meminta murid-muridnya menyobek teori bedah puisi. Mr. Keating berkata:
“Sekarang, kalian akan belajar kembali
cara berpikir untuk diri kalian sendiri. Kalian akan belajar untuk menikmati
kata-kata dan bahasa. Tidak masalah orang-orang menganggapmu apa, kata-kata dan
gagasan dapat mengubah dunia. Sepertinya sastra abad ke-19 bukan apa-apa
dibandingkan dengan sekolah bisnis atau sekolah kedokteran. Benar? Mungkin.
Saya mempunyai sedikit rahasia. ...
“Kita tidak membaca dan menulis puisi
sebab hal itu manis. Kita membaca dan menulis puisi sebab kita merupakan
anggota dari umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah.
“Pengobatan, hukum, bisnis, teknik: itu
semua adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi
puisi, kecantikan, asmara, cinta... berguna bagi kita untuk tetap hidup.
Dikutip dari Whitman:
O me, O life of the questions of these recurring.
Of the endless trains of the faithless.Of cities filled with the foolish.What good amid these, O me, O life?
Jawabannya bahwa kalian di sini. Bahwa
kehidupan itu ada dan memiliki ciri khas. Bahwa sebuah kuasa sedang
berlangsung, dan mungkin kalian menjadi bagian peran utama.”
Dan begitulah, mengarungi era milenial
dengan sastra adalah upaya merayakan kehidupan itu sendiri.
*Tulisan ini saya buat untuk acara Talkshow Pekan Sastra Komhuk UNPAS HMI dengan tema 'Mengarungi Samudera Sastra di Era Milenial' pada tanggal 19 November 2018.
Sekarang profesi penulis terdeferensiasi ya Teh, tidak hanya yang menerbitkan buku saja
ReplyDeleteSetuju Teh, suami sudah bilang sejak dulu berkarya itu melembutkan hati 💕 terima kasih sharingnya ya
ReplyDeleteiya, bener teh.
ReplyDeletesalah satu anjuran para sahabat Nabi saat membesarkan anak adalah mengenalkan sastra ke jiwa mereka.
Kok saya jadi inget chanel cybersastra di mIRC awal tahun 2000an dulu. Isinya orang2 yang pintar menulis.
ReplyDeleteAh sayang tidak semua orang memahami dan mencintai sastra. Kini, sastra kembali hilang dari bangku sekolah. Tulisan ini adalah penyejuknya
ReplyDeleteBener banget, sastra bisa melembutkan hati. Kalau membaca buku-buku sastra saya sering tertegun.
ReplyDeleteWaah ketemu Pak Ahmad Tohari kereen teh 😍 saya udah baca karya beliau yang Ronggeng Dukuh Paruk. Saya suka saya suka penggambaran latarnya the best!
ReplyDeleteDuh, banyak jlebnya nih. Iya ya, sekarang sedikit yang suka dengan sastra. Banyaknya nulis karena faktor uang. Tapi, aku gak bisa2 deh belajar sastra. Susaaaah...
ReplyDeleteAnak sastra itu keren deh pemilihan katanya kadang perlu pemikiran luas agar bisa faham. Kudu banyak baca lagi nih biar suka sasrta. Hiks
ReplyDeleteWaduh, bahasan yang sulit untuk aku. Krn aku kurang paham ttg sastra. Tapi aku setuju kalau dibilang orang peka itu sedikit hihihi.
ReplyDeleteJadi inget dulu nyesel kenapa pas kuliah nggak ambil jurusan sastra. Padahal aku seneng banget sastra. Sekarang belajar dikit-dikit dari buku-buku sastra yang aku baca hehe
ReplyDeleteTulisan yg bagus, Vi. Buat negara ini, mau menyimak & mau baca informasi aja udah bagus, Vi :D sastra, levelnya udah beda. Sebab di era serba cepat, baca sastra tuh kayak dibawa pelan banget. Bisa gak generasi muda suka sastra, bisa kalo dijejelin sejak dini. Kalo enggak, ya mau baca caption dgn seksama juga udah bagus :D heuheu
ReplyDeleteNumpang ya min ^^
ReplyDeleteAyo buruan bergabung di www,kenaripoker
Bonus 50% hanya deposit Rp 10.000 sudah bisa mainkan banyak game disini, TO rendah tidak menyekik player, server baru dengan keamanan dan kenyamanan yang lebih!
hanya di kenaripoker
WHATSAPP : +855966139323
LIVE CHAT : KENARIPOKER COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER COM