Sekotak Cerita dari Berbagi Makanan Nasi Kotak Jumat Berkah
Gang Binong Jati Tengah
Bulan Januari 2024, saya pindah kontrakan ke Binong Jati. Rumah yang saya
tempati berada di wilayah sangat padat penduduk. Bangunan-bangunan berdiri berdempetan
yang diapit gang-gang sempit. Hanya cukup dilalui satu kendaraan bermotor saja.
Gang-gang serupa labirin yang bisa membuat orang tersesat jika tidak cukup
familiar. Tidak jauh dari labirin, terbentang Sungai Cikapundung Kolot yang
penahan bibir sungainya telah dikirmir. Namun, Sungai itu kerap kali meluap ketika
hujan besar sehingga menyebabkan banjir ke area permukiman. Tentu kontrakan
yang saya tinggali juga kedapatan kunjungan air meski tidak pernah lebih dari
lutut.
Pemandangan Gang Binong Jati dari kontrakan saya
Saya pindah ke sana dalam kondisi merangkak secara ekonomi. Saya mengenal
tetangga secara pelan-pelan dan memperhatikan bahwa mereka didominasi dari
kalangan masyarakat ekonomi bawah. Hidup kami sama-sama sulit. Anak-anak
bermain di gang sebab tak punya lapangan. Sekolah seakan kewajiban semata
sebelum mereka mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga.
Rasa Lapar yang Membakar
Dalam beberapa fase hidup, saya mengenal rasa lapar. Rasa lapar yang
membakar hingga tumbuh perasaan marah, sedih, dan putus asa. Misalnya ketika
saya masih kuliah S1. Saya harus mengumpulkan biaya kuliah sampai-sampai makan
adalah prioritas sekian. Bersama teman-teman kampus, kami kerap “ngabeurit”
yaitu mengumpulkan sisa-sisa makanan dari acara seminar. Kotak-kota yang
ditinggalkan mahasiswa lain di gedung, kami himpun kemudian pilih makanan yang
masih bersih. Setelahnya, kami akan makan dengan lahap.
Rasa lapar juga saya rasakan ketika menyusun novel Babad Kopi
Parahyangan. Saat saya memutuskan untuk lebih fokus menulis ketimbang bekerja.
Atau ketika pandemi menyerang, pekerjaan menghilang dan saya tidak memiliki
tabungan. Jika dulu saya akrab dengan mi instan, setiap hari hidangan makan saya
itu, tahun 2024 ini tubuh saya sudah tidak bisa lagi menerimanya. Maka ketika di
Binong itu, rasa lapar kembali membakar, mi instan yang saya makan akan kembali
dimuntahkan. Rasa lapar yang ditimbulkan sebab saya terlilit pinjol. Saya tidak
mengada-ngada tentang cerita ini.
Gerakan Berbagi Nasi Kotak Jumat Berkah
Mira adalah salah satu sahabat saya yang secara konsisten melakukan gerakan
berbagi nasi kotak Jumat Berkah. Pada awal Februari 2024, Mira mengirimkan saya
dua kotak makanan. Saat itu saya sedang sangat lapar dan tidak memiliki bahan
makanan ataupun uang. Saya makan dengan lahap dan hampir menangis. Betapa
makanan ini telah menyelamatkan hidup saya hari itu.
Berbagi nasi kotak Jumat Berkah di Ujung Berung dan Binong Jati
Gerakan berbagi nasi kotak atau nasi bungkus setiap hari jumat sudah
banyak dilakukan oleh orang-orang di berbagai belahan Indonesia. Meski begitu,
saya belum tertarik untuk mengikuti jejak baik tersebut. Sampai awal Februari
2024 itu, di mana saya merasakan sendiri manfaatnya. Saya pikir, orang akan
lebih senang mendapat “mentahannya saja” ketimbang nasi dan lauk-pauknya.
Mira membuka cakrawala kesempitan berpikir saya. Dia mengajak saya untuk
turut serta dalam gerakan tersebut. Saya berpikir dan merenung. Beberapa
pertimbangan kemudian muncul. Pertama, saya sudah merasakan manfaat dari
gerakan ini. Bagaimanapun makan adalah kebutuhan manusia yang paling dasar.
Jika tidak dipenuhi akan menurunkan produktivitas apa pun itu.
Kedua, saya teringat pesan Mama bahwa rezeki yang benar-benar buat
kita berbentuk makanan yang masuk ke dalam tubuh. Mama selalu bilang, jika kamu
mau makan sesuatu, belilah. Jangan sayang akan uang. Sebab rezeki harus
dinikmati dan disyukuri. Seandainya saya memberi “mentahan” kepada orang belum
tentu juga akan menjadi makanan yang kemudian menimbulkan pengabaian terhadap
rasa lapar. Ketiga, dalam kondisi kekurangan, banyak orang termasuk saya
tidak dapat merasakan menu-menu makanan tertentu. Misalnya ikan, ayam, dan
daging. Nasi dan sayuran tentu jadi prioritas utama. Padahal protein hewani
sama dibutuhkan oleh tubuh. Nasi kotak Jumat Berkah ini memberikan asupan gizi
tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut akhirnya membuat langkah saya lebih
ringan untuk berkontribusi dalam gerakan nasi kotak Jumat Berkah ini. Saya
iyakan ajakan Mira. Pada awal bulan Februari 2024 itu saya memulainya.
