Membaca novel Mengadang Pusaran |
Ketika mempelajari
sejarah Indonesia di zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan, saya selalu tertarik
pada sudut pandang orang Tionghoa yang waktu itu merupakan masyarakat kelas
dua. Bagaimana pikiran dan perasaan mereka kala itu? Kelas pertama tentu saja orang-orang Eropa, kelas kedua menyejajari
orang Tionghoa adalah Timur Asing, terakhir pribumi. Pertanyaan tersebut mulai
terjawab saat saya membaca novel Mengadang Pusaran karya Lian Gouw.
Lebih menarik lagi
dari novel Mengadang Pusaran adalah yang diangkat dari sisi perempuan. Tak bisa
dinafikan, sejarah lebih sering mencatat kepahlawanan dari sudut pandang
laki-laki. Bambu runcing, senapan, dan sebagainya seolah melambangkan sejarah
dan melupakan anglo, tungku, alat jahit, dan seterusnya.
Novel Mengadang Pusaran |
Keterangan Novel Mengadang Pusaran
Judul:
Mengadang Pusaran
Penulis:
Lian Gouw
Penerbit:
Kanisius
Tebal:
440 halaman
Penerjemah:
Widjati Hartiningtyas
Penyunting:
Flora Maharani
Perancang
Sampul: Marius Santo
ISBN:
978-979-21-6697-2
Diterbitkan dalam
bahasa Inggris oleh Dalang Publishing, California, USA (ISBN 979-0-9836273-7-1)
pada tahun 2011 dengan judul Only a Girl.
Uraian singkat:
Fiksi—Sejarah—Perempuan
Peranakan Tionghoa—Indonesia.
Perjuangan
tiga keturunan perempuan peranakan Tionghoa dalam mempertahankan jati dirinya
menggambarkan betapa kuat pengaruh penjajahan Belanda berakar. Kisah mereka
dapat menjelaskan sejarah kedudukan orang Tionghoa di Indonesia saat ini.
Kisah Mengadang Pusaran
Mengadang Pusaran bercerita tentang tiga
perempuan peranakan Tionghoa yang mewakili tiga keturunan dalam sebuah keluarga.
Pertama, Nanna,
sosok ibu yang teguh memegang kebiasaan adat Tionghoa.
Dia
terombang-ambing dalam budaya Belanda yang diantarkan mendiang suaminya ketika
menjadi pahlawan penggerebekan sarang candu besar di awal tahun 1900-an. Wali
Kota Bandung menghadiahi lelaki itu kemahsyuran bagi seluruh keluarganya
sehingga mendapat pendidikan Belanda, tempat tinggal, dan kedudukan layak di
pemerintahan untuk anak-anak lelakinya.
Kedua, Carolien
Ong atau Ong Kway Lien, anak bungsu Nanna. Dia
meresapi budaya Belanda dan meninggalkan kebiasaan
adat Tionghoa sepenuhnya.
Ketiga, Jenny atau
Lee Siu Yin, putri tunggal Carolien yang
tumbuh dalam masa peralihan zaman penjajahan dan
pasca kemerdekaan Indonesia.
Latar
tempat dari novel Mengadang Pusaran
adalah di Kota Bandung sehingga tak
sulit bagi saya untuk membayangkan peta setempat.
Sedang latar waktu yang diambil antara 1932 hingga 1956. Paling akrab bagi saya
adalah Christelijk Lyceum, tempat Jenny bersekolah. Sekolah itu berganti nama
sebagai SMAK (Sekolah Menengah Atas Kristen) Dago. Dulu saya bersekolah di SMA
1 Bandung yang bersebelahan dengan sekolah tersebut. Pada hari-hari tertentu,
saya berolahraga di lapangan sekolah itu. Sebetulnya hubungan sekolah saya dan
SMAK Dago secara turun-temurun tidak baik. Seringkali kedua sekolah bertarung
tanpa tahu latar belakang sejarahnya.
Kisah bergulir
dari keputusan Carolien untuk menikah dengan Po Han, lelaki yang bekerja
sebagai penjual mesin ketik dan juru potret lepas.
Keputusan tersebut ditentang oleh keluarganya. Namun Po Han berhasil meyakinkan
Carolien bahwa mereka akan hidup bahagia. Di usia tiga puluh satu tahun yang
menurut hukum Belanda, seorang perempuan dapat menikah tanpa persetujuan orang
tuanya, pasangan tersebut pun mengikat janji.
