[Cerpen] Musim Timur |
Aku
benci laut!
Aku
benci pantai, laut, apalagi samudra. Terkadang aku benci danau. Apapun nama
tempat di dunia yang menampung air dalam skala besar. Aku takut. Tak bisa
berenang. Atau mungkin karena sejak kecil, aku telah dihantui mimpi air bah.
Tsunami. Bahkan jauh sebelum aku tahu peristiwa gelombang besar itu bernama
Tsunami.
Mimpi
itu terus berulang hingga dewasa. Aku berada di kaki pantai, menikmati ombak
menggelitiki kaki. Kerang-kerang berwarna terang terhampar di hadapan.
Kupunguti satu persatu. Saat aku mendongak, gulungan air berwarna hitam
menghantamku. Kemudian aku akan terbangun dengan keringat membanjir.
Aku
benci laut!
Ah,
tapi rupanya, aku lebih membenci diriku sendiri, telah membiarkan sosoknya
menenggelamkan diriku. Membiarkanku menceburkan diri pada lautan air mata. Sementara
satu sosok baru berusaha menjeratku ke palung untuk tidak pernah muncul lagi ke
permukaan. Aku terlalu takut menghadapi cinta yang baru, setakut menghadapi
lautan.
***
Catatan satu: Desa Tanjung Pasir
terletak di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi
Banten. Desa ini
merupakan salah satu kampung nelayan. Sebagian besar penduduknya miskin dan berpendidikan
rendah.
Akhir
bulan September seharusnya hujan turun malu-malu, tapi di Desa Tanjung Pasir
ini hampir setiap bulan, udara panas dan lembap. Seyogyanya desa nelayan.
Celakanya, siksaan suhu panas ini bertambah parah dengan adanya pabrik-pabrik
di kota sekitar. Pohon-pohon kelapa berdiri tegak, seolah menantang cerobong
asap. Siapa yang lebih kuat? Aku bertaruh, lama-kelamaan pohon-pohon itu justru
mati karena limbah yang mengalir ke akar-akar.
“Barang-barang
kamu sudah diturunkan semua?” tanya Bara, pemimpin teaterku. Aku mengangguk.
“Istirahatlah, nanti malam kita ada rapat dengan keluarga besar karang taruna.”
Bara menepuk bahuku ringan, sinar matanya bermain-main berusaha menembus
pertahananku. Aku bergeming.
Aku
harus siap membuat benteng-benteng setebal tembok China. Jangan sampai luka
lama terkuak kembali, apalagi hatiku masih bernanah karena lelaki lain. Aku
tahu betul perangai Bara, sang petualang, dia senang menaklukan hati perempuan
untuk kemudian berlabuh pada pemilik hati yang lain. Baginya, perempuan tak
lebih dari tempat peristirahatan sementara.
Menghadapi
sikap dinginku, Bara kemudian melenggang menuju rumah kayu. Rumah kayu itu
berdiri gagah. Berandanya yang diisi furniture kayu mahal. Rumah ini terlalu mewah.
Sepanjang jalan menuju desa, aku memperhatikan bentuk rumah-rumah sederhana.
Banyak juga di antaranya terbuat dari triplek dipayungi atap terbuat dari
asbes. Ada juga yang tebuat dari bambu tanpa pernis. Bagaimana bisa rumah kayu
semegah ini berdiri di desa yang kelihatannya miskin? Terlalu kasarkah jika aku
katakan miskin?
Butuh
waktu sekitar tiga jam untuk membenahi rumah kayu ini. Ukurannya cukup besar,
memiliki enam ruangan yang tiga di antaranya adalah kamar dengan kasur ukuran Queen. Menurut pengurusnya, kayu rumah
ini sengaja didatangkan dari Kalimantan. Pemiliknya jarang datang, pastilah
empunya adalah orang kaya—yang menurut desas-desus adalah salah satu anggota
dewan.
Sehabis
shalat Isya, anggota Karang Taruna mulai berdatangan. Aku dan Yeni—satu-satunya
teman perempuan dalam tim—sibuk bolak-balik membawakan minuman dan makanan.
“Anila,
Yeni, sini kumpul di depan!” panggil Bara.
Aku
dan Yeni manut saja. Puluhan anak-anak berwajah polos mengintari kami. Hanya
sedikit yang terlihat sudah berumur. Ekspresinya penuh kekaguman, entah karena
apa. Bara memperkenalkan kami satu persatu, anggota teater Kala. Kami diutus Direktorat
Pesisir dan Lautan dalam melakukan penyadaran masyarakat tentang isu perubahan
iklim dan kebersihan lingkungan melalui pendekatan seni Teater. Anggota Karang
Taruna menangguk-angguk, entah mengerti, entah tidak. Aku sedikit sangsi.
