Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan


Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan - Kelak udara tidak gratis lagi. Oksigen akan diperjualbelikan seperti tanah, air, dan api. Oksigen yang bukan berupa tabung oksigen di rumah sakit melainkan oksigen yang untuk dihirup sehari-hari. Semua orang persis seperti Sandy di kartun Spongebob. Itu imajinasi saya sejak SMA. Sejujurnya saya ngeri sendiri terhadap pikiran saya. Sebab itu saya bercita-cita untuk membuat hutan di tengah kota.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan

Impian dan imajinasi itu terlupakan begitu saja oleh kesibukan dan keceriaan masa sekolah, kuliah, dan kerja. Hingga sekitar tahun 2017, waktu itu saya masih tinggal di rumah kembar bersama Eva, tiba-tiba saya diingatkan kembali. Kami memiliki sepetak halaman. Sayangnya halaman tersebut tidak terurus dan hampir setengahnya disemen. Pak Eko Purnomowidi dan Kang Deni Glen dari Klasik Beans berkunjung ke rumah sebelum pergi ke Kedai Kopi Bara, tempat saya magang sebagai barista. Kang Deni berbisik pada dirinya, saya lupa tepat ucapannya yang intinya halaman rumah kami begitu gersang. Kalimatnya halus dan tidak bermaksud menyinggung. Namun saya tertohok! Seperti ditampar dan dikembalikan pada ingatan remaja saya.

Sejak itu saya menghubungi kawan SMP yang bisa mendesain taman. Ia membuatkan desain dan memberi harga yang cukup fantastis bagi saya. Sekali tujuan telah ditetapkan pantang bagi saya mundur! Setahun saya menabung, mendedikasikan 75% penghasilan untuk membuat taman tersebut. Ada motivasi yang menguatkan saya bahwa saya telah berhutang pada bumi, saya menikmati oksigen dari pepohonan. Bukan hanya oksigen sebetulnya, seluruh proses dan hasil fotosintesis. Maka saya harus menanam pohon. Ada tanah pengap yang mesti merasakan kebebasan. Dan saya ingin apa yang saya tulis dalam novel bukan omong kosong. Bahwa saya juga sedikitnya berjuang. Saya menceritakan niat saya pada Pak Eko, beliau berkata niatkan untuk kebaikan semesta.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Ini rancangan taman di Rumah Kembar, sayang saya lupa foto taman aslinya folder mana

Berkebun seperti menulis, butuh motivasi kuat untuk melaksanakannya. Pekerjaan merangkai kata butuh ketekunan, kerajinan, dan kesabaran agar apa yang ingin disampaikan dapat pula sampai kepada pembaca. Berkebun tak ada beda. Hanya pesannya saya sampaikan pada semesta. 

Awalnya orang tua saya tidak mendukung. Alasannya karena rumah kembar akan dijual. Sayang uangnya mending ditabung untuk kebutuhan lain. Saya tetap keukeuh pada maksud. Siapa pun kelak yang menghuni rumah tersebut, saya berharap dapat merawat taman tersebut. 

Saya memperhatikan pembangunan taman dengan ketat. Beberapa karung tanah dari Pangalengan didatangkan agar taman tersebut subur dipadukan dengan tanah yang sudah lama tertimbun semen. Sejujurnya saya merasa bersalah karena mendatangkan tanah Pangalengan. Seharusnya tanah itu tetap di tempatnya.

Akang: Teh, ini semennya nggak usah dibobok. Langsung aja ditaburi tanah Pangalengan.
Saya: Semen harus dibobok, Kang. Kasihan tanahnya nggak bisa napas.
Perdebatan selesai. Si Akang menuruti saya setengah hati.

