Mengusung kehidupan arus bawah masyarakat
Indonesia sebetulnya bukan termasuk ranah popular di pertelevisian kita. Sinetron
Indonesia masih didominasi format telenovela. Perempuan miskin yang bertemu
laki-laki kaya kemudian pacaran, ditentang keluarga, lalu bahagia. Atau
mempertontonkan lika-liku hidup kaum jetset. Padahal banyak serial TV yang
menceritakan kaum akar rumput sukses menyedot penonton. Katakanlah Preman
Pensiun, Bajaj Bajuri, Dunia Terbalik, dan Para Pencari Tuhan. Artinya sinetron
yang dekat dengan kenyataan tak kalah gemilang di hati masyarakat kita. Menjadi
cerminan yang melekati diri penonton dan mengajak kita merenungi juga
menertawai diri sendiri.
Poster Film Preman Pensiun |
Sinetron Preman Pensiun pertama kali tayang
tahun 2015 di RCTI sebanyak tiga season,
berhasil mencuri perhatian pemirsa. Menciptakan penonton yang loyal dan militan.
Ini terbukti ketika sinetron ini diangkat menjadi film layar lebar. Sejak hari
pertama penayangan film tersebut tanggal 17 Januari 2019 penonton membludak
terutama di Bandung. Saya dan Eva sampai harus mengantre tiket tiga hari
berturut-turut karena kehabisan tiket. Iseng-iseng kami bertanya pada petugas
loket, jam berapa biasanya tiket habis terjual? Petugas loket menjawab biasanya
dari jam 2 siang juga sudah sold out.
Luar biasa!
Saya lagi mau nonton Film Preman Pensiun |
Sejujurnya saya bukan bagian dari penonton militan
Preman Pensiun. Hanya satu kali saya pernah menonton di aplikasi season pertama. Itu pun baru satu
episode. Saya memang hampir tidak pernah menonton TV. Jadi tidak punya bayangan
atau harapan apa pun saat menonton filmnya. Makanya saya kaget sekali sewaktu
ke bioskop orang rela mengatre, menunggu sampai jam tayang dengan duduk-duduk
mengobrol di bioskop. Sebuah pencapaian yang tidak main-main.
Eva dan Evi sehabis nonton Film Preman Pensiun |
Film
Preman Pensiun
Film Preman Pensiun secara garis besar
bercerita tentang perjalanan hidup Kang Mus (Epi Kusnandar, Hijab 2015) dan
mantan anak-anak buahnya setelah berhenti jadi preman. Kang Mus yang diamanati
Kang Bahar (Alm. Didi Petet, Guru Bangsa: Tjokroaminoto 2015), mantan bosnya,
untuk menjaga dan mengawasi seluruh anak buahnya agar tetap di jalan yang benar.
Film dibuka dengan adegan masa lalu ketika Kang
Mus berkhotbah di hadapan para anak buahnya.
“Kita dipertemukan oleh bisnis. Bisnis yang
oleh Kang Bahar disebut sebagai bisnis yang bagus, tapi bukan bisnis yang baik.
Bisnis yang sudah lama ada, jauh sebelum Kang Bahar ada di dalamnya, dan masih
tetap akan ada sampai jauh setelah kita meninggalkannya. Kita buktikan pada
Kang Bahar yang sudah tenang di sana, di sini kita punya bisnis yang bagus dan
juga bisnis yang baik.”
Sebuah petuah yang mewakili pernyataan
kepensiunan mereka di dunia premanisme. Momentum tersebut begitu mengharu biru,
menguras perasaan penonton terutama bagi penggemar sinetronnya.
Adegan beralih pada aksi kejar-kejaran di
Pasar Baru antara Dayat dan tiga orang preman. Adegan itu berakhir dengan
kekalahan Dayat. Adegan ini sebetulnya sangat menjanjikan, membuat saya
bertanya-tanya konflik besar apa yang terselubung dari scene tersebut?
Selepas adegan perkelahian, scene demi scene bergerak dengan cepat. Kejadian demi kejadian berkelindan. Konsep
editing yang dipakai menyerupai sketsa atau lebih tepatnya match cut. Bagaimana seorang Kang Mus pagi-pagi dibangunkan
istrinya kemudian anak buahnya, Ujang, datang buat laporan. Ketika pembantunya
menyuguhkan kopi buat Kang Mus, kopi menjadi penyambung adegan di tempat lain
yang dipegang oleh tokoh lain lagi. Perantara peralihan adegan oleh benda-benda
atau pertanyaan yang keluar dari satu tokoh seolah dijawab oleh tokoh lain
dalam adegan selanjutnya.
