Seluruh peserta Gramedia Writing Project Batch 2 |
Masih ingat tentang curhat colongan saya di workshop Gramedia Writing Project batch 2? Nah, inilah tanggapan Ci Hetih, seorang editor senior.
Menurut Ci Hetih, seorang penulis sebaiknya
enggak sering-sering menulis review. Bukan saja penulis, seorang movie maker
pun sebaiknya begitu. Ci Hetih mengambil contoh Joko Anwar yang dulunya sering
bikin review film, ketika sudah jadi
sutradara, beliau hanya sesekali membuat review
film. Jujur saja sih, saya lupa alasan lain kenapa penulis jangan nulis review. Sedikit banyak saya memahami
pandangan Ci Hetih bahwa menjadi penulis dan reviewer itu seperti agen ganda, mengaburkan visi misi, membuat
kita bingung harus bersetia pada pihak mana (maaf kalau salah kesimpulannya ya,
Ci).
Itu kecolongan satu! Kecelongan dua yang
membuat saya tampak makin konyol adalah keluhan saya tentang rasa bosan baca teenlit! Yang saya tahu, ketika
seseorang menulis genre fantasi maka perbanyaklah membaca buku-buku fantasi.
Ketika seseorang menulis thriller
maka perbanyaklah membaca buku-buku thriller.
Berangkat dari pengetahuan tersebut, dalam proses membuat novel teenlit, saya memperbanyak membaca
novel-novel teenlit walaupun
seringkali saya ingin berteriak, “Bosaaaaan! Saya pengin baca buku yang lain!”
Kecolongan tiga: saya mengaku kalau saya
pernah ‘berpikir’ kalau saya enggak enjoy
nulis teenlit. Nah lho? Padahal
selama ini saya kan nulis teenlit
(dan personal literature). Jadi selama ini saya enggak menikmati, dong? Bukan-bukan,
bukan begitu. Sebelum terjun (dan sedikit terjebak) di dunia menulis teenlit, yang saya angan-angankan adalah
menulis chicklit dan thriller dewasa. Begitu kesempatan emas
itu datang, ternyata Tuhan memberikan saya jalan buat nulis teenlit. Dengan berbagai lika-likunya,
pada akhirnya saya menikmati menulis teenlit.
Ditambah lagi ketika saya membaca banyak novel teenlit yang berisi kebanyakan tentang cinta-cintaan. Saya merasa
terpanggil untuk menulis hal lain *terdengar samar-samar musik superhero*.
Emm … jadi begitulah, ketika mulut kebanyakan
bicara dari pada diam mendengarkan. Saya enggak tahu apa yang dipikirkan oleh
teman-teman lain tentang pengakuan saya. Mungkin tulisan ini semacam konferensi
pers terselubung *abaikan!*
Ada satu hal yang begitu membekas di hati, menurut Ci Hetih, menjadi penulis itu adalah jalan sepi yang panjang. Mampukah kita menjalaninya?
Ada satu hal yang begitu membekas di hati, menurut Ci Hetih, menjadi penulis itu adalah jalan sepi yang panjang. Mampukah kita menjalaninya?
Kembali ke acara workshop, setelah puas sharing dan menyimak materi dari Ci
Hetih, akhirnya kami bisa beristirahat sejenak. Saya sekamar dengan Icha yang
cantik dari Palembang. Ternyata Icha membawa oleh-oleh mpek-mpek Palembang.
Pernah beberapa kali ke Palembang waktu kecil, saya tahu rasa asli mpek-mpek
sana. Enaaaak banget! Sambil nulis ini, air liur saya sedikit mau menetes. Emmm
… yummi. Rencananya nanti malam, semua peserta akan makan mpek-mpek bersama.
Malamnya, panitia menjamu semua peserta di
restoran yang konon katanya enak. Saya pencinta kuliner ini mesti takluk nggak
berdaya teronggok sepi di kasur hotel karena rasa sakit makin menyiksa. Buat
berdiri saja saya susah apalagi mesti ikut ke restoran. Dengan berat hati, saya
izin ke panitia buat nggak ikutan. Mak Catz yang keibuan tergerak hatinya
menemani saya di kamar. Huhuhu kasian Mak Catz jadi kerepotan gara-gara saya
T.T Sebelum berangkat, seorang panitia memberikan saya obat-obatan dari kotak P3K yang tersedia.
