Seperti biasa, siang ini saya memasak.
Menunya sayur toge dan tahu. Sebagai anak kostan, memasak adalah cara yang
tepat untuk penghematan. Yang pertama dilakukan adalah membuat nasi. Sambil
menunggu nasi matang di rice cooker, saya menyiapkan teman makan. Toge yang
belum dicuci, dipetik atau dibuang bagian akar dan cangkang kepala toge. Satu
bungkus toge membutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses pembersihan. Dalam
mengolah toge, ternyata kita butuh kesabaran.
Para koki |
Setalah selesai mengolah toge, saya pun
segera menyiapkan bumbu dasar sayur seperti bawang merah dan bawang putih.
Tiba-tiba saya teringat pesan seorang kawan, “Dalam memasak, bumbu utama itu
adalah bawang merah, bawang putih, dan garam, selebihnya adalah penyedap.” Ingatan
pun terbang pada kejadian yang mengubah hidup saya yang enggan berdiam diri di
dapur kemudian jatuh cinta pada memasak.
Kira-kira setahun yang lalu, tepatnya
bulan September hingga Oktober 2011, saya ditawari seorang kawan untuk
bergabung dalam sebuah teater independen bernama Teater Tarian Mahesa. Teater
ini dipimpin oleh seorang teaterawan yang cukup dikenal di Bandung atau bahkan
di Indonesia yaitu Gusjur Mahesa. Saya yang kangen berat pada teater langsung
mengiyakan. Program tersebut adalah PROGRAM THEATER FOR DEVELOPMENT AND
EDUCATION, penyadaran masyarakat Desa Tanjung Pasir mengenai kebersihan
lingkungan dan perubahan iklim melalui metode workshop, residensi, dan pementasan
teater.
Jenuh dengan metode mengumpulkan
masyarakat di sebuah lapangan kemudian memberi hiburan musik dengan disisipi
pesan tentang lingkungan, Direktur Pesisir dan Laut DITJEN KP3K Kementerian
Kelautan dan Perikanan mengeksplor ide baru yaitu menggunakan metode teater
dalam memberikan pemahaman lingkungan pada masyarakat.
Tim kami terdiri dari sepuluh orang
yaitu Mas Gusjur, Opet, Udung, Mas Dewo, Kang Ridwan, Kang Arman, Salim, Yeni, dan saya. Masing-masing dari kami memiliki tugas yang cukup berat. Mengajari masyarakat
berteater dan membawa misi perbaikan lingkungan.
Desa Tanjung Pasir terletak di Kecamatan
Teluk Naga, Kabupaten Tanggerang. Selama di sana, kami tinggal di sebuah rumah,
masyarakat menamainya rumah kayu. Rumah tersebut cukup besar, terdiri dari tiga
kamar, satu ruang tamu, satu dapur, ruang belakang, satu wc, dan bale-bale. Rumah
tersebut juga memiliki halaman yang sangat luas, tanaman-tanaman tumbuh bebas
di sana. Ada pohon kelapa yang merupakan ciri khas tumbuhan daerah pantai. Hanya
sekitar lima ratus meter, kami bisa sampai ke pantai.
Karena kami akan tinggal cukup lama
di sana, maka ada pembagian jadwal piket untuk kebersihan dan memasak. Selain karena
kami harus memberikan contoh lingkungan bersih pada masyarakat, kami juga harus
menghemat biaya. Saya kebagian piket bersih-bersih hari senin, dan memasak hari
rabu (kalau tidak salah). Untuk bagian bersih-bersih, tidak ada masalah, tapi
untuk bagian memasak ini baru sulit. Sejujurnya, saya bukan perempuan yang
biasa beraktivitas di dapur. Hanya memasak mie instan dan air yang saya bisa. Karena
kondisi memaksa, mau tidak mau, saya harus bisa memasak.
Hari yang dihindari pun datang, sejak
dari semalam, saya sudah menghubungi seorang teman di Bandung melalui BBM. Kikok,
nama teman saya itu, memberikan catatan bahan dan resep masakan yang diminta. Untuk
memasak perdana ini, saya memilih menu sup dan prekedel.
Sejak dari pagi sebelum tim bangun, saya
sudah belanja dan berkutat di dapur. Untuk sarapan saya menyiapkan makanan
ringan seperti nasi goreng dan mie goreng. Untuk makan siang baru saya
keluarkan menu andalan. Masih terngiang lelucon-lelucon anggota tim, mereka
mengatakan bahwa saya mendapatkan resep dari hasil googling.
Melihat kesulitan saya dalam mengolah
bahan-bahan makanan, Yeni dan Opet pun turun tanggan. Opet mengajari saya cara
mengupas sayuran. Dia mengatakan bahwa dapur dan alat memasak itu harus bersih.
Ketika mengupas apa pun, sediakanlah plastik untuk menampung kulit sayuran. Siapkan
juga wadah yang menampung sayuran yang sudah dikupas. Selain itu juga Opet
mengajari saya memegang pisau dan alat-alat masak. Dia memperlakukan perabotan
masak dengan baik dan teliti seperti bagian dari diri sendiri. Sepanjang hari
itu, Opet lebih banyak meracik bumbu dan mengajari saya.