Giliran
mereka memperkenalkan diri. Ketua Karang Taruna, Mas Waluyo mengomandoi
anak-anaknya. Sebagian besar sulit berkomunikasi dengan kami. Mereka berkata
terbata-bata. Sepertinya tugas kami cukup berat untuk mengajari mereka ilmu
teater.
***
Catatan dua: Aku mendapat tugas
membuat naskah. Sejauh ini proses pembuatan naskah lancar saja, kecuali bagian
para nelayan yang sedang menangkap ikan di laut. Sialan!
“Kakak,
besok ikut berlayar bersama kami, kan?” tanya Udin, salah satu anggota Karang
Taruna dengan mata mengerjap-ngerjap. Wajahnya jadi terlihat lucu.
Kami
beristirahat di beranda setelah berlelah-lelah mengintari pasar. Seharian ini
giliranku memasak—kami bersepuluh sepakat untuk bergantian masak dan
membersihkan rumah. Untuk sampai di pasar, aku harus naik kendaraan umum.
Jaraknya cukup jauh, butuh setengah jam waktu perjalanan. Udin berbaik hati
mengantarkanku dengan kendaraan bermotor.
“Kak!”
hardik Udin tidak sabar. Aku mengangguk lemah.
Aku
mengigit bibir kuat-kuat. Berlayar? Mengarungi laut? Aku bersungut-sungut dalam
hati, kenapa kami harus melakukan observasi sedalam ini. Hanya agar naskah yang
akan kami pentaskan terasa nyata. Kenapa aku harus berada di laut? Bagaimana
kalau perahu kami tenggelam?
Udin
membantuku membawa berbungkus-bungkus bahan masakan ke dapur. Udin berumur
delapan belas tahun, dia punya adik laki-laki bernama Odin. Keduanya termasuk
dekat denganku. Pernah satu kali, ketika kami menyambangi pantai, Udin
bercerita padaku tentang keinginannya bersekolah. Rata-rata penduduk sini putus
sekolah pada tingkat sekolah dasar atau menengah. Keadaan ekonomi keluarga
membuat mereka seolah tidak punya pilihan. Jumlah sekolah di desa ini cukup
memperihatikan, dengan total penduduk mencapai sembilan ribu lebih, hanya ada
satu sekolah dasar, satu sekolah menengah, dan satu sekolah menengah atas.
Pengetahuanku itu didapat dari hasil kunjungan ke kantor kepala desa. Demi
kepentingan laporan.
“Masak
apa hari ini?” tanya Bara mengagetkanku. Rupanya Udin sudah pulang.
“Sayur
asam dan prekedel,” jawabku malas.
“Tidak
masak daging?” ejeknya.
Wajahku
memerah. Sialan! Partner masakku adalah Bara. Sebagai lelaki, dia jago masak.
Hidangan olahannya sedap di lidah. Jelas-jelas dia tahu aku tidak bisa mengolah
daging. Kemampuan memasakku meningkat pesat karena kewajibanku di rumah ini.
Aku memang tidak punya keinginan untuk bisa memasak. Mama sering mengeluhkan
itu. Pertama kali aku memasak untuk tim, teman-teman tidak berkomentar. Tapi
dari sisa makanan yang masih banyak, aku tahu rasanya pasti payah.
“Kak
Anilaaa…!” teriak anak-anak Karang Taruna. Sesaat kemudian muncul Ngkong Azis,
Edo, dan Jaya membawa seplastik besar ikan laut segar.
“Kak,
kita apakan ikan-ikannya?” tanya Edo.
Aku
memandang nanar Bara, meminta pertolongan.
“Di
bakar saja,” tukas Bara cepat.
Kami
berjalan beriringan menuju halaman depan. Nkong Azis dan Jaya menyiapkan
pembakaran, Edo membersihkan sisik ikan dan mengeluarkan jeroan. Sementara itu,
Bara meracik bumbu.
“Ini
ikan apa?” tanyaku, menunjuk potongan ikan berwarna putih pucat.
“Oh,
ini potongan anak ikan hiu,” jawab Edo.
“Bukannya
tidak boleh menangkap ikan hiu? Kamu tidak takut digigit?” Aku mengernyit.
Edo
mengakak, “ikannya masuk jaring, Kak.”
Aku
menggelengkan kepala keras-keras, tak habis pikir. Akhirnya aku membantu Bara mengolesi
ikan-ikan dengan bumbu. Seandainya saja suatu hari nanti, aku, anak-anak, dan
suamiku memasak bersama seperti ini. Alangkah menyenangkannya. Apa? Suami! Anak-anak!
Tidak-tidak! Enyahkan impian itu dari anganku! Rasanya semakin mustahil untuk
menyandarkan impian ini pada Bara.
