![]() |
Kevin Gani. Sumber foto dari https://www.radioidola.com/2025/kevin-gani-ketua-yayasan-garda-pangan/ |
Ketika saya bercerita bahwa saya pernah kelaparan, respon orang berbeda-beda. Ada yang tidak percaya, ada yang kasihan, menawarkan bantuan, atau biasa-biasa saja. Rasa lapar yang membakar itu begitu membekas dalam perjalanan hidup saya hingga saya memutuskan untuk membuat Gerakan Pangan Jumat Berkah. Gerakan ini sudah saya lakukan Bersama teman-teman hampir dua tahun lamanya. Ceritanya pernah saya tulis di "1 Tahun Gerakan Pangan Jumat Berkah". Gerakan kami berkembang dari menerima donasi uang untuk membuat masakan hingga menerima kelebihan makanan. Namun penerimaan donasi ini sepertinya tidak berkembang. Padahal menurut laporan Food Waste Index 2021 yang dirilis oleh United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menghasilkan sekitar 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahun. Artinya ada begitu banyak makanan layak tapi terbuang sia-sia. Saya hampir putus asa untuk mengembangkan program ini hingga saya mendapatkan informasi tentang Kevin Gani dengan Garda Pangannya.
Sekilas kegelisahan dan visi dari Kevin Gani dengan Garda Panganya begitu mirip dengan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Namun, Kevin Gani berhasil membuat Garda Pangan lebih berdaya dan berdampak. Gerakan Pangan Jumat Berkah yang saya dan teman-teman lakukan masihlah Langkah kecil. Biasanya kami menyiapkan makanan setiap Kamis dan Jumat. Kami lalu membagikan makanan kepada para penerima manfaat yang sudah terdata maupun belum, sebab kami memang sudah bekerja sama dengan RT dan RW setempat. Biasanya para penerima manfaat tersebut adalah lansia, janda, penyandang stroke, ibu hamil, penyandang disabilitas, yatim, piatu, yatim piatu, ODGJ, dan para pekerja sektor informal atau mereka yang tidak punya pekerjaan sebagai masyarakat prasejahtera. Kami percaya, memberi makan bukan sekadar soal perut kenyang, tapi tentang membangun sumber daya manusia lebih baik.
Di sela kegiatan itu, saya
sering bertanya-tanya: di satu sisi kami berjuang mencari makanan untuk
dibagikan, tapi di sisi lain, begitu banyak makanan justru terbuang sia-sia.
Makanan yang masih layak, tapi berakhir di tempat sampah. Barangkali tidak
semua orang menyadari bahwa akses ke pangan merupakan bentuk kesetaraan dalam
kemanusiaan. Hal ini jugalah yang membuat saya semakin tertarik pada sosok
Kevin Gani dan Garda Pangan yang kerap menyerukan tentang kesetaraan pangan.
Kevin Gani dan Garda Pangan: Misi Penyelamatan Makanan
Kevin memulai langkahnya di Surabaya, sebuah kota besar yang menyimpan kontras. Di satu sudut, restoran dan hotel mewah menumpuk sisa makanan, sementara di sudut lain, masih banyak warga yang kesulitan makan sehari sekali. Pada tahun 2017, saat itu Kevin sedang menjadi mahasiswa. Ia menyadari bahwa jumlah food waste di Indonesia yang mencapai puluhan juta ton per tahun. Data itu menghentak hatinya. Bagaimana bisa negeri yang kaya akan hasil bumi justru menjadi salah satu penyumbang sampah makanan terbesar di dunia?
![]() |
Kevin Gani dan tim Garda Pangan Sumber foto: https://www.radioidola.com/2025/kevin-gani-ketua-yayasan-garda-pangan/ |
Dari kegelisahan itu, Kevin tak ingin berhenti hanya pada rasa prihatin. Ia mulai bertanya: mungkinkah makanan berlebih diselamatkan sebelum terbuang? Mungkinkah nasi, sayur, dan lauk dari hotel atau acara pernikahan bisa dialihkan kepada mereka yang membutuhkan, asalkan aman dikonsumsi? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pijakan awal bergabungnya Kevin Gani dengan Garda Pangan pada tahun 2018, sebuah gerakan yang mengusung semangat menyelamatkan makanan berlebih agar tak sia-sia.
Konsepnya sederhana tapi berdampak besar. Garda Pangan menjalin kerja sama dengan hotel, katering, restoran, dan toko roti di Surabaya. Ketika ada makanan berlebih, tim Garda Pangan segera bergerak melakukan misi penyelamatan. Mereka menjemput makanan, memeriksa kualitasnya, menyimpannya dengan standar keamanan pangan, lalu menyalurkannya ke panti asuhan, panti jompo, dan masyarakat miskin kota. Gerakan ini bukan sekadar memberi makan, tetapi juga menyelamatkan bumi dari beban sampah organik yang bisa berubah menjadi emisi gas rumah kaca.
Dalam satu wawancara, Kevin pernah berkata, “Makanan bukan sampah. Setiap butir nasi punya cerita dan tenaga manusia di baliknya.” Kalimat itu menggema kuat bagi saya. Sebab memang benar, di balik setiap hidangan ada tangan petani yang menanam, ada tenaga manusia yang memasak, ada air dan tanah yang memberi kehidupan. Ketika makanan terbuang, yang hilang bukan hanya nasi atau lauknya, tapi juga penghargaan terhadap semua proses itu.
Selama bertahun-tahun, Garda Pangan berkembang menjadi lebih dari sekadar komunitas pengumpul makanan. Mereka membangun sistem dan standar yang profesional. Relawan dilatih soal food handling, penyimpanan, dan distribusi. Mereka punya gudang pendingin untuk memastikan makanan tetap aman. Bahkan, Garda Pangan kini juga melakukan edukasi publik tentang gaya hidup food conscious yaitu bagaimana kita bisa mengelola bahan makanan di rumah agar tidak berlebih, atau bagaimana porsi makan di acara-acara bisa diatur agar tidak mubazir.