Kali lain, Kang Arman mengajari saya
mengenai bumbu masakan, kunci masakan yang saya sebutkan di awal. Bawang merah,
bawang putih, dan garam. Saya jadi kagum sendiri, tim kami yang didominasi oleh
kaum Adam justru bisa memasak. Yeni, seorang anggota tim perempuan juga bisa
memasak. Di antara sepuluh orang yang tidak bisa memasak hanya saya dan Salim.
Minggu ketiga, Mas Gusjur mengamati saya
memasak. Beliau mengatakan sebuah resep yang ajaib dalam memasak yaitu memasak
dengan hati, dengan rasa cinta. Masakan yang lahir dari hati yang ikhlas dan
bahagia membuat masakan sesederhana apa pun menjadi nikmat.
Pada mulanya, saya kurang percaya dengan
resep ketiga ini. Tapi suatu hari resep ini terbukti. Hari itu, giliran Salim
memasak. Seharian menunya cukup aneh dan rasanya asin atau tidak karuan. Raut muka
Salim sama tidak sedap dengan masakannya. Sewaktu kami bertanya mengenai
perihal tersebut, Salim menjawab sedang malas masak dan tidak enak hati. Semenjak
itu saya percaya resep ketiga itu benar.
Minggu pertama memasak, anggota tim
tidak berkomentar mengenai makanan olahan saya, meski dimintai mereka setengah
hati mengatakan rasa enak makanan. Seperti hanya ingin menghibur dan
membesarkan hati saya. Minggu kedua, ketiga dan keempat, tanpa dimintaipun
mereka berkomentar. Rasa masakan saya semakin baik meski belum sempurna.
Anak-anak Tanjung Pasir yang tergabung
dalam wadah Karang Taruna, kerap kali membawa tangkapan laut mereka. Anak-anak
Tanjung Pasir ini luar biasa, di usia muda sebagian dari mereka adalah nelayan.
Biasanya yang mengolah tangkapan laut adalah Kang Arman dan Mas Dewo. Sedikit-sedikit
saya mulai belajar mengolah walaupun masih dalam taraf memperhatikan, membuat
bumbu, dan membakar.
Memasak memberikan banyak pembelajaran
bagi saya. Pertama, bagaimana mengelola dan mengatur dana yang terbatas untuk
mencukupi makan sepuluh orang sebanyak tiga kali sehari ditambah buah-buahan. Buah-buahan
ini biasanya disuguhkan pada siang hari.
Kedua, mengelola dan mengatur waktu,
kapan menyiapkan makan pagi, siang, dan malam ditengah kesibukan lain seperti
observasi, sosialisai penduduk, membuat artikel, membuat laporan, dan tugas
utama melatih teater dan membuat kostum pagelaran.
Ketiga, melatih
fokus. Fokus dibutuhkan dalam setiap lini kegiatan agar setiap hasil mencapai
maksimal. Keempat, saya belajar tentang kesabaran, keikhlasan, dan rasa cinta
dalam memasak. Karena bagi saya kini, resep memasak itu sederhana, memasak adalah
ci(n)ta dan rasa.
Jadi inget omongan orang jaman dulu "Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga akhirnya berkutat di dapur". Nampaknya ada yang terkena imbas dari omongan ini walaupun dalam kondisi "dipaksa". Jujur saja membaca tulisanmu lantas tidak membuatku jadi terinspirasi untuk memasak sih, nanti mungkin saat ada kondisi yang "memaksa". Hehehehehehe. Tapi, Hey, ajak-ajak donk kalo ada kegiatan serupa lagi. :D
ReplyDeletebalasan komentarnya ada di cacatan #2 memasak ya va :)
DeleteIma selalu percaya, Dengan cinta apapun bisa terwujud. Salah satunya sering ima alami ketika memasak, selengkap apapun bumbunya, saat hati kita tidak sedang bahagia, rasa masakannya bakal kurang enak. Ada aja yang kurang :) begitupun dengan hidup, apapun pilihan hidup kita, dengan cinta akan memnjadi sesuatu yang istimewa dan maju :)
ReplyDeleteiya teh, cinta adalah energi dan dia bisa berwujud apapun :)
DeleteBonus Welcome Untuk New Member:
ReplyDelete- Bagi deposit Rp.10,000 - Rp.14,999 Bonus Rp.5.000
- Bagi deposit Rp.15,000 - Rp.24,999 Bonus Rp.10.000
- Bagi deposit Rp.25,000 - Rp.49,999 Bonus Rp.15.000
- Bagi deposit Rp.50,000 - Rp.99,999 Bonus Rp.20.000
- Bagi deposit Rp.100,000 ke atas Bonus Rp.25.000
- Bonus next deposit 5% untuk deposit Rp.50.000
REAL PLAYER VS PLAYER !!!
Syarat Klaim bonus yaitu menghubungi CS kami di
WHATSAPP : +855966139323
BBM : KENARI00
LIVE CHAT : KENARIPOKER . COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER . COM