Perutku
mendadak melilit. Sakit. Perih. Naik ke ulu hati. Menyebarkan kenangan yang
pelan-pelan membuat jiwaku busuk. Tiga bulan yang lalu harusnya jadi peristiwa
maha penting dalam hidupku. Hari pernikahan!
Kupikir
hanya ada dalam roman cengeng atau sinetron adegan mempelai pria kabur.
Sayangnya, itu terjadi dalam hidupku. Tidak sedramatis dimana mempelai
perempuan ditinggal di depan penghulu dan para tamu menunggu dengan cemas. Aku
masih beruntung karena sebulan sebelumnya, lelaki pengecut itu membatalkan
perkawinan kami. Alasannya, dia ingin menggapai impiannya. Kenapa dalam kasus
seperti ini perempuan seolah menjadi beban?
***
Pasir
di bawah kaki berwarna kecoklatan. Di beberapa bagian malah terlihat hitam
bercampur sampah-sampah dan mungkin oli. Sejauh mata memandang, hanya para
nelayan yang bermain ombak, menarik perahu mereka sampai kedalaman.
Aku
mulai berjalan menyusuri tangga dermaga menuju perahu kecil bercat biru muda,
beberapa bagian telah terkelupas dimakan waktu. Tim kami disebar ke beberapa
perahu menuju pulau-pulau kecil yang berbeda. Aku kebagian berlayar bersama
Udin, Jaya, dan Bara menuju Pulau Rambut. Tepat di depan perahu, rasa takutku
akan laut kambuh.
“Ayo
cepat naik!” perintah Bara melihat kengerianku.
“Ayo,
Kak,” teriak Udin dan Jaya bersamaan.
“Aku
takut,” cicitku.
“Tidak
apa-apa, Kak. Aman, kok,” ucap Udin sambil meraih tanganku.
Udin
dan Jaya menatapku tenang, sinar mata mereka memberiku kekuatan. Perlahan,
kunaiki perahu tua itu. Jaya mengengkol perahu, beberapa saat kemudian perahu
mulai melaju. Perahu digerakan oleh semacam motor yang terletak di belakang.
Suaranya agak bising. Tanganku mencengkeram erat sisi perahu. Bara menggenggam
sebelah tanganku.
Menangkap
ketakutanku, Udin dan Jaya terus berceloteh ringan. Mereka bercerita tentang
para nelayan. Di Desa Tanjung Pasir
terdapat beberapa jenis nelayan, di antaranya: nelayan pancing; nelayan jaring,
nelayan rawe, nelayan serok, nelayan sudu, nelayan bubu, nelayan bagang, dan
nelayan jala. Udin dan Jaya sendiri termasuk kedalam jenis nelayan
jaring.
Jaya
mengeluarkan sebuah alat mirip handphone.
“Ini GPS,
Kak. Kami menggunakannya
alat ini
kalau mau melakukan pelayaran yang cukup jauh,”
ucapnya bangga.
“Wih,
gaya betul!” seloroh Bara. Mereka tertawa-tawa.
Siang
ini aku menangkap keriangan lebih Udin dan Jaya. “Kalian tampak senang?”
tanyaku tak bisa menahan penasaran.
“Hari
ini kita akan dapat banyak tangkapan ikan! Kakak akan lihat sendiri,” jawab
Jaya.
Edo
menjelaskan bahwa bagi Nelayan
Tanjung Pasir ada
dua musim, yaitu Musim Barat (November-April) di mana jumlah ikan lebih sedikit
diakibatkan gelombang laut kencang; dan Musim Timur (Mei-Oktober) di mana
jumlah ikan meningkat karena gelombang laut cenderung stabil. Di tengah-tengah
Musim Barat dan Musim Timur ada yang mereka sebut Musim Utara. Musim Utara
adalah musim yang tidak disukai nelayan, karena ombak besar kerap kali merusak
perahu nelayan. Oleh karena itu, mereka tidak melaut pada Musim Utara.
Aku mengangguk mengerti.
“Seharusnya
kalian khawatir, karena sekarang bulan Oktober. Sebentar lagi kalian akan menghadapi
Musim Utara,” komentarku.
Edo
dan Jaya terbahak. “Justru karena itu, Kak. Selagi masih bisa mendapat
tangkapan banyak kenapa harus mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi?”
Ucapan
mereka seperti menamparku. Bara melirikku tajam. Aku menunduk.
Tiba-tiba
saja perahu berhenti mendadak, seperti tersendat sesuatu. Udin dan Jaya
memeriksa mesin perahu. Udin memaki karena rupanya ada rumput laut terjerat
mesin. Jaya membuka bajunya kemudian menceburkan diri ke laut. Cukup lama
sampai dia muncul ke permukaan. Jaya memberi kode pada Udin untuk segera
menyusulnya menyelam ke bawah perahu.
