![]() |
Evi dan Ayah Isa Anshari |
Sepaket
Rindu Tiba
:
Ayah Isa Anshari
Ayah, tadi malam kudengar suara-suara yang
datang dari negeri jauh. Tak jelas gumaman mereka. Bulu kudukku meremang, Ayah.
Kupikir, rumahku kini berhantu. Berpasang-pasang mata menusukku tajam dari
berbagai arah. Aku terdiam beberapa saat dalam pembaringan, tak mampu bergerak.
Sebuah buku bantal yang telah kutunggu lama kedatangannya tak lagi melenakan. Suara-suara
itu terus menggema, bahkan suara adzan tak mampu mengusirnya.
Kulirik jam digital dalam gawai yang ujungnya
retak dari hulu ke hilir. Senyum pahit menghias wajahku. Gawai ini tak sengaja
terantuk kakiku tiga hari yang lalu. Masih pukul setengah empat dini hari. Lalu
kuputuskan beranjak menuju dapur, menyeduh teh oolong, siapa tahu aroma dan
ruapnya dapat menenangkanku. Kuseduh sebanyak tujuh cangkir, kubayangkan Ayah,
Mama, Kakak, Aa, Teteh, dan Eva ikut meminumnya seperti saat kita berbuka
puasa. Kubiarkan suara-suara tak bertubuh itu menyerupai keluarga kita. Diluar dugaanku,
suara-suara itu lenyap seketika. Hening bertumbuh menjajali subuh.
Ayah, aku duduk tercenung. Ada nyeri menjalar
pelan-pelan merambat dari ujung jariku. Menjelajah nakal hingga ke ulu hati. Nyeri
itu, harus kuakui bernama rasa rindu. Entah rindu pada apa, barangkali
kehadiranmu, Ayah. Meski tak banyak waktu-waktu kita singgahi bersama. Kebersamaan
kita sesederhana memberi makan anak-anak kucing di halaman rumahku. Atau gegas
langkah Ayah mengantar paket-paket untukku.
Ayah pernah bercerita padaku, suatu hari,
ketika di rumah sendiri, ada sosok yang menyerupaimu. Wajahnya, tubuhnya,
hingga jambang tipis Ayah. Dan subuh ini Ayah, kulihat hantu mewujud diriku. Dia
duduk di hadapanku, sikap badannya persis seperti aku. Sungguh ini aneh. Aku benar-benar
percaya kalau di rumah ini ada hantu. Tubuhku membeku mendengar dia berucap
persis suaraku, “Jika ini maumu, berbahagialah.” Aku belum terbebas, jawabku. Lalu dia menulis pada secarik kertas
satu kata saja: bersabarlah.
Ayah, berdosakah aku memilih jalan kebahagiaanku dengan perpisahan? Bodohkah aku jika bertanya seberapa luka dan kecewanya
Ayah melihat putri bungsumu bernasib sedemikian rupa? Yang paling kutakuti
adalah tuduhan-tuduhan orang tertuju padamu. Sungguh Ayah, kau telah
membesarkanku dengan cinta yang sunyi. Cukuplah itu bagiku. Atas dosa yang tak
mampu kutebus, aku tak tahu bagaimana mencintaimu sebenar-benarnya seorang anak
pada orangtuanya.
Aku terbangun oleh kegaduhan keluarga
sebelah. Kapan aku tertidur, benakku bertanya-tanya. Tubuhku menegak,
tungkai-tungkai kakiku beranjak menuju ruang tengah tempat biasa aku bekerja,
tak kutemukan cangkir-cangkir teh. Mungkin aku hanya bermimpi tadi malam. Kubuka
pintu kayu terbelah dua, menghirup udara siang, dan kutemukan sebuah paket tak
bernama. Jejakmu, Ayah, hadir sedemikian rupa. Pastilah pagi ini Ayah mampir
mengantarkannya. Tanpa membangunkanku, Ayah letakkan paket itu di atas rak
sepatu plastik. Bersama kedatangan benda itu, sepaket rindu tiba.
Ayah, siang ini Bandung berkabut. Langit gemetar
digoncang halilintar. Awalnya, kukira begitu. Namun kulihat orang lalu lalang
tak berpayung, dan kaki mereka kering laksana musim kemarau panjang telah jatuh
di alas kaki mereka. Wajahmu membayang dalam warna-warni pelangi. Kusadari
hujan telah mampir di mataku. Aku ingin berlari menyusuri kelokan-kelokan gang
menuju toko kecilmu yang selalu ramai. Ingin kugenggam tanganmu beradu dengan
keningku. Ingin kubisikan berjuta-juta maaf. Oh, kakiku, keduanya terpancang. Sekali
lagi, wajah Ayah terpatri kian dalam sedalam lautan rasa bersalahku. Dan
kuputuskan menulis surat ini saja sebagai pelampiasan.
Syahdu... dan rindu!
ReplyDeleteSelamat menjalani hidup yang penuh dinamika. Di sana ada Tangan yang siap merangkul ketika kau mulai goyah :)
harus tetap semangat mba, (y) :)
ReplyDeletePenuh sesak dadaku membaca ini. Duh!
ReplyDeleteduh, gak sanggup baca nya baru setengah aja udah sesak dada :(
ReplyDeleteMenyentuh....... baca sampai tak ingat apa2
ReplyDeleteIndah sekali kalimatnya. Mengharu-biru mencuatkan rindu.
ReplyDeleteTetap semangat ya!
love dad, terharu ih jadinya
ReplyDeletekayak berasa baca novel, kata2nya tuh ngena banget
ReplyDeleteSumpah klo inget ayah tuh, jadi inget prjuangnny dulu nyari2 uang sana sini buat masukin aku k SMA Negeri ternama di Kota saya.
ReplyDeleteharus tetep semangat mba, ini hidup
ReplyDelete