Konsep editing yang menarik ini memiliki dua
keuntungan. Pertama, penonton dapat
dengan cepat mengenali tokoh-tokoh Film Preman Pensiun yang banyak sekali itu. Memberi
porsi cukup adil pada setiap tokohnya. Saya jadi tahu bahwa Kang Mus berbisnis
kicimpring dan sedang mengalami kemunduran. Dikdik berbisnis jaket, istrinya
sedang hamil, dan selalu mencurigainya berselingkuh. Kinanti dan keluarga Kang
Bahar lainnya sedang berkumpul di Bandung, mau jalan-jalan. Murad dan Pipit
jadi satpam di mal. Gobang pernah bisnis lele di kampung tapi bangkrut. Mang Uu
jadi pawang kuda lumping. Dst, dsb. Kedua, tak pelak mudah menimbulkan
kelucuan-kelucuan yang bikin gerr
penonton. Tentu berkat andil besar kepiawaian penulis skenario juga.
Sayangnya match
cut di Film Preman Pensiun terlalu banyak. Kelamaan. Hampir setengah film
ya begitu terus. Usaha untuk memperkenalkan tokoh-tokoh tersebut jadi ambruk
karena match cut ini justru bikin
konflik tumpang tindih. Sampai setengah film saya masih bingung sebetulnya apa
sih konfilk utama film ini? Katakanlah Kang Mus yang dibebani tugas oleh Kang
Bahar untuk mengawasi anak buahnya, tapi sepertinya Kang Mus lebih sibuk
mengurusi anaknya, Safira yang baru punya pacar. Atau kemunculan Gobang yang
tiba-tiba ke Bandung untuk mencari tahu pelaku pengeroyokan adik iparnya? Hmm…
atau seribu hari meninggalnya Kang Bahar?
Dalam film ataupun teater ada yang namanya
drama tiga babak: pengenalan – puncak konflik – penyelesaian. Nah, kalau Film
Preman Pensiun bisa dibilang drama dua babak: pengenalan – puncak konflik.
Karena bagi saya film diakhiri dengan terbukanya klimaks plot utama. Bikin saya
ber-oh ini toh konflik utamanya? Tak ada penyelesaian atas konflik tersebut.
Gantung alih-alih open ending.
Barangkali ini sebuah upaya untuk membuat sekuelnya.
Film berdurasi 94 menit ini menyuguhkan
sinematografi yang cantik, musik yang apik, dan keaktoran yang mumpuni. Bandung
sebagai setting cerita terasa begitu dekat, tidak sekadar tempelan, bukan buat ajang
pamer panorama. Membidik sudut-sudut terminal, pasar, dan rumah-rumah di
gang-gang sempit yang lebih akrab ketimbang objek-objek wisatanya. Kalaupun
ada, Film Preman Pensiun hanya memperlihatkan Jalan Asia Afrika dan Cikapundung
River Spot. Itu pun tidak berlebihan.
Mengambil sudut pandang lain seperti kehadiran Superhero jadi-jadian di Jalan
Braga. Sumpah adegan ini lucu banget!
Bicara soal keaktoran, saya rasa semua pemain
tampil natural. Cengkok-cengkok orang Sunda yang bukan dipaksakan. Semua pemain
tampil apa adanya seperti memerankan diri mereka sendiri. Chemistry terbangun dengan solid.
Film yang disutradarai sekaligus ditulis oleh
Aris Nugraha ini tidak hanya ingin membuat penonton tertawa terbahak-bahak,
penonton disuguhi adegan-adegan yang tak ayal menguras air mata. Ya, setidaknya
saya menangis di tiga adegan. Pertama ketika Kang Mus mendatangi rumah Kang
Bahar. Di situ ada Kinanti. Berdua mereka mengenang Kang Bahar. Kang Mus duduk
di bangku yang biasa setiap ia menghadap bapak Kinanti seraya berucap:
“Semua mantan anak buah saya sudah seperti
keluarga. Ada yang namanya mantan anak buah tapi nggak ada yang namanya mantan
keluarga.”
Jleb! Air mata saya merembes. Betapa
persaudaraan yang lahir di jalanan dalam berbagai kondisi melahirkan eratnya kekeluargaan.
Sekilas kita barangkali hanya melihat bahwa kehidupan di jalan saling tusuk,
sepak, dan seret. Ternyata dalam pedih dan kerasnya ada sisi lembut
kemanusiaan.
Dua adegan lagi, salah satunya tentang Kang
Gobang (Muhammad Jamasari). Kang Gobang ini tokoh favorit saya selain Kang Mus. Karismatik dan matanya itu loh, membius banget. Yang ini saya tidak
akan cerita takut spoiler. Dan
terakhir saat Kang Mus menjejakkan kaki di lapangan tempat ia pernah bertukar
pikiran dengan Kang Bahar. “Akang mungkin sudah ada di surga. Tapi saya tahu
Akang kecewa!” Duh! Dada saya sesak. Manusia bisa sangat bersetia sekalipun
orang tersebut sudah tidak ada.
