Gerakan Menulis Nusantara |
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” ― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Indonesia lebih
mengenal tradisi lisan dari pada tulisan. Sebagai bukti, tersebarnya
dongeng-dongeng kearifan lokal seperti terbentuknya suatu tempat. Kita bahkan
hampir tidak tahu siapakah yang mencipta dongeng tersebut, pencipta menjadi
anonim dan tak penting. Namun kepercayaan telah mengakar dalam masyarakat,
dongeng menjadi (hampir) kebenaran. Padahal budaya lisan rentan dengan
distorsi. Di masyarakat kota sekali pun, kita lebih sering menemukan sekumpulan
orang-orang yang mengobrol dari pada membaca atau menulis. Apa yang dibicarakan
sebatas permukaan, lalu apa sebenarnya dipikirkan dan dirasakan yang mungkin
jauh lebih penting terlupakan.
Mari membaca |
Bukan
berarti Indonesia tidak mengenal tradisi tulisan. Adanya prasasti dan
kitab-kitab kuna membuktikan bahwa Indonesia pun mempraktikan budaya tulis. Jika
ditilik kembali, kitab-kitab dan prasasti tersebut datang dari kaum raja-raja,
cendikia, dan priyayi. Tidak sembarang orang bisa mengakses ilmu pengetahuan
berbentuk tulisan tersebut. Jumlahnya terbatas dan kurang signifikan untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan hingga ke kaum akar rumput.
Di
zaman sekarang, budaya menulis masih rendah. Mengapa? Karena tidak dibangun
sejak dulu. Menulis bukanlah perkara mengerjakan tugas sekolah. Menulis adalah
kesadaran membagikan ilmu pengetahuan. Rendahnya budaya baca di Indonesia juga
menjadi faktor penting lemahnya budaya menulis. Saya pikir, era membaca telah
lewat. Hari ini, Indonesia harus punya budaya menulis. Budaya menulis tak bisa
lepas dari dari budaya membaca. Budaya menulis adalah budaya terlengkap
bagaimana kita membaca, melakukan pembacaan, mengasah akal budi, dan meneruskan
ilmu pengetahuan pada generasi selanjutnya.
Budaya
menulis penting bagi terbentuknya putra-putra daerah yang berkualitas dan dapat
membangun daerahnya masing-masing. Ilmu pengetahuan akan lebih merata di
Indonesia. Bekal tersebut akan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak
berbondong-bondong bermigrasi ke kota. Menulis menumbuhkan kepekaan terhadap
lingkungan sekitar sehingga bisa memaksimalkan potensi daerah sendiri. Setiap
orang, bukan hanya yang sudah bekerja, wajib menuliskan pengalamannya sendiri.
Ilmu diturunkan dan dapat dikembangkan jika sudah tercatat.
Pertanyaannya,
bagaimanakah menumbuhkan budaya tulis tersebut? Kita bisa menyaksikan dan
membaca begitu banyaknya gerakan membaca di Indonesia, membuka perpustakaan
umum. Tapi apakah itu cukup? Saya rasa tidak. Kita butuh gerakan yang lebih masif,
gerakan menulis nusantara. Ada dua elemen yang mesti tersedia selain berbagai
buku bacaan, yaitu fasilitas pelatihan menulis dan akses internet gratis.
Keinginan
menulis memang harus tumbuh dari dalam diri seseorang, jika tidak, kita harus
membantu menumbuhkan kesadaran tersebut. Pelatihan menulis bisa menjadi salah
satu jalan keluar. Apakah pelatihannya harus membikin esai, artikel, novel,
puisi, atau cerpen? Tentunya tidak. Saya sebagai blogger kebanyakan menuliskan
pengalaman sehari-hari. Curhat ringan tentang apa yang saya pelajari dan
rasakan, intinya menulis yang dekat dengan kehidupan individunya. Pelatihan
tersebut bisa saja hanya pelajaran dasar menulis, bukan teknik yang rumit.
Membuat seseorang menyenangi kegiatan menulis.
Lalu
mengapa saya katakan butuh akses internet? Internet sebagai penunjang ilmu
pengetahuan, informasi yang serba cepat, dan menyebarkan hasil karya agar bisa
diapresiasi lebih luas.
Saya
membayangkan tersebarnya perpustakaan daerah di seluruh nusantara yang bisa
menjangkau hingga pelosok-pelosok. Setiap minggunya ada pelatihan menulis, ada
komputer-komputer yang dilengkapi internet, ada ruang-ruang diskusi tentang
kehidupan sehari-hari. Saya selalu percaya, lewat tulisan bisa mengubah suatu
peradaban. Peradaban nusantara yang lebih berpendidikan, mandiri, dan inovatif.
Buat kamu yang senang membaca dan menulis, pertanyaannya: maukah kamu menjadi agen gerakan menulis nusantara? Sebab gerakan ini akan berhasil jika setiap orang yang punya kesadaran tersebut mulai menyebarkan virus membaca dan menulis. Siapa pun dan di mana pun kamu.
Buat kamu yang senang membaca dan menulis, pertanyaannya: maukah kamu menjadi agen gerakan menulis nusantara? Sebab gerakan ini akan berhasil jika setiap orang yang punya kesadaran tersebut mulai menyebarkan virus membaca dan menulis. Siapa pun dan di mana pun kamu.
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” ― Pramoedya Ananta Toer
Menulis seumpama meninggalkan jejak ya teh, ketika sudah tiada.
ReplyDeleteSaya bangga menjadi seorang penulis, walaupun hanya Blogger.
ReplyDeleteIya juga ya, yg ciptain cerita rakyat dongeng dll itu pertama kali siapa ya. Hampir ngga ada satu pun yg diketahui
ReplyDeleteAh semakin rame. Mari kita gebyarkan gerakan literasi. Lup buku. Lup baca. Lup nulis
ReplyDeleteSy suka menulis dan sy akan tetap menulis
ReplyDeleteMe without writing is like Cinta without Rangga, hahaha.
ReplyDeleteKalau enggak menulis sehari tuh Ibu Paus biaa stress :D
mari kita sebarkan virus mmbaca dan menulis, aku mulai dg anak2ku dan murid2ku
ReplyDeleteAhh iya. Banyaknya membaca akan bercabang pada keinginan untuk menulis. Sedangkan banyaknya menulis akan memunculkan kebutuhan untuk terus membaca.
ReplyDeleteMembaca dan menulis untuk memanusiakan kita sebagai manusia.
Pengen jg menyebarkan budaya menulis & membaca, tp ga bisaeun saya mah :D
ReplyDelete