Cover Pesta Para Janda |
Judul: Pesta Para Janda
Penulis: Yunis Kartika
Tebal: xiv + 221 halaman
Desain cover dan layout isi: Sandy Mulyana
Pemerhati kata: Eva Sri Rahayu
Peberbit: Chibi Publisher
Tahun terbit: 2012
ISBN: 978-979-25-4856-3
Harga: Rp. 40.000
BLURB
Kinga, Prita, Ally, dan Yulia adalah empat sahabat. Keempatnya memiliki status yang sama “Janda”. Mereka berjuang demi anak, ekonomi, impian, dan tentunya cinta. Tapi masih adakah cinta di usia kepala tiga, sementara mereka telah menjadi satu paket dengan anak?
“Apa kalian pernah merenungkan seperti apa sebenarnya kehidupan melajang, hidup sendirian?” tanya Prita.
“Kurasa kita tidak benarbenar melajang, karena kita telah memiliki keturunan,” sahut Kinga memberi pandangan.
“Benar,” jawab Yulia menyetujui. “Janda beranak tidak sama dengan melajang, kita tidak sendirian.”
“Terkadang aku lelah,” aku Ally. “Kita mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Lelah itu menjadi sedih yang berlipat ketika mengurus anak yang sakit. Tak ada yang bisa disandari.”
“Kau siap memasuki pernikahan lagi?” tanya Kinga pada Ally.
“Aku ingin berbagi beban,” jawab Ally.
“Pernikahan bukan solusi berbagi beban. Anakanakmu akan tetap jadi tanggung jawabmu. Dan anakanak suamimu akan tetap menjadi tanggung jawabnya. Di mana pembagiannya? Apa kau bisa mengurus dan menyayangi anakanak suamimu?” tanya Prita dramatis.
Inilah pesta hidup, pesta perjuangan tanpa ada putusnya, pesta mereka: para janda!
Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata ‘Janda’? Saya tidak heran ketika kata itu disebut, sebagian orang berpikir negatif. Maaf bukan bermaksud mengeneralisasikan.
Tengok saja berita di media
massa yang senang sekali membubuhi suatu kasus dengan judul ‘Janda beranak satu
bla-bla-bla’, ‘Janda muda bla-bla-bla’, dsb, dst.
Apa yang salah dengan janda?
Nada-nada miring bukan hanya
terdengar dari kaum laki-laki yang membuat seolah-olah para janda adalah perempuan
kekurangan kasih sayang ataupun kesulitan ekonomi. Tapi juga didapat dari
perempuan, entah itu karena merasa insecure
atau apalah.
Ketika bercakap dengan
teman, saya juga seringkali mendengar kalimat seperti ini:
“Temenku punya pacar janda beranak satu, bayangin?”
Dalam hati saya cuma bisa
berkata, “Terus kenapa?”
Barangkali inilah bahaya paradigma
tentang janda yang beredar di masyarakat.
Sejujurnya saya tidak tahu
dari mana atau bagaimana asal-usulnya kenapa janda dilihat sebelah mata. Apakah
karena mereka memilih menjanda daripada mempertahankan status pernikahan yang
tidak membuat bahagia? Ataukah film-film berbau sex yang seringkali diproduksi
Indonesia pada jaman dulu? Ataukah karena novel-novel picisan semacam karya
Fredi S. yang sering kali menceritakan para janda dengan tipikal genit dan
sebagainya?
Dengan adanya buku Pesta para Janda, saya berharap banyak adanya perubahan mindset tentang janda. Karena itu saya berharap banyak pada isi buku ini.
Saya memberi tiga dari lima
bintang untuk buku Pesta Para Janda.
Satu bintang untuk kepada
siapa buku ini dibuat (soalnya buku ini salah satunya buat saya. Thanks sist!). Mendapat tanda tangan
penulis dan sedikit kata mutiara (mungkin lain kali, saya akan menulis kenapa
sebuah buku jadi lebih menyenangkan pada saat ada tanda tangan penulisnya).
Satu bintang untuk sebuah
keunikan ‘Typo yang bukan typo’. Apa itu? Penulis yaitu Yunis Kartika memiliki ciri
khas sejak me-release bukunya yang
pertama, yaitu menerobos rambu penulisan baku pada kata pengulangan. Misalnya:
gara-gara menjadi garagara.