Hampir sebulan akhirnya taman tersebut selesai. Saya tanami bibit kopi pemberian Teh Imas. Sebab saya dari dulu lebih tertarik pada tanaman pangan, saya tanami cabai, salak, buah naga, dan sebagainya. Kemudian Ayah saya menanam, ditumbuhkanlah waluh hijau, binahong, bunga tapak dara, dan lain-lain. Saya Bahagia karena setelah taman jadi, orang tua saya malah lebih semangat berkebun. Taman rimbun oleh binahong yang daunnya merambat, ukurannya besar-besar. Seorang kawan Eva sampai heran bagaimana kami bisa merawat binahong sampai begitu. Waluh hijau juga merambat membabi buta. Tetangga protes sehingga kami harus memangkasnya. Hasil panen waluh dan binahong sempat kami bagikan ke tetangga. Kata Ayah, binahong itu tanaman dewa. Hampir semua penyakit bisa disembuhkan oleh khasiatnya. Ayah kerap kali merebus lalu meminumnya. Hasilnya tubuh Ayah lebih segar.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Salah satu foto dengan latar tanaman binahong di rumah kembar

Rumah kembar kini sudah terjual. Saya tidak pernah menyesal membuat taman tersebut. Menanam kehidupan demi kehidupan. Bukan saja udara jadi lebih sejuk di sana, hati kami pun lebih bahagia. Semoga pemilik baru rumah kembar dapat merasakan ketulusan semua penghuni taman, sudi merawat kehidupan yang kami semai dengan doa-doa.

Berkebun, Menumbuhkan Kehidupan Bagi Kehidupan
Kesedihan saya kehilangan rumah kembar terbayar saat menempati rumah Punclut. Rumah ini barangkali hampir perwujudan rumah impian saya. Biarpun jauh dari pusat kota, bukan di kompleks perumahan, kemewahannya terletak pada udara segar dan pemandangannya. 

Ada tiga buah jendela yang disangga kayu di ruang kerja saya. Dari balik kaca, saya bisa memandang sebuah kebun liar. Pohon suren yang entah berusia berapa tahun berdiri tegak. Ia menaungi pohon alpukat, beberapa pohon pisang, binahong, dan barisan pohon singkong. Dua ekor tupai kecil sering melompat-lompat di atas dahan pohon. Terhitung sejak Maret, tupai bertambah jadi empat ekor. Saya menduga, rumah mereka berada di atas pohon suren. Pernah sekali waktu saya melihat mereka mengangkuti ranting atau semacamnya ke lubang di pohon tersebut. Mereka ceria sekali. Setiap kali diperhatikan, mereka seperti memiliki sinyal dan segera menjauh ke arah pohon nangka yang letaknya paling jauh dari rumah.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Pemandangan dari atas bukit

Bila saya dan Hanif sedang ingin berjalan-jalan, kami mendaki kebun tersebut. Di puncaknya ada tanah lapang dan sebuah pondok kayu tak berpenghuni. Dari sana kami bisa melihat cahaya matahari terbit menyibak kabut yang bergerak dari timur. Rumah-rumah di Bandung terlihat kecil seperti maket. Pada malam hari, kami menonton kelap-kelip lampu kota dari balkon rumah diiringi nyanyian serangga.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Pondok di atas bukit

Ironisnya, di balik keriangan para penghuni kebun depan, rumah kami sesungguhnya gersang. Teras rumah keramik melulu dinaungi kanopi yang hanya dapat ditembus sedikit cahaya matahari. Antara kebun dan rumah kontrakan kami hanya dibatasi pagar bata tapi suasananya begitu kontras. Nyaris gambaran sempurna antara perdesaan atau hutan nun jauh di sana dengan perkotaan. Bangunan rumah saya seolah menyerahkan tugas pada kebun tersebut untuk jadi paru-paru. Ayo, hasilkan oksigen, tumbuhkan pisang dan singkong! Kebun liar itu juga jadi semacam tempat pembuangan sampah seperti sofa, bantal, plasti-plastik, dan barang rumah tangga lain. Saya tidak habis pikir mengapa sampah-sampah tersebut tak langsung dibuang ke penampungan sampah yang jaraknya dekat dari situ. Kesenjangan terasa benar antara kebun liar dan rumah kontrakan.