Setelah menikah,
Carolien pindah ke rumah Po Han. Ada satu tokoh perempuan lagi yang patut
dicermati yaitu Ocho, nenek Po Han. Tabiatnya yang tegas, licik, perasaan memiliki berlebihan pada cucunya, serta berpikiran kolot merupa badai
tak berkesudahan bagi pernikahan pasangan tersebut.
Hingga akhirnya Po
Han memilih menitipkan Ocho ke sebuah penginapan untuk melindungi Carolien dan
Jenny. Namun ada kuasa politik yang disebut-sebut sebagai Zaman Meleset yang mengadang. Zaman tak menentu baik
secara politik maupun keuangan. Po Han diberhentikan sebagai penjual mesin ketik
dan menekuni pekerjaan juru potret. Selama empat
tahun kehidupan keluarga ini di titik kemiskinan membuat Carolien jengah dan
menceraikan Po Han.
Carolien kembali
ke rumah Nanna dan bekerja. Po Han mendapatkan kesempatan magang di Belanda.
Dan Jenny besar dalam asuhan Nanna, bibinya, dan sepupu-sepupunya. Jenny tumbuh
menjadi gadis yang tajam dan pemberani.
Pergolakan Perempuan Dalam Gelombang Patriarki dan Kebiasaan Adat
Dari tokoh-tokoh
novel Mengadang Pusaran, saya
dapat menangkap pergolakan batin perempuan dalam gelombang patriarki dan kebiasaan adat. Apa yang dirasakan dan dilalui oleh
Nanna, Carolien, dan Jenny masih terjadi
sampai sekarang. Bagaimana sebagian perempuan yang diwakili Nanna dan Ocho
memegang teguh kebiasaan adat sebagai sandaran
hidup. Sementara sebagian perempuan berusaha melepaskan diri dari kungkungan
adat dengan berpaling pada nilai-nilai lain yang sering disebut sebagai
kebarat-baratan.
Nilai-nilai ini
justru memberikan ruang kepada perempuan untuk meraih kesetaraan dan kesempatan
baik dari segi pendidikan, keahlian, pekerjaan,
maupun memilih pasangan hidup. Yang untuk itu tak jarang bertentangan dengan
keluarga. Menyoal memilih pasangan hidup bertalian dengan kemurnian bangsa dan
mempertahankan kedudukan semacam golongan yang
lazim ditemui di berbagai belahan dunia. Apalagi bila terdapat keragaman budaya. Pergolakan batin ini selalu
meminta tumbal.
Kini
baru Carolien sadar bahwa ibunya telah memimpin keluarga mereka dengan kekuatan
dan ketenangan teguh yang menjadi batu ujian bagi semua anak dan cucunya.
-Hal 429-
Meski begitu
budaya patriarki yang melingkupi dunia—saya tidak yakin bahwa kebarat-baratan
pun mampu melepaskan diri dari nilai ini—tetap menempatkan perempuan pada kelas
kedua. Yang anehnya kerapkali perempuan juga harus bertarung sesamanya.
Benturan patriarki memiliki hukum sendiri. Lebih mengerikan adalah hukum kemasyarakatan dari
perempuan sendiri. Pada novel ini hukum kemasyarakatan
dicitrakan pada Ocho.
Tokoh-tokoh
laki-laki seperti Chip dan Ting mewakili pola
patriarki sedang Po Han adalah sebaliknya.
Tergambar bagaimana Po Han menyambut Jenny dengan sukacita padahal dalam adat Tionghoa—dan budaya-budaya lainnya—anak
perempuan dianggap aib. Perempuan dianggap sebagai tak lebih dari pelengkap
kalau tidak mau disebut pelayan.
Kebanyakan
laki-laki Tionghoa merasa lebih hebat daripada perempuan, tetapi mereka tidak
berdaya tanpa perempuan.
-Hal 103-
Hubungan antara Tionghoa dengan Belanda dan Pribumi
Mencermati kisah Mengadang Pusaran, bisa
saya katakan bahwa hubungan Tionghoa dengan Belanda tidak sebaik yang saya
perkirakan. Di beberapa buku sejarah yang saya baca, Belanda mengandalkan
orang-orang Tionghoa sebab kegesitannya dalam bekerja. Tionghoa mendapatkan kedudukan kelas
kedua dengan susah payah. Di sisi lain, Belanda juga tidak percaya sepenuhnya.
Diam-diam Belanda merasa terancam tetapi membutuhkan jasa Tionghoa. Sebab itu
Tionghoa di Indonesia diberi keistimewaan seperti lebih mudah meminjam uang ke
bank ketimbang pribumi.