Awalnya, saya memutuskan untuk memasak sendiri. Sepuluh nasi kota tersaji
menjelang Jumatan. Namun, saya kebingungan ketika harus membagikan ke tetangga.
Saya tidak tahu siapa yang mesti diprioritaskan untuk menerima nasi kotak
tersebut. Adalah Bu Entas, tetangga saya membantu mendistribusikannya. “Neng,
ini dibagikan buat janda tua dan anak yatim dulu saja, ya,” begitu ucap beliau.
Saya mengangguk.
Minggu depannya, saya berusaha menggalang dana sendiri tanpa bantuan
Mira. Terkumpullah biaya untuk 12 nasi kotak. Waktu itu, saya menyerahkan
memasak kepada tetangga saya. Saya jadi berpikir, bahwa memasak ini bisa
digilir antar tetangga, begitu juga dengan pendistribusiannya. Sejak itu saya
dan tetangga bahu-membahu setiap hari kamis dan jumat.
Suatu hari saya berjalan ke warung, seorang nenek menyapa saya, “Neng,
makasih ya setiap jumat udah dikasih makanan. Emak doain Neng semoga selalu
sehat.” Saya terharu sekali. Bahkan Ketika saya mesti pindah ke Ujung Berung,
beliau berkata, “Neng, kenapa pindah? Emak meni kehilangan.” Betapa
hangat ucapan tersebut. Padahal gerakan berbagi nasi kotak Jumat Berkah ini
tetap saya lakukan di Binong. Makanan ternyata secara nyata menyentuh hati
manusia.
Para Donatur
Di dunia ini, masih banyak orang yang mau berbagi. Pernah satu kali gerakan
berbagi nasi kotak Jumat Berkah ini saya posting di berbagai grup WA. Tanggapan
yang sedikit membuat saya kecil hati. Namun, seorang sahabat, Mbak Hanila,
terus mendorong saya untuk tetap konsisten dalam gerakan ini. Dorongan yang
sama, saya terima dari kakak saya, Yunis.
Sejujurnya yang membuat saya kecil hati untuk tidak memposting gerakan
ini karena saya tidak pernah membuat dokumentasi pembagian nasi kotak. Saya
segan, saya merasa kurang etis ketika seseorang mendapat nasi kotak kemudian
saya foto. Jadi saya biasanya hanya memfoto nasi-nasinya saja. Saya berterima
kasih sebab para donator tidak pernah menuntut saya untuk memfoto kegiatan bagi
nasi. Ini benar-benar dilandasi saling percaya. Alhamdulillah kepercayaan
tersebut tidak pernah surut.
Bulan Juni lalu, saya kehilangan satu donator tetap sehingga jumlah nasi
kotak berkurang banyak. Sahabat saya kembali mendorong saya, “Mbak nggak mau
buka donasi terbuka?” Saya jawab, “Saya malu, Mbak. Takut disangka riya.”
Beliau membesarkan hati saya, “Banyak orang melakukan hal buruk nggak malu, hal
baik kok malu?” Ucapan itu menohok saya. Iya juga. Saya hanya butuh keberanian
untuk menerima penolakan atau pengabaian. Sahabat saya yang lain bilang, “Lawan
riya itu kalau sesuatu jadi biasa dan rutinitas.” Jadi begitulah, bagaimana
nasi kotak ini saya harap menjadi sebuah rutinitas. Di sisi lain, saya juga
akan mendapat bantuan tak terduga. Sejatinya apa yang kita lakukan akan
menimbulkan respon, baik positif atau negatif. Saya pikir itu tidak masalah
selama saya tahu tujuan saya, selama saya tidak mengkhianati tujuan saya.
Dengan tulisan ini, saya memberanikan diri untuk mengajak siapa pun untuk
berdonasi dalam gerakan berbagi nasi kotak Jumat Berkah yang saya fokuskan di
daerah Binong Jati. Alasannya sudah saya paparkan di atas. Satu paket nasi
kotak adalah Rp20.000. Bagi siapa pun yang mau berkontribusi, bisa mengirimkan
rezekinya lewat rekening BCA, 1761407584 an. Evi Sri Rezeki. Konfirmasi
transfer bisa lewat WA saya 081221901124. Namun, seperti yang sudah saya
katakan, bahwa saya tidak mendokumentasikan pembagian nasi, saya hanya akan
mengirim foto nasi kotak yang terkumpul setiap jumatnya. Saya sangat berterima
kasih bagi siapa saja yang mau memberi kepercayaan dalam berbagi ini. Semoga
Allah lewat semesta akan mengirimkan kedamaian dan kesejahteraan bagi kita
bersama.
No comments:
Post a Comment