Amilia Agustin: Tak Selamanya Sampah itu Masalah Sumber foto: https://www.linkedin.com/in/amilia-agustin |
Di bulan Agustus dan September ini saya sangat
berhati-hati untuk membuang sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) yang
berada sekitar 500 meter dari rumah saya. Pasalnya sampah di sana menggunung.
Asli menggunung kayak gunung yang siap meletus dan berbau luar biasa tidak
sedap. Ini fenomena jarang karena biasanya kecepatan penanganan sampah di sana
baik sekali. Dalam sehari truk akan mengangkut sampah ke tempat pengolahan
sampah terpadu dua kali.
Usut punya usut, ternyata ini disebabkan oleh kebakaran TPS Sarimukti yang menjadi pembuangan sampah untuk wilayah Kota Bandung. Akibatnya sampah menumpuk di sejumlah titik di kota Bandung, bahkan sampai meluber dan menutupi separuh jalan. Bukan hanya di wilayah Punclut tempat saya tinggal saja.
Meski saya sudah membiasakan diri dengan mengolah sampah rumah tangga terlebih dahulu di rumah seperti memilahnya menjadi sampah organik dan nonorganik, saya masih akan membuang sampah ke TPS. Melihat gunungan sampah seperti sekarang, saya miris dan merasa ikut bertanggung jawab.
Amilia Agustin, si Ratu Sampah Sekolah
Agar bisa mengolah sampah rumah tangga, minimal di
tempat saya sendiri, saya berselancarlah di dunia internet. Informasi tentang
sampah membanjiri saya. Saya tidak terkejut menemukan premis-premis di mana
sampah menjadi sumber masalah. Namun, saya tercengang dengan gerakan-gerakan
pengelolaan sampah yang justru diiniasi oleh anak muda. Ternyata tidak semua
pemuda menghabiskan waktunya nyampah di sosmed #eh, ada juga yang membersihkan
sampah. Misalnya kelompok Pandawara yang isi sosmednya sampah semua. Secara
harfiah ‘sampah’ ya, karena memang aktivis mereka berurusan dengan sampah. Gerakan
mendaur ulang sampah yang dimotori lima anak muda cowok ini cukup signifikan. Sayangnya
mentalitas sebagian besar warga memang menyedihkan. Mereka dengan santai
membuang sampah, dan ketika ditanya kenapa buang sampah, tahukah akibatnya, dan
yang lain sebagainya, mereka dengan entengnya bilang “Tenang aja kan, ada
Pandawara.” Hadeuh.
Anak muda lain yang luar biasa yang memfokuskan diri pada pengolahan sampah adalah Amilia Agustin yang dijuluki si Ratu Sampah Sekolah. Seorang gadis muda yang membuktikan bahwa merawat lingkungan adalah tanggung jawab semua orang, baik itu orang dewasa ataupun anak muda.
Sama seperti banyak orang, Amalia pun resah melihat permasalahan sampah di lingkungannya. Tapi yang membedakan Amilia dengan kebanyakan orang adalah dia tidak hanya resah. Di tengah gonjang-ganjing global tentang sampah, dia lalu mencari akar masalahnya di mana, merumuskan jalan keluarnya, dan berbuat sesuatu. Semua orang barangkali bisa memiliki ‘ide brilian’ tentang mengolah sampah namun tidak semua orang bergerak. Amalia mempunyai keduanya. Ide dan bergerak. Dia membangun komunitas yang mengelola sampah berbasis sekolah lewat program “Go to Zero Waste School”.
Bagaimana Amilia memulai program tersebut? Amilia bersama teman-temannya sewaktu duduk di kelas XII di SMA 11 Bandung pernah mengajukan proposal program Karya Ilmiah Remaja “Go to Zero Waste School” kepada Program Young Changemakers dari Ashoka Indonesia. Program tersebut dimulai pada tahun 2005 dengan tujuan memberikan kesempatan kepada individu berusia 12-25 tahun untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip kewirausahaan sosial, dengan harapan mencetak pemimpin masa depan yang memiliki kapabilitas untuk membawa perubahan. Proposal Amilia disetujui dan mendapat bantuan operasional sebesar Rp2,5 juta. Menurut saya, dana tersebut tidak akan jadi apa-apa kalau tidak diberikan kepada orang yang tepat. Sejak itulah sebutan Ratu Sampah Sekolah didapuknya. Tentu sebutan itu dalam artian positif ya.