Tiga bulan setelah menempati rumah Punclut, kami memutuskan untuk berkebun menggunakan pot atau media apa saja yang bisa dipergunakan. Tepatnya sejak Desember 2019. Inginnya kami membuat vertical garden dengan lahan terbatas ini. Kejadiannya begini, sebelum melaksanakan residensi penulis di Surabaya dan Jember, saya membeli kencur dan jahe. Kedua rempah tersebut saya beli dalam jumlah banyak sehingga tidak semua terpakai. Dua bulan saya tinggalkan Bandung. Sampai di rumah, saya terkejut mendapati kencur dan jahe sudah bertunas. Langsung saja saya dan Hanif Oi tanam di pot. Sekalian berkebun, bulan Desember akhir itu kami membibit cabai. Sebulan kemudian, jahe dan kencur tumbuh sehat tetapi tidak dengan cabai. Tak satu pun berubah jadi tunas. Bulan Januari kami bibit cabai lagi. Masih nihil juga. Tidak putus asa, kami bibit lagi bulan Februari.

Pertengahan bulan Maret, saya dan Hanif melakukan perjalanan ke Kalisat, Jember untuk menghadiri gelaran tahunan Kalisat Tempo Doeloe kelima. Sehari sebelum diumumkannya pelaksanaan social distancing. Rencana kami menginap di rumah Mas RZ Hakim dan Mbak Zuhana Anibuddin Zuhro selama dua minggu. Niat kami urungkan sebab kondisi pandemi. Dalam waktu sepuluh hari kami pun pulang ke Bandung.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Bibit cabai

Hati kami yang diliputi waswas selama perjalanan 24 jam seketika menjadi girang mendapati cabai-cabai yang kami bibit telah bertunas. Ya, bertunas semua. Bahkan di pot yang sudah kami tanami lidah buaya karena menyangka pot tersebut kosong. Dari akhir bulan Maret sampai Mei, kami rawat tunas-tunas cabai tersebut. 

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Bibit kacang panjang, kangkung, bayam, dan lain-lain.

Saya yang suka menanam tanaman pangan mencoba menumbuhkan jagung, kiwali atau kembang simeut, binahong merah, sirih, bayam, kangkong, jahe, kencur, dan sebagainya. Menumbuhkan kehidupan bagi kehidupan. Saya memang bercita-cita bisa berdikari dalam urusan pangan dan yang tak kalah penting perihal sumbangsih fotosintesis bumi. Menjadi petani yang memakan hasil kerja keras sendiri secara bertahap. Sebetulnya Hanif lebih suka menanam bunga, untuk saat ini kami sepakati fokuskan tanaman pangan dulu.

Tantangan Berkebun di Rumah
Dalam berkebun di rumah ini tidak selalu berjalan lancar. Ada saya tantangannya. Dua hal yang menyulitkan kami saat proses berkebun. Pertama, kesediaan tanah. Kedua, cahaya matahari. Persoalan pertama sudah bertemu solusi. Kami dibantu keluarga Pak Tono, tetangga kami yang punya kebun untuk menyuplai tanah dan kompos. Persoalan kedua masih agak rumit. Tidak semua tanaman berkembang baik terutama yang membutuhkan banyak sinar matahari. 

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Kebun kecil kami di balkon rumah

Kami lalu memindahkan tanaman-tanaman ke atas balkon, didekatkan pada sumber cahaya. Hasilnya belum terlihat. Semoga ke depannya kami diberi rezeki untuk mengganti kanopi yang lebih ramah cahaya. Selama itu belum terlaksana, kami akan terus bereksperimen. Setidaknya kami rasakan ada kebahagiaan-kebahagiaan ketika biji-biji yang kami semai menjelma bibit. Mereka tidak menyerah, begitu juga kami. Tekad kami semakin kuat dengan impian menciptakan ekosistem ekologi dan ekosistem sosial. Hei, tanaman mari bekerja sama menumbuhkan kehidupan bagi kehidupan.

Membagikan Kehidupan Untuk Kehidupan
Perihal ekosistem sosial yang saya singgung di atas erat kaitannya dengan kegiatan berkebun. Selesai isolasi mandiri selama dua minggu, Eva dan Aji mampir ke rumah kami. Langsung saja kami hadiahi bibit cabai karena memang jumlahnya banyak sekali. Dari situ saya berpikir, mengapa tidak membagikan bibit-bibit cabai ini ke tetangga? Bibit-bibit cabai kami pisahkan ke dalam pot-pot darurat.

