LARI
Semalam, hujan jatuh seperti
dikayuh. Segelas kopi tandas dalam sekejap. Sekedar penghangat sambil lalu. Aku
masih di depan layar komputer sampai kabar itu tiba. Dia kembali. Mimpi buruk.
Sejauh apa, aku harus lari? Lari dari bayanganku sendiri, jelas mustahil.
Sebuah pesan singkat, sebuah
penanda ancaman mimpi buruk baru saja dimulai. Aku ke tempatmu, besok. Begitu katanya.
Ke tempatku? Besok? Memangnya dia tahu dari mana keberadaanku? Aku mulai merasa
serupa hewan buruan. Kami bermain petak umpet, hanya saja, aku selalu jadi
pihak yang bersembunyi, dia pihak yang mencari. Sungguh ini bukan sekedar
pencarian biasa. Dia telah menjadikanku sebagai bulan-bulanan.
Lelah, baiklah, aku menyerah. Tak
pernah ada saat yang tepat, kapan harus menghadapinya. Kali ini aku akan diam
saja, menghadapinya. Namun bayangan mimpi buruk itu menyergap lebih pekat. Rasa
takut membanjiri seluruh tubuh. Mereka-reka apa yang akan diperbuatnya adalah
pekerjaan sia-sia. Dia adalah sosok tak tertuga. Tapi aku ingin mencoba suatu
hal, benarkah dia bisa menemukanku? Aku bergegas menghampiri kendaraan
bermotor, menyambar tas dan jaket sekenanya. Pergi ke suatu tempat yang
barangkali tak pernah dia duga.
Aku duduk di meja kafe dengan
pemandangan menghadap jalan. Sengaja kupilih meja yang dilalui banyak orang. Di
sini, aku akan aman. Sekarang sudah pukul sebelas, sebentar lagi orang akan
berdatangan mencari makan siang. Benar saja, semakin banyak orang mengisi kafe.
Aku hanya memesan segelas kopi dan kue kecil.
“Seleramu telah berubah ya?”
tegurnya dari arah depan. Sepersekian detik, jantungku berhenti berdetak. Dia menemukanku.
Aku tertegun.
Dengan santai, dia duduk di
hadapanku. Memesan segelas kopi dan kue kecil yang sama denganku.
Aku tetap diam. Dia berusaha
berkelakar. Dia juga banyak berubah, lebih humoris dan menyenangkan. Kalau saja
aku tidak menaruh benteng tebal, kami akan bercakap seperti kawan lama, sahabat
karib lebih tepatnya.
Dia menyadari betapa aku tetap
bersikukuh tidak mengatakan sesuatu. Dia menyodorkan sebuah surat. Tipis.
“Pergi”, hanya itu yang keluar
dari mulutku. Bahkan surat tipis itu tidak kusentuh sama sekali.
Dia kehabisan kata, tak pernah
menyangka akan keluar kata itu lebih cepat dari perjumpaan kami
sebelum-sebelumnya. Dia mengangguk, tersenyum sopan, kemudian meninggalkanku. Surat
tipis itu tidak dibawa serta.
Aku membuka amplop tipis itu dan
membaca beberapa bait kata.
“Aku sudah mati, percayalah. Yang
akan kau temui adalah saudaraku. Kata orang kami begitu mirip, kau pasti juga
tertipu. Jangan marah ya. Aku hanya ingin seolah kita bertemu untuk terakhir
kali. Aku hanya ingin minta maaf. Itu saja. Doakan aku ya”.
Hmm.. Aku tersenyum sinis. Permainan
baru lagi? Siapa percaya! Aku menyobek amplop tipis itu beserta isinya. Mati
saja. Aku tidak butuh maafmu.
***
“Dia tidak percaya kak,
biarkan saja. Dengan begitu, dia akan lebih bahagia” ucap seseorang di hadapan
gundukan tanah merah yang basah oleh hujan semalam.
No comments:
Post a Comment