Sampai jauh malam, akhirnya peserta dan
panitia kembali ke hotel. Saya dan Mak Catz dipanggil turun oleh teman-teman
untuk melaksanakan agenda tersembunyi kami yaitu tukar-menukar buku. Ada juga
Utha dan Kak Orin yang ikut(ikut)an hehehe. Saya bertukar buku dengan Ayu.
Foto bareng Mak Catz dan Kak Orin |
Agenda selanjutnya adalah mpek-mpek time! Dengan perasaan berdarah-darah,
saya pamit ke kamar dan nggak ikutan pesta mpek-mpek. Hasrat ingin makan
mpek-mpek dan menikmati malam panjang bersama teman-teman pupus sudah karena
badan saya sakit lagi T.T Lebih baik saya menyiapkan badan buat hari
berikutnya. Sebuah isu beredar bahwa besok, setiap peserta akan disidang (atau
dibantai) karyanya oleh para editor. Isu horor itu bikin semua peserta tegang
setengah mati.
Hari kedua workshop Gramedia Writing Project dibuka dengan sarapan pagi dan
obrolan seru seputar pesta mpe-mpek semalam. Cerita-cerita lucu mengalihkan
perasaan kami dari bayang-bayang horor sidang karya. Keramaian itu enggak
berlangsung lama karena kami semua dipanggil ke ruangan. Empat orang teman kami
dipanggil satu persatu menghadap para editor. Masa-masa sulit itu sebenarnya
ada di fase menunggu. Apalagi ketika teman yang habis disidang cuma senyum-senyum
dan enggan menjelaskan bentuk sidangnya kaya gimana. Berasa sidang skripsi deh!
Huft.
Siapa saja editor Gramedia yang ikut
menyidang saat itu? Ada Ci Hetih, Kak Raya, Kak Lana, Kak Nina, dan Kak Asty.
Setiap peserta berhadapan dengan dua orang editor, kecuali Ci Hetih yang
menangani peserta sendirian.
Sidang karya peserta Gramedia Writing Project batch 2 |
Akhirnya saya dipanggil menghadap Kak Nina
dan Kak Asty. Wajah mereka ramah dan keluarlah sebuah pertanyaan dari mulut
mereka, “Menurut kamu apa kekurangan naskahmu?”
Sidang karya peserta Gramedia Writing Project batch 2 |
Jleb! Emm … kali ditanya kekurangan naskah
saya, ya banyak, Kak T.T Eh ternyata sidang ini lebih ke diskusi karya. Kak
Nina dan Kak Asty banyak ngasih masukan buat naskah saya yang baru satu bab.
Mereka asyik banget sekaligus cukup tajam menilai sebuah karya. Diskusi kami
berlangsung selama setengah jam. Sebenarnya saya pengin ngobrol lebih banyak
lagi sih, tapi takut kekonyolan saya muncul lagi.
Selesai sesi sidang, kami menyimak materi
dari Kak Nina dan Kak Asty seputar self
editing.Enggak sampai disitu, kami pun dikasih peer membuat karya bersama.
Oh ya, setiap peserta diberi waktu membuat revisi novel masing-masing selama
tiga bulan. Duh, jangankan revisi,
nulisnya saja belum selesai, batin saya. Itu tantangan yang mesti
ditaklukan semua peserta. Semangat Evi!
Acara belum berakhir, kami akan
melanjutkannya dengan mengunjungi central
park buat menghadiri acara Pak Sapardi Djoko Damono. Lagi-lagi saya mesti
izin buat alfa menghadiri acara tersebut. Badan saya sudah enggak tahan lagi.
Kabar baiknya, kami menerima oleh-oleh berupa goodiebag yang berisi paket buku, sweter yang keren abis, dan voucher buku sebesar dua ratus lima
puluh ribu rupiah! Yeay *\^^/*
Narsis dulu pakai sweter |
Sementara yang lain melaju ke central park, saya cuma bisa dadah-dadah
di loby hotel. Sampai bertemu lagi teman-teman GWP batch 2, panitia, dan para
editor. Sampai bertemu di event keren berikutnya *\^^/*
Pucat sekali foto terakhir
ReplyDeleteIya, saya lagi sakit waktu itu :)
Delete