We travel, initially, to lose ourselves; and we travel, next to find ourselves. We travel to open our hearts and eyes and learn more about the world than our newspapers will accommodate.
Awalnya, kita bepergian untuk ‘menghilang’; kemudian kita bepergian untuk menemukan diri kita. Kita bepergian untuk membuka hati dan mata kita serta mempelajari lebih banyak tentang dunia lebih dari yang diberikan oleh surat-surat kabar. --Pico Iyer
Ada masa-masa dalam hidup saya terasa sulit.
Masa-masa saya kehilangan diri sendiri, gairah, kehilangan tujuan mengejar
impian, dan puncaknya saya kehilangan cinta. Lentera hidup saya barangkali
memang impian. Ketika impian itu tak lagi menjadi matahari, saya hidup dalam malam.
Menjadi tua dan membosankan, itulah yang
selama ini saya takutkan. Fase itu kerap menghampiri saat saya hanya bergumul
dengan materi. Kebutuhan akan materi mengeroposi sisi kanak-kanak yang
mati-matian saya pertahankan. Sisi kanak-kanak buat saya adalah menjadi manusia
penuh ingin tahu, ingin mencoba ini itu, berani mengambil risiko, polos, dan
tulus. Ternyata ada yang lebih menakutkan dari menjadi tua dan membosankan,
kehilangan cinta. Malam bahkan masih memiliki bulan. Sedangkan saya sudah
kehilangan keduanya, matahari dan bulan. Jika harus saya ilustrasikan, saya
adalah manusia yang terperangkap dalam sumur tanpa dasar. Gelap, sempit,
menghimpit. Hati saya berkata, saya harus mengambil keputusan. Berat. Berat
sekali. Bahkan bisa mengecewakan banyak orang. Saya takut. Takut sekali.
Tuhan memang baik. Ditengah kesesakan hidup
dan cobaan bertubi-tubi, sebuah pesan WA menyelematkan saya. Perempuan muda
bernama Landra dari Net TV yang ramah dan manis menawarkan kesempatan
menggiurkan, berlibur selama empat hari di Batu Karas, Pangandaran.
“Jadi Acara Morning Show Indonesia itu salah satu segmentasinya ada ‘One Day In …’ yang ngajak teman-teman
Blogger sebagai host tamu. Saya
sedang mencari Blogger dari Bandung buat dua episode di Pangandaran. Teteh
kembar, kan? Nah, Teteh sama kembaran Teteh mau nggak?”
“Landra tahu kami dari mana?” tanya saya.
“Dari Sefiin yang bareng Teteh di Blogger Camp,” jawab Landra.
Sefiin, teman satu tenda saya di Blogger Camp
2015 lalu. Anaknya ceria dan menyenangkan. Silaturahmi katanya mendatangkan
rezeki, ternyata perkenalan saya dengan Sefiin berbuah rezeki. Ah, andai anak
itu ada di depan mata saya, sudah habis saya peluk dan cium.
Tanpa pikir panjang, saya dan Eva memutuskan
menerima tawaran Landra. Itu berarti besok pagi, kami sudah berangkat ke
Pangandaran. Malamnya kami packing
terburu-buru. Perlengkapan yang kami bawa cukup lengkap membuat tas perjalanan
berwarna merah saya gembul. Tas ini tas tenteng, sebenarnya kurang nyaman
dibawa ke luar kota. Saya sedang berpikir-pikir untuk punya tas gunung Eiger
biar lebih nyaman ketika travelling.
Saya butuh piknik. Saya ingin merasakan momen
apa yang disebut Pico Iyer sebagai ‘menghilang’. Menghilang bukan lari.
Menghilang adalah momen mengambil jarak, melihat lebih jernih segala
sesuatunya.
Keesokan hari, kami sepakat bertemu sekitar
pukul sembilan pagi. Tempat janjian kami dan Landra adalah Mc.D Istana Plaza
Bandung. Ketika kami sampai, teman-teman lain sedang sarapan. Landra
mengenalkan kami pada Oswald dan Erwin, cameraman.
Ada juga Kang Kaisar, tour leader
kami di Pangandaran, Pak Dadang dan Kang Erik, driver.
Kami menaiki dua mobil, Kang Erik bersama
Oswald dan Erwin. Peralatan kamera dan segala sesuatunya memang cukup
menghabiskan tempat. Sedangkan saya dan Eva bersama Landra dan Pak Dadang di
mobil lainnya. Waktu tempuh cukup panjang, dari pukul sebelas siang, kami
sampai di penginapan RiverSider, Batu Karas, Pangandaran, hari sudah magrib.