Sementara itu,
orang-orang Tionghoa juga tidak terlalu menyukai Belanda. Terutama pengaruh
kebarat-baratan yang menggeser nilai mereka. Meski begitu, mereka menerima
keistimewaan perlakuan Belanda dengan tangan terbuka. Tentu hal tersebut
dibayar dengan mahal.
Nanna
merasa lega orang-orang Belanda itu pergi. Sebelum perang, menjalin hubungan
dengan orang Belanda membawa kebanggaan, tetapi sekarang malah menjadi beban.
Orang Belanda tidak lagi memberikan perlindungan; alih-alih mereka malah
mengundang bahaya.
-Hal 186-
Apa
pun yang telah diberikan orang Belanda, akan diminta kembali dua kali lipat.
-Hal 305-
Namun ada kesamaan
antara pandangan sebagian orang Belanda dan sebagian orang Tionghoa pada masa
itu, sama-sama mengganggap orang Pribumi rendahan. Inlander orang
Belanda bilang, dan hwana orang Tionghoa menyebutnya. Tentu bila berkaca
pada sejarah Indonesia tidak semuanya begitu. Banyak orang Belanda maupun orang
Tionghoa yang berpihak pada pribumi.
Lian Gouw dalam
novel Mengadang Pusaran menggunakan bahasa yang jernih. Sebagai pembaca,
saya tidak kesulitan untuk memahami jalinan cerita. Widjati Hartiningtyas juga
berhasil mengalihbahasakan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan sama
jernihnya. Tak ada catatan kaki yang jelimet meski ada sempilan-sempilan bahasa
Belanda. Istilah-istilah kuno disederhanakan begitu rupa sampai-sampai pembaca
tidak menyadarinya.
Dengan cerdas,
Lian Gouw merajut sejarah pada pelajaran-pelajaran Jenny di sekolah atau
peristiwa yang diceritakan. Khazanah budaya
Tionghoa memperkaya novel ini sehingga pembaca dapat mengetahui laku-lampah,
kepercayaan yang dianut, sampai takhayul.
Jika ada hal-hal
yang kurang nyaman dalam novel ini bagi saya adalah tokoh-tokoh yang begitu
banyak ini lemah dalam pengembangan penokohannya. Bagian cerita setiap tokoh kurang berimbang dan seperti ditinggalkan
begitu saja. Hadir kembali tanpa perubahan padahal tahun-tahun berlalu seolah
tidak ada yang terjadi. Sebab itu sungguh sulit bagi saya untuk menyukai tokoh-tokoh novel Mengadang
Pusaran.
Hal lain,
barangkali bersifat sangat pribadi, bahwa tokoh-tokoh Mengadang Pusaran
tak ada yang berpihak pada perjuangan kaum pribumi untuk merebut
kemerdekaan. Sudut pandang yang saya pikir dibutuhkan walaupun hanya diwakili
satu tokoh.
Setelah menutup
halaman terakhir Mengadang Pusaran, rasanya
tak berlebihan di uraian singkat disematkan bahwa kisah ini dapat menjelaskan
sejarah kedudukan orang Tionghoa di Indonesia saat ini. Mengapa peranakan
Tionghoa kemudian terjepit di antara Belanda dan pribumi, dan kini kerapkali
terhimpit di Indonesia. Butuh waktu untuk mengurai dan menggali sejarah
peranakan Tionghoa di Indonesia sehingga tak ada lagi kecamuk.
Aku pernah diceritain kisah mengadang pusaran ini sama temen yang kebeneran keturunan Tionghoa juga yang menjunjung tinggi adat.
ReplyDeleteMembaca ini, Ke tiga sosok perempuan yang diceritain luar biasa yaa. Jadi tahu asal usul kedudukan sejarah Tionghoa .
Kalau difilmkan seru kali nih ya. Pemerannya siapa aja ya yang pas kira-kira?
ReplyDeleteSaya suka sekali dengan tema perempuan yang terancam atau tepatnya terperangkap dalam budaya patriakhi. Sulit yach budaya patriakhi dari orang Tionghoa dihilangkan, tapi ini menjadi pelajaran penting agar mereka sadar bahwa perempuan itu bukan gender yang jadi nomer dua, harus dipersamakan. Terima kasih reviewnya, sangat menyukai.
ReplyDeleteAku selalu suka cerita yang ada unsur sejarahnya. Terutama soal zaman belanda. Jadi penasaran mau baca bukunya. Thanks reviewnya, mba.