Satu bintang lagi untuk gaya
bahasa yang mengalir padahal pemakian kalimat demi kalimatnya cukup baku. Tidak
cheesy tapi juga tidak begitu berat.
Saya bisa menikmati buku ini dari awal sampai akhir.
Pesta Para Janda adalah
novel yang bercerita tentang empat orang perempuan (agak mirip serial sex and the city sebenarnya).
Mereka adalah Kinga
Cassiopeia, seorang seniman dan full time
writer (makin mirip serial di atas), memiliki seorang anak laki-laki.
Ally Larasati, seorang
pekerja lepas di sebuah event organizer
dan ibu dari tiga orang anak.
Yulia Kusuma, seorang
perempuan dengan kemampuan yang luar biasa dalam bidang bahasa dan memiliki
seorang anak.
Prita Kirana, seorang pekerja
keras dan ibu dari dua putra.
Empat sahabat yang
disibukkan oleh urusan masing-masing itu kerap kali bertemu untuk sekedar
berbagi cerita. Mereka saling menyimpan kepercayaan pada satu sama lain. Ini membuktikan
sebuah teori dimana perasaan senasib bisa merekatkan manusia.
Saya menemukan pembicaraan
yang menarik setiap kali mereka berkumpul. Entah itu tentang pandangan mereka
tentang ekonomi, anak-anak, laki-laki, pekerjaan atau cinta. Saya juga menemukan
alasan-alasan klise tentang pilihan-pilihan dimana perempuan menggantungkan
kebutuhan perekonomiannya terhadap laki-laki. Walaupun tak bisa disebut klise,
karena memang begitulah sistem masyarakat kita.
Hidup Ally berputar-putar
dengan konflik menggantungkan perekonomian keluarganya pada seorang lelaki yang
dipanggil Uda, walaupun dia telah beristri. Barangkali kebutuhan, barangkali
lebih dari itu. Sampai-sampai, Ally tega menghianati sahabatnya Kinga.
Melalu Ally dan Uda, Kinga
dipertemukan tanpa sengaja dengan Ben. Ben adalah partner kerja Uda yang diperlakukan seperti bawahan. Uda memeras
habis-habisan otak dan tenaga Ben tanpa bayaran layak.
Kinga dan Ben lalu saling
menyayangi. Kinga mendorong Ben agar lebih berpikir luas dan melawan
ketidakadilan terhadapnya. Ben pun berontak. Akibatnya, Uda dan Ally melakukan
rencana untuk memisahkan mereka.
Ditengah-tengah novel
muncullah Sony (yang katanya teman main empat sahabat itu). Adegan kemunculan
Sony ini sempat mengganggu saya. Mungkin karena penulis memasukan tokoh ini
secara serta merta tanpa keterangan atau latar belakang yang berarti. Singkat
cerita, Sony menyukai Kinga begitupun sebaliknya. Namun Kinga lebih memilih
bersama Ben.
Ally dan Uda menggunakan
keadaan ini untuk menghasut Ben agar menjauh dari Kinga. Ben menolak dan lebih
memilih memercayai Kinga. Diakhir novel, nasib naas menimpa Sony.
Sedangkan cerita Prita
adalah tentang perjuangannya mengembangkan sebuah event organizer yang memiliki pentolan bernama Lea. Lea mencintai
Prita dan ingin meminangnya. Prita berulangkali menolak.
Meski Yulia cerdas, dia
lebih memilih untuk tidak bekerja dan bergantung sana-sini. Yulia digambarkan
memiliki konflik dengan anaknya. Selain itu, sosok Yulia tidak lebih sebagai
pengekor Ally.
Apapun yang dilakukan oleh
keempat perempuan itu kembali bermuara pada rasa cinta terhadap anak. Terlepas dari
jalan hidup yang mereka pilih.
Buku Pesta Para Janda ini, tidak malu-malu mengetengahkan masalah yang dianggap vulgar tapi tidak memberi kesan murahan.
Mengapa saya bilang buku ini mendobrak paradigma tentang janda? Karena buku ini memberitahu kita tentang motif-motif dan pemikiran yang dimiliki perempuan ketika mengambil keputusan sebagai janda. Motif inilah yang mungkin tidak dimengerti oleh sebagian masyarakat. Begitu juga dengan langkah-langkah yang diambil setelah memakai predikat janda sebagai konsekuensi yang mengiringi pilihan mereka.