Tak Selamanya Sampah itu Masalah
Program Go to Zero Waste School ini pada intinya memiliki tujuan utama bagaimana mengolah berbagai macam limbah yang ada menjadi barang yang berguna. Program ini dibagi menjadi empat bidang pengelolaan sampah yaitu: pengelolaan sampah anorganik, sampah organik, sampah tetrapak, dan sampah kertas.
Pengelolaan sampah anorganik ini berupa pengolahan sampah menjadi karya. Misalnya, tas dari sampah plastik, pot bunga dari ban bekas, dan sebagainya. Lalu membuat pupuk dari limbah sampah organik. Pengolah sampah tetrapak diolah dengan kerjasama dengan Yayasan Kontak Indonesia. Sedangkan sampah kertas dibuat menjadi pesawat kertas dan dimainkan oleh anak-anak.
Apa yang dilakukan oleh Amilia, penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2010 dari Astra ini memiliki dampak ke lingkungannya. Bukan hanya sampah yang berkurang, tapi juga memberikan dampak ekonomi. Bagaimana mekanisme yang berdampak ekonomi itu? Sederhananya begini, misalkan mengolah sampak anorganik seperti sampah bungkus kopi. Bungkus-bungkus itu diolah menjadi tas. Lalu siapa yang mengerjakan? Tentunya bukan Amilia sendiri tapi dikerjakan oleh ibu-ibu di sekitarnya. Contoh lain adalah sampah organik seperti sampah makanan yang diolah menjadi pupuk. Kemudian produk yang tercipta dijual, dan hasilnya bisa buat warga juga. Dananya itu sebagian disisihkan kembali untuk pengolahan sampah. Lingkaran ini membuat sampah terdaur ulang, masyarakat memiliki penghasilan, dan dana bisa dijadikan infrastruktur untuk mengolah sampah lainnya. Tak selamanya sampah menjadi masalah.
Apakah yang dilakukan Amilia ini membuat sampah berkurang? Apakah yang dilakukan oleh Amilia ini bikin warga kaya raya dan jadi sultan? Tentu tidak. Tapi yang dilakukan Amilia ini bisa mengurangi sedikit sampah yang ada. Memang sampahnya masih banyak, tapi yang membedakan Amilia dengan orang lain adalah, dia berniat dan dia bergerak. Tidak hanya ngomel dan menyalahkan pihak lain. Seperti yang dinyatakan olehnya, bahwa masalah lingkungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab orang dewasa. Dia juga mengatakan bahwa masalah ini bisa diatasi asalkan kreatif dan konsisten.
Masuk akal dong? Kan, yang membuang sampah bukan hanya orang dewasa, anak muda juga bahkan sampai anak-anak. Kalau orang dewasa dan anak muda buang sampah bersama, lalu ketika lingkungannya kotor mengutuk bersama, kapan beresnya masalah sampah ini?
Amilia tidak hanya bekerja sendiri, dia bahkan menggandeng dan membina 4 sekolah negeri, yaitu SMP Alfacentaury, SMP Negeri 48, SMP Negeri 40, dan SMP Negeri 50 dalam pengelolaan sampah. Bahkan Program Go to Zero Waste School sudah menyebar ke seluruh sekolah di Indonesia.
Dengan era media sosial sekarang ini, sosok seperti Amilia ini bisa terekspos dan diketahui oleh banyak orang sehingga mudah-mudahan bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi untuk lebih peduli terhadap lingkungan, minimal lingkungan sekitarnya, lingkungan RT, ya minimalnya lingkungan rumahnya.
Kebakaran di TPA Sarimukti bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan kesadaran masyarakat paling tidak untuk mengelola sampah sejak dini. Ditambah inspirasi dari seorang Amilia Agustin, semoga bisa menjadi tambahan motivasi untuk memperbaiki lingkungan menjadi kebih baik di masa depan. Saya sendiri terinspirasi oleh Amilia. Bukan berarti saya tidak punya ide buat mengolah kertas bekas kuliah saya jadi kalung misalnya, tapi saya tidak bergerak. Melihat gerakan Amilia saya kembali bersemangat mendaur ulang sampah, setidaknya yang bisa saya olah.
Baru satu orang Amilia bisa memberikan dampak yang
banyak, bayangkan kalau ada seratus orang, seribu orang seperti Amilia?
Tentunya dampaknya akan sangat luar biasa. Siapa lagi yang mau menjadi next Amalia?
No comments:
Post a Comment