Di balik gerakannya yang sistematis, Kevin selalu menekankan bahwa Garda Pangan bukan tentang “charity” semata, tapi tentang restorasi nilai kemanusiaan. Dalam wawancara dengan Astra, ia pernah bercerita tentang seorang ibu penerima bantuan makanan yang menatap bungkus nasi dengan mata berkaca-kaca. “Biasanya saya makan dari sisa orang,” kata sang ibu. “Hari ini saya makan dari makanan terbaik.” Di momen-momen seperti itu, Kevin menyadari bahwa yang ia selamatkan bukan hanya makanan, tapi juga martabat manusia.
Gerakan ini perlahan menginspirasi banyak pihak. Di masa pandemi COVID-19, Garda Pangan memperluas perannya dengan mendistribusikan paket sembako dan bahan pangan kepada warga terdampak. Mereka menggandeng relawan, perusahaan, hingga pemerintah kota. Di tengah ketidakpastian, Garda Pangan menjadi jembatan harapan untuk membuktikan bahwa kolaborasi bisa lahir dari rasa empati.
Menariknya, Kevin tidak datang dari latar belakang gizi, pertanian, atau sosial. Ia hanya seorang pemuda yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Ia menamai dirinya “food rescuer,” seseorang yang bertugas menyelamatkan makanan sebagaimana petugas pemadam menyelamatkan nyawa. Seperti api kecil yang menyala di kegelapan, semangatnya menjalar ke banyak tempat. Kini, konsep food rescue mulai diikuti di berbagai kota di Indonesia.
Kini, Garda Pangan telah
menyalurkan puluhan ton makanan yang terselamatkan dari tempat sampah. Mereka
menjadi pionir gerakan penyelamatan pangan di Indonesia, dan Kevin Gani pun
menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra atas dedikasinya. Namun
jika ditanya apa yang paling berarti baginya, mungkin bukan piala atau liputan
media, melainkan wajah-wajah yang tersenyum ketika menerima seporsi makanan
hangat.
Api Inspirasi dari Kevin Gani dan Garda Pangan
Ketika membaca kisah Kevin Gani, saya seperti bercermin. Di gerakan Jumat Berkah, selain memasak bahan makanan yang kami beli dari pasar, kami sering mengumpulkan bahan-bahan makanan sumbangan dari teman-teman. Kami menerima bahan-bahan yang mendekati kadaluarsa, belajar memilah mana yang masih layak konsumsi dan bagaimana mengolahnya. Mungkin skalanya lebih kecil, tapi semangatnya sama yaitu memberikan kesetaraan akses pangan.
![]() |
Salah satu menu Gerakan Pangan Jumat Berkah |
Saya juga bertemu dengan beberapa ibu dan bapak dengan berbagai problematika hidupnya hingga untuk makan saja sulit. Ada seorang ibu yang mengenakan tongkat dengan mata yang katarak parah. Beliau selalu datang lebih awal ke rumah saya yang dijadikan dapur umum. Setiap kali menerima makanan, beliau pasti berdoa dan berkaca-kaca. "Neng, Ibu doakan semoga rezekinya bertambah lancar sebab di dalam rezeki Neng, ada rezeki Ibu dan banyak orang," ucap beliau. Ada lagi seorang bapak yang kakinya cacat, bekerja di bengkel kecil. Baliau menerima makanan dengan khusyu dan syukur. Masih banyak cerita lain yang mengharukan namun tak jarang juga membuat saya geleng-geleng kepala.
Kevin Gani dan Garda Pangan memberi saya Pelajaran bahwa gerakan sosial tak harus besar sejak awal. Yang penting adalah niat untuk melihat bahwa setiap kelebihan makanan punya makna. Garda Pangan mengajarkan bahwa berbagi bisa dimulai dari dapur sendiri, dari kesadaran bahwa makanan adalah berkah yang harus dijaga, bukan dibuang. Ia juga mengingatkan kita bahwa mengelola sisa bukan hanya soal efisiensi, tapi tentang merawat bumi dan sesama.
Api inspirasi dari Kevin Gani dan Garda Pangan memberi saya keberanian untuk mengetuk pintu-pintu terdekat di lingkungan saya untuk ikut berbagi. Selama ini saya mengandalkan media sosial saja untuk mendapatkan donasi. Saya sering ragu untuk melibatkan misalnya ibu-ibu di komplek saya untuk menyumbangkan “kelebihan makanannya”. Di sisi lain, saya juga memang belum memiliki tempat penyimpanan. Sehabis ini, saya akan mempertimbangkan dengan serius tentang tempat penyimpanan yang lebih layak dan bagaimana metode menyimpan yang baik. Terutama, memikirkan bagaimana lebih banyak orang yang teredukasi tentang makanan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak agar kesetaraan pangan diperjuangkan bersama-sama.
Menutup tulisan ini, saya
teringat lagi aroma dapur setiap Jumat pagi. Mungkin di dapurmu pun ada cerita
yang sama, tentang nasi yang tersisa, tentang lauk yang belum sempat
dihangatkan. Bayangkan jika semua itu bisa menjadi berkah bagi orang lain,
bukan sekadar sampah di tong. Jika kamu tinggal di Bandung dan membaca tulisan
ini, tolong hubungi saya. Saya akan menjemput makanan-makanan tersebut. Mari
kita bagikan bersama-sama. Sebab saya percaya, makanan adalah bahasa cinta yang
universal. Saya harap, kamu pun percaya.
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
No comments:
Post a Comment