Buku Pesta Para Janda ini, tidak malu-malu mengetengahkan masalah yang dianggap vulgar tapi tidak memberi kesan murahan.
Mengapa saya bilang buku ini mendobrak paradigma tentang janda? Karena buku ini memberitahu kita tentang motif-motif dan pemikiran yang dimiliki perempuan ketika mengambil keputusan sebagai janda. Motif inilah yang mungkin tidak dimengerti oleh sebagian masyarakat. Begitu juga dengan langkah-langkah yang diambil setelah memakai predikat janda sebagai konsekuensi yang mengiringi pilihan mereka.
Dua bintang yang tidak saya
berikan karena beberapa kekurangan dalam novel ini. Pertama, karakter keempat
perempuan ini hampir tidak bisa dibedakan. Meski penulis berusaha membangun
karakter mereka. Dari cara berbicara yang sama, misalnya. Kalau saya tidak
membaca keterangan ‘kata Kinga’, ‘ucap Ally’, dan lain-lain, sungguh saya tidak
tahu siapa yang berbicara. Padahal salah satu tokoh dituliskan sebagai lulusan
SMA. Tidakkah pola pikir dan cara berbicaranya akan berbeda? Ah, bahkan tokoh
tersebut tidak suka baca buku atau apa pun yang dapat meluaskan wawasannya.
Penokohannya lemah. Saya
merasa penulis kurang berani mengeksplorasi pemikiran dan keberadaan janda ini.
Dari empat tokoh, hanya satu tokoh yang pemikiran dan kehidupannya dieksplorasi
yaitu Kinga. Bagaimana Kinga membuat pameran senirupa dan menulis buku. Selebihnya
saya seperti menemukan tiga kehidupan monoton.
Kedua karena konfliknya
tidak tajam. Penulis seperti berusaha menggambarkan dan memperbandingkan rupa-rupa
kehidupan janda. Namun hanya selintas, tidak dalam. Karena rupa-rupa ini
jugalah konflik yang dihadirkan tidak tajam dan cenderung mengambang.
Ketiga, kover bukunya kenapa
seperti buku-buku biografi? Saya kurang suka kover model begini. Yah, ini cuma masalah
selera.
Terlepas dari
poin-poin di atas, bagi saya buku Pesta Para Janda patut diacungi jempol karena berani
mengetengahkan kehidupan janda. Buku Pesta Para Janda berusaha mendobrak paradigma tentang
janda. Pesta para janda, saya rekomendasikan untuk semua orang, agar punya sudut
pandang yang lebih baik terhadap janda. Bahwa menjadi janda tidak mengurangi
harkat dan martabat seorang perempuan. Mereka adalah perempuan hebat yang mau
keluar dari kungkungan demi kehidupan yang lebih baik.
Sebelummnya saya ucapkan terima kasih telah menerima saya sebagai tamu di rumah maya ini #loh kok serius sih?
ReplyDeleteJanda? ada apa ya? gak masalah kok buat saya, tapi yan memang seperti itulah Jeng sudut pandang masyarakat kita soal status sosial yang satu ini.
semoga buku ini bisa membuka mata kita semua jika Janda itu adalah sesuatu yang wajar seperti halnya duda.
Hidup Janda !
Makasih ya Kang Lozz sudah berkunjung :)
DeleteYa begitulah semoga kedepannya nggak begitu pola pikir masyarakat.
Wah, tinjauan yang tajam dan bikin penulis ketar ketir deh kalo bukunya direview oleh Evie. Jadi penasaran dengan kekurangan yang ada dalam novelku #SelinganSemusim deh inih. OOT.
ReplyDeleteWell, riviewnya menarik, jadi pengen memiliki buku ini deh. Kebetulan, selain pernah menjanda, banyak juga sahabat di sekitarku yang berstatus janda. Tak ada yang salah sebenarnya dengan status ini, karena ini bukanlah status yang ingin dipilih dengan sukarela oleh seorang wanita. Tapi, jika takdir mengharuskan demikian, kenapa tidak?