Kami memang sempat berhenti untuk santap makan siang di sebuah tempat makan
sederhana dengan menu andalan masakan khas Sunda. Biar kecil, tempat makan itu
tidak pernah sepi pengunjung.
Selama perjalanan, kami bercakap-cakap
ringan, saling mengenal satu sama lain. Ternyata Landra ini masih belia sekali.
Saya kagum atas keberaniannya mencoba hal-hal baru tanpa rasa takut. Angan saya
melayang pada masa saya seumuran Landra. Umur 22 tahun, saya masih kuliah, saat
pertama kali dengan nyali besar saya turun ke dunia bisnis. Tak ada rasa cemas
akan ambruk. Energi optimisme melimpah ruah. Biarpun berakhir gagal, tetap
merasa gagah. Ah, masa muda, masa pencarian, masa petualangan.
Sedangkan Pak Dadang adalah pemilik rental
mobil yang sudah bekerja sama dengan beberapa stasiun tv swasta sebagai
penyedia kebutuhan transportasi luar kota.
Magrib di Batu Karas, Pangandaran, terasa sunyi.
Jalanan lengang. Sesekali kendaraan bermotor lewat depan penginapan, suaranya
berdesing seperti lalat terbang. Penginapan RiverSider terletak di pinggir
sungai Cijulang yang ujungnya bermuara ke laut, sekitar 3 Km dari penginapan.
Lampu-lampu menyala memantul genit ke permukaan sungai gelap.
Kamar grup perempuan dan laki-laki
bersebrangan, berjarak beberapa langkah saja. Model kamarnya seperti rumah
panggung. Di bawahnya ada bale-bale menghadap sungai, dan toilet.
Makan malam tiba. Teman-teman yang telah
selesai mandi mulai berkumpul di semacam ruang pertemuan untuk briefing acara besok. Karena Kang Kaisar
ada keperluan, hadirlah sosok laki-laki kecil mungil berwajah ramah, beliau
adalah Kang Yaya. Kang Yaya menceritakan pada kami asal muasal kenapa Goa
Sinjang Lawang ini menjadi tempat wisata. Di wilayah Pangandaran ini, masih ada
sekitar 150an goa perawan.
Mencari pekerjaan bagi sebagian besar
masyarakat Pangandaran terasa sulit. Kekayaan alam menjadi korban. Bukit-bukit
kapur dikeruk, pohon-pohon ditebang demi memenuhi kebutuhan hidup. Prihatin
melihat kondisi tersebut, sekelompok masyarakat berinsiatif membuka cagar alam
goa menjadi tempat wisata. “Biar masyarakat jadi guide, tour leader, atau life
guard saja. Dengan begitu, masyarakat akan meninggalkan pekerjaan mengeruk
dan menebang,” ujar Kang Yaya. Gerakan ini rupanya cukup efektif.
Saya sendiri sempat melihat gelondongan
kayu-kayu di pinggir jalan menuju penginapan. Sekarang saya paham kenapa begitu
banyak pemandangan tersebut terlihat. Kemudian saya ingat novel Ayu Utama yang
berjudul Bilangan Fu. Ingat tokoh Parang Jati yang memerangi pengrusakan alam
dengan membangun dan memberdayakan SDM sekitar. Kalau tidak salah, setting
novel tersebut di Watugunung, dekat Pangandaran. Kalau tidak salah.
Sesaat saya merasa malu. Malu karena selama
ini saya masih sibuk dengan diri sendiri. Pencarian diri yang tak berkesudahan mengalihkan
saya terhadap fenomena-fenomena dunia sekitar. Di usia yang kata orang sudah
matang ini, apa yang sudah saya lakukan demi kemaslahatan manusia? Saya takkan
bisa bergerak sampai sana jika saya tak selesai mengenali diri, mengetahui apa
yang saya butuhkan.
Keasyikan merenung, hampir saja membuat saya
melewatkan penjelasan Kang Yaya tentang teknis cave tubing di Goa Sinjang Lawang. Katanya, di dalam goa ada air
yang kedalamannya mencapai 7 meter. Diam-diam, saya dan Eva merinding. Kami ini
punya phobia air.
Wah saya suka dengan tulisan mbak kadang kta memerlukan waktu unutk menghilang.. salam kenal mba :)
ReplyDeleteSamapi bingung mau komen apa, antara terlalu banyak kata yang mau dketik malah jadi speechless x) yang pasti setuju banget sama Silaturahmi, bisa dikatakan ini juga bagian dari perjalanan itu sendiri :)
ReplyDelete