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Bibit cabai

Tujuan pembagian bibit ini juga merespon pandemi yang terjadi. Barangkali kami belum bisa membantu tetangga, keluarga, sahabat, dan kebarat dalam bentuk uang atau kebutuhan pokok. Dengan bibit cabai ini setidaknya kami berusaha menumbuhkan kesadaran ketahanan pangan biarpun kecil. Sesuatu yang bisa ditanam dan dirawat di rumah. Kami pun mengetuk pintu tetangga yang bersedia menerima bibit. Alhamdulillah mereka senang. Sebetulnya tidak hanya tetangga yang kami bagikan bibit, keluarga dan sahabat yang mampir ke rumah pasti kami oleh-olehi bibit. Seperti halnya dengan Bapak Deliveree yang mengangkut freezer pun kami berikan bibit. 

Berkebun, Menanam Kehidupan Demi Kehidupan
Bibit tomat

Sekarang kami sedang membibit tomat, kacang panjang, dan sebagainya untuk kemudian dibagikan ke tetangga. Membagikan kehidupan untuk kehidupan. Untuk bibit tomat sebagian sudah kami distribusikan kepada tetangga dan para sahabat. Semoga rencana kami bisa berjalan lancar. Amin.

Evi Sri Rezeki
Evi Sri Rezeki

Selamat datang di dunia Evi Sri Rezeki, kembarannya Eva Sri Rahayu *\^^/* Dunia saya enggak jauh-jauh dari berimajinasi. Impian saya mewujudkan imajinasi itu menjadi sebuah karya. Kalau bisa menginspirasi seseorang dan lebih jauhnya mengubah peradaban ^_^

10 comments:

  1. Salah satu yang saya suka saat pandemi ini adalah banyak yang mulai punya hobi berkebun. Semoga bumi jadi semakin sehat dengan semakin banyaknya tanaman yang tumbuh. Dan semoga hobi berkebun ini gak perlahan ditinggalkan ketika suasana mulai normal kembali

    ReplyDelete
  2. Amin mba semoga semuanya dilancarkan. Anw ini juga mbak yang selalu masuk kepikiran ku bahwa menaman tanaman / berkebun bukanlah sesuatu yg mudah. Perlu extra perawatannya, pasti ada aja yg gak mulus nya yh mba. Tapi “menanam kehidupan demi kehidupan” ini bisa menjadi inspirasi semua org termasuk aku sendiri ;)

    ReplyDelete
  3. Ternyata pandemi ini juga bisa membuat kita lebih produktif yaah teh, yaa salah satunya menekuni hobi lama atau melakukan seuatu yang dulu belum sepat kepegang hehe. Btw aku juga di rumah ada abanyak pohon-pohonan teh, jadi adem dan seger hehe

    ReplyDelete
  4. Jika tanaman-tanaman di halaman tumbuh meninggi, rasanya bahagia banget karena ada kehidupan lain yang kita tanam ternyata tumbuh dan berkembang dengan baik ya Mbak.

    ReplyDelete
  5. wah keren! ternyata ditengah pandemi ini bikin kita lebih produktif ya kak! jadi pengen menanam jg nanti

    ReplyDelete
  6. Sampai sekarang saya belum jadi juga nih berkebun :( Padahal lahan di rumah ibuk saya nih luas banget. Heuheuheu. Bingung harus mulai dari mana :|

    ReplyDelete
  7. Berkebun bikin ketagihan itu katanya krn dalam tanah ada zat yg saat kita pegang (sentuh) membuat kita merasa rikeks dan nyaman

    ReplyDelete
  8. Saya juga suka berkebun. Dulu waktu saya SD saya punya kebun sendiri yang saya tanami buah-buahan dan dan aneka macam bunga. sayangnya ketika sekarang tinggal di perumahan nggak punya lagi lahan untuk berkebun. Jadinya ya menanam cuman sebatas di atas pot aja, hehe ...

    ReplyDelete
  9. Teh Evi selain cantik, hobi berkebun pula. Asam garam pengalaman berkebun juga sudah banyak dirasakan. Duh! Jadi kangen lagi nih aku buat lebih mencintai tanaman*

    ReplyDelete
  10. salah satu kegiatan produktif yang bisa dilakukan saat dirumah aja, semangattt

    ReplyDelete