Kemarin malam ada
sebuah kejutan di kostan saya, yaitu kepindahan seorang kawan yang begitu
tiba-tiba. Kami biasa memanggilnya Tante, beliau adalah penghuni kamar kostan
paling ujung yang letaknya bersebelahan dengan dapur dan kamar mandi.
Kepindahan Tante ini ditandai dengan menghilangnya sejumlah perabotan seperti
kursi dan meja yang biasa kami pakai untuk duduk sambil memasak. Selain itu
sejumlah perabotan dapur yang merupakan
kepunyaan Tante juga menghilang seperti kompor dan panci. Otomatis kami yang
biasanya ikut mempergunakan kompor Tante tidak lagi bisa memasak.
Seperti yang sudah saya ceritakan dalam artikel pertama, hobi baru saya adalah memasak. Memasak dengan tiga resep sederhana yang hasilnya luar biasa. Dengan menghilangnya kompor di kostan kami, mereduplah kegiatan memasak ini. Menyambung artikel kedua, bagaimanakah ci(n)ta dan rasa menjadi sebuah resep memasak, akan saya uraikan beberapa pengalaman lain disini.
Kepuasan dalam memasak
adalah ketika hasil masakan kita dimakan dengan lahap. Masakan yang telah
disiapkan cukup lama, membutuhkan kesabaran, keikhlasan, tenaga dan pikiran,
terbayar sudah ketika orang-orang disekeliling kita memakan masakan kita hingga
habis.
Kebanyakan anak,
walaupun tidak semua, menganggap masakan orang tuanya adalah masakan paling
nikmat di dunia. Sejujurnya tidak seperti itu, banyak masakan yang jika dinilai
dari indra pengecap jauh lebih enak, tapi kadar nikmat masakan orang tua lebih
dari sekedar rasa masakan karena ada rasa ci(n)ta disitu. Itulah yang membuat
saya pribadi juga merasa bahwa masakan ibu yang paling enak di dunia, karena
kebetulan ibu saya yang memasak di rumah. Dan secara tidak sadar yang
menyebabkan orang tua bersemangat memasak adalah melihat seorang anak memakan
masakannya. Masih ingatkah kalian ketika kita kecil, makan adalah kegiatan yang
tidak menarik, lain soal dengan es krim atau coklat. Bagaimana ibu atau ayah mengejar-ngejar,
menceritakan sesuatu, sambil menyodor-nyodorkan sendok berisi makanan ke arah
kita. Ada masa seorang anak sulit makan. Lazimnya anak-anak tidak suka makan
sayuran, orang tua dituntut berpikir dan bertindak kreatif agar si anak mau
makan dan gizinya tercukupi. Nilai ci(n)ta dan rasa masakan orang tua pun
bertambah.
Berangkat dewasa, saya
masuk universitas swasta di Bandung. Selain kuliah dan mengikuti kegiatan UKM,
saya juga bekerja paruh waktu untuk membiayai kuliah. Agar waktu kuliah tidak
habis oleh kerja, saya mengatur sedemikian rupa sehingga jam kerja adalah sore
sampai larut malam. Karena sering kali pulang larut inilah akhirnya saya
ngekost. Sebagai anak kostan pada umumnya, saya terbiasa menyantap mie instan. Pagi,
siang, sore, malam, seperti iklan mie instan, itulah menu keseharian. Sampai akhirnya
terserang penyakit mag. Penyakit ini membuat saya sering muntah dan sakit. Sebagai
penghuni baru di kostan dan padatnya kegiatan, saya tidak berbaur dengan
penghuni kostan lainnya.
Beruntunganya, di
kostan Baksil 52, tinggallah sepasang suami istri yang kerap kami sapa Bunda
dan Ayah. Bunda jatuh iba melihat keadaan saya. Seringkali Bunda mengantarkan
masakan ke kamar tanpa diminta. Akhirnya saya sering makan di kamar Bunda dan
mengenal banyak penghuni kostan lain di sana. Selain Bunda, ada Teh Lia yang
juga sering memasak. Masakan Bunda dan Teh Lia bukan masakan mewah dan rumit,
menu-menu sederhana namun terasa nikmat di lidah.
Kembali pada masa
sekarang, karena rumah sedang dalam keadaan renovasi, saya ngekost kembali. Di sini
mulailah saya memasak. Seringkali saya membuat masakan dalam jumlah banyak
karena itulah saya bagikan juga pada kawan-kawan kostan. Saya tidak tahu apakah
masakan itu nikmat atau tidak di lidah mereka. Melihat mereka makan saja, saya
sudah senang. Seperti mengenang masa-masa hidup bersama Bunda dan Teh Lia.
Ada sebuah resep yang
saya temukan sendiri, mungkin semua koki mengetahuinya. Memperlakukan bahan
masakan seperti makhluk hidup yang memiliki kehendak dan perasaan. Seperti
beras, wortel, tomat dan lain-lain, perlakukan mereka dengan baik dan hormat. Entah
perasaan saja, tapi saya merasa mereka kemudian memberikan rasa terbaiknya. Hingga
sekarang terkumpul empat resep memasak yang sederhana.
Menanggapi komentar
seorang teman pada artikel sebelumnya. Jaman dulu kita mengenal kalimat yang
diturunkan dari generasi ke genarasi yaitu : setinggi-tingginya perempuan sekolah akan
kembali ke dapur, kasur dan sumur. Pernyataan itu merupakan pembatasan bagi
kaum perempuan tentu saja. Namun pandangan saya terhadap memasak adalah:
pertama, memasak itu seperti merokok. Bagi sebagian orang dan sebagian
lingkungan, rokok merupakan alat yang efektif untuk bersilaturahmi dan
mendekatkan diri dengan lingkungan. Cukup dengan menyodorkan rokok lantas akan
terjadi komunikasi yang alami. Hasil dari memasak yaitu masakan adalah salah
satu alat silaturahmi dan komunikasi yang cukup efektif. Bagaimana akhirnya
Bunda dan Teh Lia berbagi makanan dengan saya atau dengan penghuni kostan lain.
Di era yang serba individualistis ini, kita membutuhkan wadah untuk terus
bersilaturahmi.
Kedua, memasak adalah
salah satu cara bertahan hidup, mungkin sejak dari zaman purba. Seperti yang
saya ceritakan pada artikel pertama, sebagai anak kostan dan pekerja freelance yang harus melakukan penghematan
dengan memasak. Mungkin cara bertahan hidup ini juga dilakukan tidak hanya oleh
anak kostan tetapi juga oleh banyak pihak.
Ketiga, memasak
adalah salah satu manifestasi dari perasaan cinta, contohnya seorang ibu atau
ayah pada anaknya. Seorang teman mengatakan pada saya bahwa masakan ayahnya
yang paling enak di dunia karena sang ayah yang juga sering memasak untuknya. Artinya
memasak bukanlah milik perempuan tetapi milik manusia, baik perempuan maupun
laki-laki. Saya diajari memasak oleh laki-laki. Para koki, kebanyakan juga
merupakan laki-laki. Walaupun sampai hari ini masih saja ada banyak pihak yang
meneriakan bahwa memasak adalah perwujudan dari kelamin sosial, saya akan
dengan lantang mengatakan bahwa memasak adalah perihal ci(n)ta dan rasa.
setuju .. bagus tulisan nya
ReplyDelete