Ujung Goa Sinjang Lawang |
Briefing
selesai pukul sembilan malam. Kebetulan saya punya teman di Pangandaran,
namanya Hendro, teman lama di teater kampus. Sejak siang saya sudah menghubungi
dia untuk datang ke penginapan. Sesuai janjinya, dia datang. Kami
bercakap-cakap di depan penginapan sampai larut malam sambil menyantap mie
rebus dan teh manis. Percakapan kami seputar kawan-kawan lama, bagaimana kabar
mereka sekarang, kegiatan kami masing-masing, dan nostalgia masa kuliah.
Sekali lagi, saya dibawa mengunjungi masa
lalu, masa muda yang nakal dan berenergi. Masa-masa itu harus kami lewati
sebagai pembekalan hari ini. Saya dan Hendro menghabiskan waktu kuliah lebih
lama dari waktu normal. Katakanlah kami keasyikan dengan dunia kami, bukan
hanya teater, melainkan unit kegiatan mahasiswa yang menaungi kami melenakan. Siapa
yang tak suka mendapat sahabat dan keluarga yang bisa menerima apa adanya? Lalu
coba tanyakan pada diri sendiri, menerima apa adanya itu seperti apa? Apakah
membiarkanmu tak berkembang? Saya dan Hendro sepakat, ‘rumah’ kami yang dulu
itu seperti rahim ibu. Nyaman, aman, dan damai. Kami sama-sama terbuai hingga
lupa bahwa dunia begitu luas. Hingga
satu saat, satu per satu di antara kami tersentak, mata kami terbuka, sudah
saatnya kami ‘pergi’. Yang namanya berada di rahim, takkan bisa selamanya. Kita
harus ‘lahir’, kalau tidak, kita dan ‘ibu’ akan mati. Siapakah yang patut
dipersalahkan ketika ‘kematian’ itu terjadi? Tentulah diri kita sendiri.
Kemudian saya berkaca kembali, kadang saya
hanya mengalami pengulangan dalam hidup. Memang keadaan tidak sama persis.
Kondisi pengeroposan itulah yang serupa. Terkungkung ‘kenyamanan’ maupun ‘kehampaan’
melahirkan bayi-bayi jiwa yang jumud.
Pertemuan dengan Hendro menyadarkan saya akan
arti perjalanan ini. Menemukan kembali diri sendiri, membuka mata dan hati
saya. Saya belum mau mati dalam kehidupan. Dan apa yang saya definisikan
sebagai kemapanan hidup masihlah berupa harapan. Perbincangan dengan Hendro
mengalirkan kembali keberanian saya mengambil keputusan untuk bergerak.
Bukankah saya pernah berhasil berlari dan terbang? Kali ini pun saya yakin
bisa. Ketakutan-ketakutan hanya ada dalam kepala saya. Bagaimana kalau begini?
Bagaimana kalau begitu? Dan semua itu tidak benar-benar terjadi.
Saya harus bisa membuktikan saya bisa melawan
ketakutan. Bukan pada siapa-siapa, cukuplah pada diri saya sendiri. Melawan
ketakutan pertama adalah menghadapi phobia air. Di Goa Sinjang Lawang dan
Citumang, saya bisa menaklukan ketakutan terhadap air, kendati tidak sempurna
betul. Bukan hanya Hendro yang menyadarkan saya untuk bersikap berani, alam pun memberi pertanda.
Masuklah ke dalam Goa Sinjang Lawang, kamu akan dilingkupi kegelapan. Kamu mungkin menggunakan headlamp sebagai alat bantu penglihatan, kamu bisa menikmati keindahan ukiran alam pada atap goa. Namun tentunya kamu tak ingin berdiam diri terus di dalam goa, kan? Kamu tentu merindukan cahaya. Maka berjalanlah terus kamu ke depan. Di ujung goa, telah menunggumu limpahan cahaya.
Bicara soal pertanda, setiap orang bebas menafsir. Barangkali tafsiranmu dan tafsiranku berbeda. Membaca pertanda adalah membaca diri kita. Maka dengan mantap, saya kembali mengimani keputusan akan suatu pilihan.
Dalam hidup, saya tidak bisa membahagiakan semua orang. Saya tahu pasti orang
pertama yang harus saya bahagiakan adalah diri saya sendiri. Saya bukan lilin pun bukan matahari. Saya hanya manusia biasa. Biasa sekali. Ketika saya membaca buku sejarah hidup saya, ada hal-hal yang saya syukuri, ada hal-hal yang saya
sesali. Menyesal bagi saya ketika saya diam saja padahal saya sadar sedang
terperosok semakin dalam. Saya mesti bangkit, membenahi luka agar tak semakin
bernanah.
Piknik memang tidak serta merta menyelesaikan
masalah. Namun piknik lahiriah, menikmati pemandangan, bermain-main, dan lain
sebagainya itu seringkali dibarengi dengan piknik spiritual. Meresapi dan
menghayati. Bertemu orang-orang dan belajar pada mereka. Perjalanan jiwa
mengambil jarak agar tidak tersesat. Kepulangan dan perjalanan, dua hal yang niscaya.
Serupa pertemuan dan perpisahan. Dan, di sinilah saya hari ini, pulang pada
kedalaman jiwa, pulang pada hati kecil saya.
Perenungannya dalem banget & guanya itu keren.
ReplyDeleteSaya setuju dengan segala curahannya :)
ReplyDeleteayoo piknik, ajak akuh :D
ReplyDeletedengan piknik dan jalan-jalan, mungkin juga bisa melepaskan sedikit beban di pikiran dan hati. :)
ReplyDelete