ReplyDeleteHarus baca nih saya
ReplyDeleteJuga ngoleksi, karena jarang banget dapat buku yang mengupas dari sisi perempuan
Terlebih sama sama terkukung budaya patriarki yang seperti kata teh Evi, menempatkan perempuan pada kelas kedua. Yang anehnya kerapkali perempuan juga harus bertarung sesamanya
aku dua kali ini baca review dari novel mengadang pusaran mbak
ReplyDeletejadi makin penasaran sama novel ini
novel sejarah selalu jadi bacaan favoritku
novelnya bagus banget nih, mau pingin baca bukunya. Saya belum pernah baca buku novel tentang sejarah dan pingin sekali punya bukunya :)
ReplyDeleteNggak tau ya kalo aku baca novel sejarah itu bawaannya halu mulu wkwk jadi dibawa ke zaman itu berarti si penulis berhasil membawa pembaca pada latar cerita itu ya teh. Wah ini cocok banget kalo di film kan kayaknya jadi seperti apa ya ?
ReplyDeleteSetelah baca ini langsung ngebayangin dibuat film dengan pemain-pemain yang jempolan pastinya. Dijamin ciamik dan epik banget sih film-film sejarah semacam ini terlebih ini mengangkat sisi perempuan ;) nuhun udah berbagi Teh Evi ;)
ReplyDeleteKalau dibuat film pasti epik ini jalan ceritanya..baca review novelnya nya saja sdh dapat banget inti cerita tentang ketangguhan seorang perempuan kerenn
ReplyDeleteUntuk yang suka dengan Visual kalau di jadikan film memang pasti lebih ngena ya.film yang mengangkat tentang perempuan memang asik aja menurutku.
DeleteWalaupun bukan keturunan Tionghoa, tapi aku bisa relate sama generation gap dan patriarki yang dialami tokoh di buku ini.. Keren deh review-nya
ReplyDeleteDari sebuah novel bisa menceritakan kisah sejarah sehingga lebih mudah dipahami cepat, apalagi bila di film kan juga makin mantap pastinya
ReplyDeleteAq suka banget nih sama novel seperti ini. Ada sisipan semangat untuk para perempuan agar bisa berdiri dan terlepas dari jerat patriarki
ReplyDeleteCover bukunya penuh makna ya mba, tpi sepertinya orang tionghoa itu menyebar diberbagai negara ya mba. Slalu nemuin pasarcina soalnya
ReplyDeletekebayang banget suasananya dari ulasannya, dari dulu kedudukan orang Tionghoa di Indonesia sulit, mulai terjepit di antara Belanda dan pribumi, dan samapai sekarang sering terhimpit di negeri sendiri ya
ReplyDeleteKalau baca dari resensinya, buku ini bermutu sekali. Nggak kebayang bagaimana riset penulis kembali ke masa lalu apalagi ini di masa penjajahan. Apakah mungkin menginterview orang-orang yang hidup di jaman itu?
ReplyDeleteKalau dari sumber media cetak, tahun segitu kayaknya Indonesia masih menggunakan radio ya untuk menyampaiakan informasi.
Makasih ya Teh Evi, buku ini langsung saya masukin ke wishlist saya.
iya banget nih, jarang banget yang mengupas perempuan dalam peperangan yaa, apalagi ini kaum tionghoa. patriarki dan stereotype buruk dikupas dalam sebuah novel itu adalah hal yang jarang dibicarakan. catet dulu judulnya, kali aja nanti ada di ipusnas nih
ReplyDeleteSaya selalu suka kisah-kisah tentang perempuan dan budaya sebagai latar cerita. Kisah perempuan yang ditulis oleh perempuan selalu menarik karena ditulis dari sudut pandang perempuan yang berusaha mematahkan cengkeraman patriarki dalam budaya mereka. Dan kita menjadi bagian di dalamnya yang diperjuangkan dan (seharusnya) mendukung perjuangan itu.
ReplyDeletebagus cerita nya ini Mengadang Pusaran,saya jadi penasaran kalau cerita ini dibuat film mungkin akan makin menyebar cerita ini
ReplyDeleteSudah lama gak mampir ke blog ini langsung baca review buku. Menarik pula bukunya! Semoga mudah didapatkan, pasti menarik membaca bagaimana sejarah peranakan Tionghoa yang diramu dalam fiksi...
ReplyDeleteBakal bagus nih kalau dijadikan film, ceritanya keren kak dilihat dari review buku ini... Ikut penasaran juga deh sama bukunya...
ReplyDelete