Dari film ini saya belajar betapa sulitnya
memegang janji. Betapa ringkihnya sebuah komitmen. Dan betapa sukarnya menembus
tantangan perubahan diri. Bahwa kata ‘insaf’ merupakan proses seumur hidup. 3,5
bintang dari 5 bintang.
Banyak makna yang bisa diceritakan dari film ini ya Teh. Aku suka banget malahan pengin nonton lagi nih :)
ReplyDeleteAku ngakak baca judulnya: komitmen keinsafan. Ahahaha. Emang sulit bnget.
ReplyDeleteDulu pas nonton ini masih acara TV saya seneng, sekarang udah jadi film malah makin penasaran deh pengen nonton.
ReplyDeleteJangankan preman menjaga keinsafan secara wajar aja susah teh. Hehehehe penasaran pengen nonton euy
ReplyDeleteDuh jadi pengen nonton, dah lama nih ngga ngakak di Bioskop hihi
ReplyDeleteDuh, kuharus nonton. Tapi kok sudah ditinggal sama soulmate nonton :(
ReplyDeleteHiks, suka banget sm serial ini waktu masih di tipi... Mudah2an dibikin lagi, aamiin
ReplyDeleteHuhuhu, aku belom sempet aja nih nonton film ini. Padahal kepengen banget. Sinetronnya aja suka, apalagi filmnya. Kayaknya rame bangeeet...
ReplyDeleteSaya suka reviewnya, Teh. Ga cuma dari bagaimana isi film dan sudut pandang tth, tapi dari scene nya, trus hal yang disukainya jadi kegambar kyk gmn. Makasih teh. Jadi pengen nonton. Secara saya ngikutin pas sinetronnya tayang. Mengusung lokalitas dan hal hal sehari banget.
ReplyDeleteWah, Fathir suka banget nonton Preman Pensiun di TV nih Viii, tapi belum sempet terus mau nonton ke bioskop!
ReplyDeleteKayaknya seru yah Vi, asa jadi sono ke Kang Didi Petet nih
Kayaknya filmnya bisa mengaduk-ngaduk perasaan ya, Teh. Ada saatnya kita bisa dibuat ketawa tapi ada adegan yang menyedihkan juga.
ReplyDeleteKayaknya serame sinetronnya ya...
Waduh pengen nontin banget nih jadinya,tapi misua sukanya film barat,huhu... kudu dirayu tingkat dewa nih.
ReplyDeleteIni pas seriesnya di TV aku suka banget selalu ditunggu karena sederhana pisan ceritanya tapi punya makna dalam. Penasaran nonton yang movienya teh ��
ReplyDeleteKonsep editing film membantuku memahami latar masing-masing tokohnya tapi di akhir film aku kurang puas sama penyelesainnya. Buatku adegan paling epik itu tiap ada scene buka helm sih, Vi hihihi
ReplyDeleteBelum nonton yg di bioskop tapi dulu langganan pas masih tayang di TV
ReplyDeleteAku dibikin nangis kejer di akhir-akhir film. Hiks
ReplyDeleteSaya malah belum nonton versi layar lebarnya nih. dulu sering nonton di tv, ga ketinggalan malah.
ReplyDeletedi deket rumahku ada beneran tuh preman yang pensiun dan ternyata berat juga ujian buat istiqamahnya dia. karena setelah pensiun ternyata susah cari kerjaan halal karena orang2 terlanjur ngecap dia sebagai preman jadi jarang yang percaya ama dia. akhirnya dia jadi kuli bangunan dan tukang ojeg sih.
ReplyDeleteNumpang ya min ^^
ReplyDeleteAyo buruan bergabung di www,kenaripoker
Bonus 50% hanya deposit Rp 10.000 sudah bisa mainkan banyak game disini, TO rendah tidak menyekik player, server baru dengan keamanan dan kenyamanan yang lebih!
hanya di kenaripoker
WHATSAPP : +855966139323
LIVE CHAT : KENARIPOKER COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER COM
I got the role by auditioning. Casting Director Jen Cooper had seen some of my work last year and she called me in to read for the role. At first they didn't think I was right for Gregory, but fortunately I won them over. دانلودفیلم
ReplyDeleteYou show up to pitch your movie project and need to be able to dance to a film investor's music. https://afdah.design/
ReplyDeleteterimakasih atas informasinya. https://www.garmentsemarang.com/jaket-jersey/
ReplyDeletelanjutkan buat artikel menarik dan informatif lainnya. https://shopee.co.id/Madu-Anak-Speech-Delay-SQUABUMIN-BPOM-Asli-Bantu-Atasi-Speach-Delay-Si-Kecil-i.544441521.10460786593
ReplyDelete