Stigma, itulah yang telah membuat status ini anjlok dan terkesan negatif. Di tambah lagi, pemilik status ini, ikutan terkena aura negatifnya. Sehingga mereka menjadi minder dan krisis percaya diri. Padahal, there is nothing wrong with it. Mau janda, single, istri, duda, suami, semuanya, akan terpulang kembali pada sikap dan karakter individunya. Tidak ada jaminan, bahwa derajat kita, seorang istri, seorang suami, atau siapa pun, lebih tinggi dari pada janda kan? Kalo pekerti kita jelek, ya tetap aja jelek.
Mudah2an postingan ini, dapat sedikit demi sedikit memperbaiki stigma negatif itu ya, Vi. Keren reviewnya.
Pasti dah tidur deh ini? Hihi. Have a sweet dream, Evie!
Makasih ya, Mbak. Segera dibaca buku Selingan semusimnya. Abis satu buku lagi hehehe... ini balasan komentarnya juga OOT deh, aku. Hihihi
DeleteMAsuk wishlist ah..
ReplyDeleteTerima kasih ya :)
Deletemantapppp sukses buat tetehnya ;)
ReplyDeleteMakasih ya, Put :)
DeleteSebuah review yang berimbang. Mengungkapkan plus minus buku dan menyerahkan kepada pembaca untuk menentukan apakah akan membeli atau tidak.
ReplyDeleteBagus sekali reviewnya mbak Evi.
makasih ya, Mbak Niken :)
Deletewaa mantep reviewnya..
ReplyDeletejd tertarik pgn baca jg..
tp kok bs kebetulan gt ya 4 sahabat
smuanya sama2 janda..
Mereka bersahabat karena disatukan nasib sebagai janda, mbak. Bukan awalnya mereka bersahabat trs jadi janda bareng-bareng :)
Deleteoh hehehe..
DeleteKayaknya bagus bukunya.... Mungkin bisa juga bertambah tokohnya seorang janda tanpa anak...hehehe. Mereka lebih penuh konflik dan godaan, apalagi predikat janda kembang, sering dicap buruk dan dipandang sebelah mata. Padahal mereka juga wanita baik-baik lho...
ReplyDeleteTerima kasih sarannya, nanti saya sampaikan sama penulisnya :)
Deletewahwah, keren teh!
ReplyDeleteajarin bikin review dong.. hehehee
Saya juga masih belajar, Isha :)
Deletekeren bukunya...perlu sebulan buat bacanya...karena pasti pengen ngulangngulang bacanya :D makasih Evi sudah berbagi
ReplyDeleteSama-sama Pak Didin. Makasih sudah berkunjung :)
Deletereview yang menarik, sehingga membuat orang yang membacanya akan mencoba untuk mencari buku yang dimaksud.
ReplyDeleteThanks,
Membuat saya mulai menentukan pilihan bacaan bulan ini
^_^
Sama-sama Mbak, makasih sudah berkunjung ya ^_^
DeleteUwow.., Epi, uwowww..!
ReplyDeleteSebenarnya aku bingung pengen komen tentang bukunya, terpesona aja V sama reviewmu. :))))
Ah, Aprie bisa aja nih bikin geer hehehe
Deletewaahh.. guru buat review baru..
ReplyDeletejujur, jadi ingin baca.. sebagaimana instruksi guru evi untuk banyak-banyak baca..
Ayo Pik, beli bukunya ^_^
ReplyDeleteBtw, aku masih belajar ngereview, belum bisa ngajarin
Terima kasih untuk review-nya yang cukup obyektif.. :)
ReplyDeleteAgak OOT dikit yaa.
Dua sahabat saya kebetulan dapat jodohnya janda beranak satu. Dan memang sebelum menerima si calon menantu, kedua orangtua mereka masing-masing mempertanyakan juga. Kenapa harus dengan janda?
Sepertinya memang di masyarakat kita sudah terbentuk persepsi tertentu tentang status janda. Kalau saya pribadi, punya juga sahabat yang pernah menjanda. Jadi saya sedikit tahu latar belakang keputusannya memilih menjadi janda.
Dan setuju dengan mba Alaika, 'there is nothing wrong with it'.. :)
Yup, Mba Rini. Semoga ke depannya masyarakat mulai berpikir positif tentang status janda :)
DeleteTerima kasih sudah mau berbagi.