Kuedarkan
pandanganku, ternyata kami sudah jauh dari daratan. Pulau Rambut belum juga
terlihat. Perahu mulai diombang-ambing ombak.
“Tenang,
aku ada di sini,” bisik Bara di telingaku.
Perahu
bergoyang makin hebat. Aku punya firasat buruk kalau mimpiku akan menjadi
kenyataan. Kenapa Udin dan Jaya tidak muncul-muncul? Apakah mereka kehabisan napas
dan … berhenti berpikiran buruk Anila!
Kejadiannya
begitu cepat, perahu kami seperti dihantam badai. Perahu berbalik dan tubuhku
terjun bebas ke dalam air. Seketika pandanganku menjadi gelap. Lamat-lamat aku
membuka mata, rasa perih menyergap. Tubuhku terus melesat ke dalam laut. Air
laut terasa semakin dingin. Semakin gelap.
“Gerakan
kaki dan tanganmu, Anila!” teriak Bara. Suaranya begitu jauh.
Tangan
dan kakiku mematuhi perintah itu. Bergerak-gerak dengan panik.
“Selaraskan
gerakan tubuhmu dengan aliran ombak!” suara Bara lagi.
Aku
mulai kehabisan napas. Lemas. Aku menyerah. Apakah ini wajah kematianku, Tuhan?
Apakah lautan adalah kuburanku?
Tangan
yang kuat meraih pinggangku, membawaku ke permukaan. Udara segar menyerang
paru-paruku. Aku terbatuk-batuk. Bara menepuk-nepuk punggungku.
“Bernapas
pelan-pelan, gerakkan kakimu. Ayo kita menuju perahu.”
Udin
dan Jaya meraih kedua lenganku. Diangkatnya tubuhku ke atas perahu. Aku
mengigil kedinginan. Air mata merembes dari kedua pelupuk. Kupeluk kedua
kakiku. Bara meraih wajahku.
“Anila,
aku tidak tahu kenapa kamu begitu takut pada laut. Tapi aku tidak mau kamu ke
sini hanya untuk melarikan diri dari kenyataan. Aku mau kamu berani menghadapi
kenyataan. Laut tidak seburuk yang kamu pikirkan. Laut telah memberikan
kebijaksanaannya pada para nelayan. Jadilah nelayan, Anila. Belajarlah mencintai
laut. Balajarlah mencintaiku.”
Mendengar
perkataan Bara, aku makin tergugu. Ingin sekali aku menyandarkan kepalaku pada
bahunya.
***
“Ayo
semuanya lari sepuluh keliling!” perintahku pada anak-anak Karang Taruna.
Terdengar lenguhan mereka, memprotes metode latihanku.
“Mau
tambah lama lagi latihannya?” teriakku. Mereka bungkam.
Matahari
berwarna kemerahan. Senja.
Suara
ombak berdesir-desir. Menghujani pendengaranku. Iramanya mengingatkanku pada
nyanyian paling merdu. Aku duduk di pasir, tidak mengindahkan warnanya yang
hitam.
“Woy,
ikutan latihan! Jangan duduk-duduk enak. Mau dihukum berenang sampai Pulau
Rambut?” ujar seseorang di belakangku.
“Galak
sekali bapak sutradara ini,” candaku pada Bara. Dia ikut duduk di sebelahku.
“Sudah
beres naskahnya?” tanyanya.
“Nanti
malam kita mulai proses reading.”
“Bagus.
Apa judul naskahnya?”
“Musim
Timur. Musim pesta para nelayan.”
Bara
meremas jari-jariku. Dia mengecup keningku lembut.
“Kak!
Latihan, Kak!” koor anak-anak serempak.
Catatan tiga: Laut telah melahirkan
anak-anak ombak. Para Putra Samudra. Aku mencintai mereka seperti mencintai
hidupku, kini, dan esok.
(Global Potitioning
System)
Cerpen ini juga dimuat di kampusfiksi.com
Ooh...happy ending. Awalnya benci jadi suka ya.. Nanti aku balik baca lagi deh. Td ngebut. Ada anak di samping...ribut klo ibunya pegang hp
ReplyDeleteMantap Vie, oleh2 liburan kah?
ReplyDeletekeren
ReplyDeleteAnak ombak berlari dikejar pasir
keren
ReplyDeleteAnak ombak berlari dikejar pasir
keren
ReplyDeleteAnak ombak berlari dikejar pasir
Numpang ya min ^^
ReplyDeleteAyo buruan bergabung di www,kenaripoker
Bonus 50% hanya deposit Rp 10.000 sudah bisa mainkan banyak game disini, TO rendah tidak menyekik player, server baru dengan keamanan dan kenyamanan yang lebih!
hanya di kenaripoker
WHATSAPP : +855966139323
LIVE CHAT : KENARIPOKER COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER COM