![]() |
Monroe si pencinta jam - Sumber: tribzap2it.files.wordpress.com |
Ini
adalah peristiwa acak yang mengingatkan saya pada jam dinding. Pertama, setelah
menunggu selama hampir setahun season
pamungkasnya serial Grimm, awal bulan Januari tahun ini tayang. Ada satu tokoh
utama bernama Monroe yang berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Mulai dari
jam tangan sampai jam dinding. Keluarganya sudah turun temurun menekuni profesi
tersebut. Saking mendarah daging profesi itu, Monroe hapal betul
sejarah-sejarah terciptanya berbagai jam. Bahkan dengan hanya melihat dalaman
suatu jam, dia bisa mengetahui kapan jam itu dibuat, berapa kali direparasi,
dan seperti apa profil orang yang menggunakan jam seperti itu.
Peristiwa
acak kedua, yang memang kerap kali terjadi, saya dikepung deadline. Apalagi kalau bukan bikin tulisan di blog, laporan nge-buzzer, laporan komunitas, sampai novel
yang terbengkalai selama empat tahun yang deadline-nya
terus saya perbaharui dari waktu ke waktu. Saya punya kebiasaan menulis deadline di papan tulis mini dekat meja
kerja, biar tidak ada yang kelupaan. Selain dihiasi papan tulis, dinding saya
dihiasi oleh berbagai pernak-pernik semacam peta dunia, foto anak-anak kembar,
hingga poster penulis-penulis yang menginspirasi hidup saya.
Saat
otak saya mumet, saya sering memandangi hiasan dinding. Sebenarnya pandangan
saya kosong saja sih, cuma butuh pengalihan mata dari layar laptop dengan word terbuka yang bersih seperti lantai
baru dipel. Sekali waktu yang super deadline
itu, saya membuang penglihatan ke arah dinding. Saya berpikir, kok ada yang
salah atau setidaknya ada yang kurang dari dinding tersebut. Ada kenangan masa
kecil yang hilang, kebiasaan keluarga yang luput saya terapkan. Bingung juga
sih apa tepatnya.
Peristiwa
acak ketiga. Pagi-pagi sekali, mama angkat saya berkunjung ke rumah. Mama
memang sering kangen sama saya. Saya membuka pintu dan mempersilakan Mama duduk
lalu menawarkan minum. Mama menolak. Beliau kemudian asyik mengintari setiap
jengkal rumah saya, yang syukurlah pada saat itu sedang bersih. Maklumlah, saya
punya kebiasaan membersihkan rumah hanya saat keadaannya sudah seperti pesawat
menghantam Gunung Ceremai.
“Mau
pergi jam berapa hari ini?” tanya Mama.
“Kayaknya
enggak pergi, Ma. Kenapa?”
Kata
Mama, “Enggak apa-apa.” Beliau lalu sibuk bercerita tentang saudara-saudara
kami. Saya menjadi pendengar yang baik saja tanpa banyak berkomentar.
Tiba-tiba
Mama bertanya, jam berapa sekarang? Sigap saya melirik jam digital di sisi
sebelah kanan bawah laptop. Jam sepuluh, jawab saya.
Dengan
agak gusar, Mama berkomentar kenapa rumah saya tidak berjam dinding? Saya jawab
karena saya bisa lihat di laptop atau di gawai. Mama seolah tidak puas. Beliau
menyarankan saya untuk tetap memasang jam dinding sebagai pengingat waktu.
Kesan yang diberikan jam dinding berbeda dengan jam di perangkat lain, sambung
Mama. Kedisiplinan tumbuh dari adanya jam dinding. Saya mengangguk-angguk saja,
enggan membantah.
Di
satu malam yang iseng, saya memain-mainkan gawai sambil rebahan di kamar.
Setelah bosan, saya lalu memandangi langit-langit kamar. Mata saya agak nakal
karena dia melirik-lirik dinding yang bersih tanpa hiasan. Ah ya, kamar saya
memang tak bercorak seperti kamar-kamar perempuan pada umumnya. Entahlah, saya
suka membiarkannya begitu. Tiba-tiba ingatan saya dibawa ke tiga peristiwa acak
yang saya ceritakan di atas.
Tentang
Monroe yang masih mencintai jam walaupun ada penunjuk waktu di perangkat lain.
Tentang dinding ruang kerja saya yang terasa ada yang kurang. Dan tentang Mama
yang dengan keras pendirian menyarankan saya memasang jam dinding. Sempat saya
berpikir kalau Mama hanya berpikiran kolot. Benarkah? Atau saya sendiri tidak paham fungsi jam dinding? Nah, itu
dia jawabannya, kenapa dinding ruang kamar kerja saya terasa ada yang ganjil.
Sejak kecil, saya sebenarnya terbiasa mengukur waktu dari arah tembok. Sebuah
ide menggelitik otak kecil saya, hmm… kenapa saya tidak coba pasang jam
dinding? Barangkali ada kebiasaan berbeda yang muncul dari keseharian saya.
![]() |
Perubahan Apa Yang Dibawa Sebuah Jam Dinding? - Sumber Matahrimall |
Saya beranjak ke ruang kerja, membuka laptop dan
melihat-lihat jam dinding. Hmm… harganya sangat terjangkau. Dan wah, ternyata model jam
dinding sekarang lucu-lucu! Ada yang terlihat klasik karena berbahan kayu
berbentuk lingkaran, ada yang seperti papan reklame, bahkan ada yang berbentuk
penggorengan dengan telor dadar di atasnya. Saya kemudian memilih jam lingkaran bercorak dengan angka romawi yang nampak klasik. Dada saya berdebar seolah tidak sabar
menunggu kedatangan jam dinding itu sampai ke rumah. Saya punya rencana, akan
saya catat perubahan apa yang dibawa sebuah jam dinding ke dalam pribadi saya.
Ke mana jam dinding itu membawa saya kelak? Oke, karena calon jam dinding saya
belum sampai dan belum terpajang, tulisan ini akan bersambung.
Kalau kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu masih
menempelkan jam dinding di rumah? Apa alasannya? Ayo ceritakan pada saya di
kolom komentar ^_^
Jam dinding dirumah sudah lama mati, baterainya belum pernah diganti. XD
ReplyDeleteWoooow... Kisah Monroe bikin berdecak kagum. Dia sampai tahu udah berapa kali jam direparasi? Dia ahli jam atau ahli nujum? Hihihi
ReplyDeleteBtw...saya baru nempati rumah baru nih. Belum ada jam dindingnya. Maunya cek harga dulu di priceza.co.id terus beli deh. Takut kemahalan. Maklum...masih irit :p Emang sama sih, sukanya lihat di ponsel dan laptop...tapi rasanya kurang sah yaaa kalau rumah gak ada jam dindingnya
Mantap :D
DeleteDi rumah saya pun sudah tidak ada lagi jam dinding dan semua beralih ke jam yg ada di hp. Saya masih ingat ketika saya mendapat juara 1 di lomba makan kerupuk antar kampung, dan tebak apa hadiahnya, ya ! Jam dinding, dan saya sudah tidak tau dimana dia berada sekarang. Jadi rindu..
ReplyDeleteMantap :D
Deletedi rumah saya rada angker setiap jam dinding yang di pasang ke esokannya mati gak berfungsi, udah beberapa kali ganti juga tetep begitu... jadi kami pakai jam tangan atau yg ada di hp saja.
ReplyDeleteMantap :D
Deletewah keren ya bisa jadi pecinta jam dinding seperti itu, hehehe mantap soul
ReplyDelete